BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

            Sebagai mahasiswa akuntansi, pasti sering merasa bingung dalam memahami materi akuntansi..Hal yang paling mendasar yaitu tentang mekanisme debit-kredit.Beberapa pakar akuntan berpendapat bahwa debit-kredit terlalu mekanis dan memaksa pelajar mengandalkan memori.Padahal, mengingat sejarah akuntansi, dimana akuntansi berasal dari matematika, seharusnya akuntansi lebih mengutamakan pemahaman terhadap materi yang dipelajari, bukan mengandalkan hafalan.Pengembangan akuntansi harus dikembalikan berdasar matematika.Dengan asumsi bahwa mahasiswa merupakan pembelajar rasional dan memiliki kemampuan berpikir normal, kesulitan dalam mempelajari akuntansi mengindikasikan dua hal dimana minimal salah satunya mungkin terjadi, yaitu: 1) Metode pembelajaran yang diterapkan tidak tepat sehingga sebagian besar mahasiswa tidak mampu memahami akuntansi secara benar. 2) Materi akuntansi yang diajarkan tidak mudah dipahami oleh rasionalitas mahasiswa karena adanya ketidaksesuaian antara rasionalitas akuntansi pakar akuntansi dengan rasionalitas mahasiswa.

            Terdapat dua teori yang menggambarkan cara berpikir manusia, yaitu teori pilihan rasional (rationale choice theory) dan teori rasionalitas terbelenggu (bounded theory) pengembangan ilmu pengetahuan seharusnya mendasarkan pada teori pilihan rasional. Sayangnya, beberapa topik akuntansi justru dikembangkan dengan berdasar pada teori rasionalitas terbelenggu. Akuntansi yang dikembangkan berdasar teori pilihan rasional akan memiliki logika yang universal serta terbuka terhadap perubahan. Contoh keberadaan rasionalitas terbelenggu dalam pengembangan akuntansi:

  1. Persamaan akuntansi yang ditulis “Aset = Utang + Ekuitas + Pendapatan – Biaya”. Secara matematika, seharusnya persamaan tersebut juga dapat ditulis “Aset + Biaya = Utang + Ekuitas + Pendapatan”. Namun ternyata beberapa akuntan berpendapat bahwa secara akuntansi persamaan kedua tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan biaya dan pendapatan merupakan bagian dari ekuitas sehingga sebaiknya tetap di samping ekuitas. Jika biaya dipindah ke sisi kiri persamaan, persamaan akuntansi menjadi tidak mempunyai makna. Hal ini mengindikasikan terjadinya rasionalitas terbelenggu karena rasionalitas akuntansi yang diajukan tidak sesuai dengan rasionalitas matematika. Padahal, kembali ke sejarah, akuntansi sendiri justru tertulis di buku matematika karangan Luca Pacioli yang berjudul Summa de Aritmatica, Geometrica, Proportini et Proportionalita.
  2. Masih banyak orang yang mendefinisikan debit-kredit sebagai “penambahan-pengurangan”. Salah persepsi yang terus berlanjut ini menggambarkan kekurangtepatan logika akuntansi untuk menjelaskan terminology debit-kredit tersebut kepada masyarakat.

            Kita mengenal persamaan akuntansi dasar sebagai berikut: “Aset = Utang + Ekuitas”.Rasionalitas dari persamaan ini adalah asset sebagai sumber daya perusahaan sedang utang dan ekuitas sebagai sumber pendanaan perusahaan. Persamaan di atas dikembangkan menjadi “Aset = Utang + Ekuitas + Pendapatan – Biaya”. Disini, asset sebagai sumber daya sedang utang dan ekuitas sebagai sumber pendanaan, pendapatan dan biaya merupakan bagian dari ekuitas (pendapatan menambah ekuitas dan biaya mengurangi ekuitas). Jika dicermati, kedua persamaan tersebut mempunyai rasionalitas yang berlawanan. Pada persamaan pertama, sisi kanan persamaan dianggap sebagai sumber pendanaan. Namun bila alasan ini digunakan di persamaan kedua, akan terdapat ketidakkonsistenan karena biaya yang letaknya di sisi kanan persamaan bukan merupakan jenis sumber pendanaan. Dengan kata lain, selama ini, disadari atau tidak disadari, akuntansi menggunakan dua rasionalitas yang berlawanan untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sama.

            Bagaimana bila persamaan “Aset = Utang + Ekuitas” disandingkan dengan persamaan “Aset + Biaya = Utang + Ekuitas + Pendapatan”? Untuk kedua persamaan tersebut, digunakan rasionalitas alternative bahwa di sisi kiri persamaan disebut penggunaan dana dan di sisi kanan persamaan disebut sumber pendanaan. Rasionalitas tersebut dapat menjelaskan masing-masing persamaan secara konsisten.

Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Mengapa dalam akuntansi digunakan istilah debit-kredit, dimana debit diletakkan di sebelah kiri dan kredit diletakkan di sebelah kanan?”. Akuntansi menggunakan debit yang berarti kiri dan kredit yang berarti kanan karena akuntansi mendasarkan persamaan matematika yang terdiri dari sisi kiri persamaan (asset dan biaya) dan sisi kanan persamaan (utang, ekuitas, dan pendapatan). Akuntansi tidak menggunakan angka negative karena dalam moneter tidak ada nilai negative. Oleh karena akuntansi tidak mengenal angka negative, maka untuk menambah atau mengurangi, cara yang dilakukan adalah memindahkan dari sisi kiri ke sisi kanan persamaan atau sebaliknya, untuk merepresentasikan pengurangan.

1.2       Rumusan Masalah

Berdasarkanlatar belakang yang dipaparkan, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

  1. Apakah pengertian rasionalitas?
  2. Bagaimana rasionalitas yang mendasari ilmu akuntansi: materialitas dan moderenitas?
  3. Bagaimana dialektika dalam akuntansi?
  4. Bagaimana dimensi manusia dalam rasionalitas akuntansi?

1.3       Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengertian rasionalitas.
  2. Untuk mengetahui rasionalitas dari materialitas dan moderenitas yang mendasari ilmu akuntansi.
  3. Untuk mengetahui dialektika dalam akuntansi.
  4. Untuk mengetahui dimensi manusia dalam rasionalitas akuntansi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Rasionalitas

Rasionalitas merupakan salah satu teori yang dicetuskan oleh Weber. Dalam mencetuskan teori ini, Weber terpengaruh oleh kehidupan sosial budaya masyarakat Barat pada waktu itu.Masyarakat Barat pada waktu itu kondisi sosial budaya khususnya dalam segi pemikiran mulai bergeser dari yang berpikir non rasional menuju ke pemikiran rasional. Hal ini dilihat Weber sebagai gejala awal dari sebuah modernitas, sehingga Weber menganalisisnya (modernitas) melalui teori Rasionalitasnya. Weber menganggap bahwasanya modernisasi merupakan perluasan rasionalitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Konsep rasionalitas Weber sangat menarik perhatian para filsuf dalam menganalisis masyarakat modern dan dipahami oleh para tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt sebagai merasuknya instrumental dalam segenap aspek kehidupan, disebabkan dalam menganalisis masyarakat industri maju mencurigai rasionalitas sebagai biang keladi segala bentuk alienasi, penindasan, dan ketidakkritisan. Kemudian Herbert Marcuse berusaha menjelaskan rasionalitas yang menguasai masyarakat industri maju ini diawali dengan mengkaji pemikiran Weber sebagai tokoh yang mula-mula menerapkan konsep rasionalisasi.

Rasionalitas, berasal dari kata “ rasio ” yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno, yang berarti kemampuan kognitif untuk memilah antara yang benar dan salah dari Yang Ada dan dalam Kenyataan.Menurut Weber, secara garis besar ada dua jenis rasionalitas manusia, yaitu pertama rasionalitas tujuan (Zwekrationalitaet) dan kedua rasionalitas nilai (Wetrationalitaet).Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu tindakan berorientasi pada tujuan tindakan, cara mencapainya dan akibat-akibatnya. Ciri khas rasionalitas ini adalah bersifat formal, karena hanya mementingkan tujuan dan tidak mengindahkan pertimbangan nilai.Rasionalitas nilai adalah rasionalitas yang mempertimbangkan nilai-nilai atau norma-norma yang membenarkan atau menyalahkan suatu penggunaan cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Rasionalitas ini menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, dan religius. Ciri khas rasionalitas nilai ini adalah bersifat substantif, sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalitasnya terhadap nilai yang dihayati secara pribadi. Dalam kenyataannya, kedua jenis raionalitas ini sering bercampur aduk, dimana terjadi dominasi rasionalitas tujuan atas rasionalita nilai, begitu juga sebaliknya. Selain kedua jenis tersebut, beberapa sosiolog lain menafsirkan bahwa sebenarnya Weber mencetuskan jenis rasionalitas itu menjadi tiga bagian, yakni rasionalitas instrumental, rasio yuridis dan rasio kognitif / ilmiah. Ketiga rasio ini ( menurut beberapa sosiolog, khususnya Ross Poole ) tidak secara eksplisit diungkapkan oleh Weber, namun ketiga jenis rasio ini ada dalam ajaran rasionalitas Weber.

Rasio Instrumental, merupakan bentuk rasio yang paling dominan yang terwujud dalam pasar yang bersifat kapitalis. Rasio ini menekankan efisiensi dan efektifitas dalam meraih tujuan-tujuan tertentu. Dalam menerapkan rasio ini, ada beberapa hal yang harus dilakukan, pertama, pengandaian adanya tujuan untuk rute – rute alternatif. Kedua, pengandaian adanya pelaku yang menganggap dirinya bebas untuk memilih rute – rute tersebut. Karena menekankan pada efisiensi, rasio ini lebih memilih hasil yang kuantitatif atau yang berdasarkan jumlah.

Rasio Yuridis, yakni rasio yang mengacu pada bentuk rasionalitas yang secara obyektif terealisasi dalam bidang hukum dan birokrasi. Rasionalitas ini menekankan prinsip konsistensi, daripada prinsip efisiensi (rasio Instrumental). Rasio ini tidak jarang mengalami kontra dengan rasio lain, contohnya dengan rasio instrumental. Contoh ekstremnya adalah ketika adanya penggunaan uang pelicin (uang sogokan) untuk melancarkan suatu proyek atau usaha. Menurut rasio ini, perbuatan itu bertentangan dengan moral dan tidak benar, namun menurut rasio instrumental, tindakan ini sah – sah saja selama itu mempermudah untuk mendapatkan sesuatu. Rasio Yuridis dalam hal kekuasaan dalam suatu masyarakat berfungsi sebagai moralitas sosial yang harus dipatuhi untuk membatasi kekuasaan. Namun dalam masyarakat kapitalis rasio ini kalah dominasi dari rasio instrumental.

Rasio Kognitif, merupakan rasio yang menjelaskan bahwa sasaran dari rasio adalah pengetahuan dalam rangka mencari kebenaran yang sesuai dengan dunia. Perwujudan dari rasionalitas ini terdapat di institusi pendidikan ataupun riset modern. Penerapan dari rasio ini adalah bahwa kebenaran hanyalah dibatasi dengan kebenaran yang sesuai dengan pernyataan dunia. Pengertian ini akan menyebabkan ilmu menjadi adaptif terhadap kondisi yang ada. ilmu hanya akan melestarikan dan mendukung sistem yang ada. akibat lebih jauh dari penerapan rasio instrumental dan rasio ilmiah inilah yang akhirnya menjadi titik acuan kritik dari para tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt di kemudian hari.

Tipe-tipe Rasionalitas

Rasionalitas praktis adalah setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis. Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dia terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah. Jadi dia tidak terbatas pada Barat modern. Tipe rasionalitas ini berlawanan dengan segala hal yang mengancam akan melampaui rutinitas sehari-hari. Dia mendorong orang untuk tidak percaya pada seluruh nilai yang tidak praktis, religius atau utopia sekuler, maupun rasionalitas teoretis kaum intelektual.

Rasionalitas teoretis, tipe rasionalitas ini dijalankan pada awal sejarah oleh tukang sihir dan pendeta ritual dan selanjutnya oleh filsuf, hakim, dan lmuwan. Tidak seperti rasionalitas praktis, rasionalitas teoretis menggiring aktor untuk mengatasi realitas sehari-hari dalam upayanya memahami dunia sebagai kosmos yang mengandung makna. Seperti rasionalitas praktis, rasionalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah. Efek rasionalitas intelektual pada tindakan sangat terbatas. Didalamnya berlangsung proses kognitif, tidak mempengaruhi tindakan yang diambil, dan secara tidak langsung hanya mengandung potensi untuk memperkenalkan pola-pola baru tindakan.

Rasionalitas substantif, hakikatnya lebih mirip dengan rasionalitas praktis dan tidak seperti rasionalitas teoretis. Rasionalitas ini melibatkan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sistem nilai ( secara substantif ) tidak lebih rasional daripada sistem lainnya. Jadi, tipe rasional ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selama ada nilai yang konsisten.

2.2 Rasionalitas Yang Mendasari Ilmu Akuntansi: Materialisme Dan Modernisme

            Modernisme muncul pada abad pertengahan ketika manusia mulai berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupannya. Modernisme sebagai sebuah peradaban dimaknai dalam perspektif orang-orang barat yang untuk sementara ini menjadi kiblat “kemajuan”, tak terkecuali hal ini menimpa pada akuntansi. Akuntansi berkembang dalam pemikiran-pemikiran modern. Ciri khas pemikiran modern yang rasionalistik berimbas pada karakter akuntansi yang dikatakan oleh Triyuwono dalam (Futaqi, 2008) menjadikannya berwatak maskulin murni. Watak akuntansi modern juga mengakibatkan karakter manusia menjadi tidak sempurna karena adanya unsur-unsur alienasi nilai di dalamnya.

            Keyakinan terhadap realitas materi dalam budaya modern begitu kental melekat. Zaman ini ditandai dengan terpinggirkannya nilai-nilai agama dari segi kehidupan manusia. Konsepsi ketuhanan ataupun spiritualitas yang dianggap bersifat tidak nyata, gaib atau irasional tereliminasi sedikit demi sedikit sampai akhirnya tergantikan oleh konsep yang baru, yaitu anthropocentrisme. Agama dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, menawarkan angan-angan kosong dan penjara yang mengkungkung kebebasan. Konsep normatif agama dipandang telah menggiring manusia kepada keterbelakangan dan kehancuran yang fatal.. Agama menjadi marginal dan harus dipinggirkan, bahkan, jika perlu dikalahkan, apapun agama tersebut. Pada puncaknya, manusia bangkit menjadi pusat segalanya yang mempunyai otoritas mutlak terhadap kelangsungan hidup dunia seisinya.

            Segala sesuatu yang non materi adalah salah dan menyesatkan. Dalam perkembangannya, modernisme ini semakin kokoh menancapkan kuku-kuku peradabannya. Rasionalisme, sekulerisme, empirisme, humansentrisme dan materialisme begitu kuat untuk dilawan. Tanpa terasa modernisme menjadi icon sosial masyarakat yang sudah mendarah daging. Peradaban modern seakan menjadi The Ultimate Civilization. Secara tidak sadar arus modern mengalir dalam setiap urat nadi kehidupan dan terus mencetak generasi-generasi baru. Dalam keadaan seperti ini sangat sulit untuk menghindari dan lari dari serangan arus modernisme. Pemikiran modern dengan segala derivasinya menuntun (semua orang) untuk masuk dalam black hole modernisme dan (secara tidak sadar) mereka berdiri di garda terdepan yang siap berkorban untuknya.

            Pemahaman mengenai peradaban modern tidak terlepas dari budaya dan pemikiran orang-orang barat. Modernisasi menuntut manusia untuk berpikir sekuleristik, rasionalistik, materialistik dan empirik. Menurut Ali Maksum (Dosen Tarbiyah IAIN Sunan Ampel) dalam (Futaqi, 2008) modernisme telah melahirkan budaya “ilmiah” (perkawinan antara rasionalistik dan materialistik) yang dianggap telah memberikan kemajuan yang besar terhadap peradaban manusia. Tanpa bisa dipungkiri, melalui peradaban modern muncul berbagai penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Melalui hitungan detik, orang Indonesia dapat mengetahui apa yang terjadi di Eropa, begitu juga sebaliknya. Namun, peradaban modern membawa sisi lain yang mengerikan. Manusia modern diantaranya menjadi egoistik, individualis, dan materialis, bahkan menurut Zainudin MZ dalam (Futaqi, 2008)  manusia modern (barat) mengartikan hidup hanyalah hand to the mouth, dari tangan ke mulut. Akibatnya, hidup hanyalah semacam rutinitas mekanistik dari input materi ke output materi. Lalu, dimanakah nilai kemanusiaan? Paradigma modern menjawab bahwa nilai kemanusian ada pada materi. Kenikmatan dan kepuasan pun ada pada materi. Akibatnya, manusia modern begitu antusias mengejar materi, sehingga pada titik tertentu manusia modern hampir sama seperti “spesies yang lain”, bahkan lebih rendah dari mereka.

            Abad modern melahirkan apa yang disebut dengan globalisasi. Globalisasi merupakan produk budaya modern (barat) yang berusaha untuk menjadikan dunia dalam satu harmoni kehidupan. Untuk mencapai harmoni tersebut terjadi berbagai pergulatan (pertentangan) peradaban. Globalisasi ini terus bergerak dan meliputi hampir seluruh segi kehidupan manusia mulai dari pemikiran, gaya, sampai pada budaya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa zaman modern akhirnya meniscayakan globalisasi, dan tidak bisa dihindari bahwa mereka yang kuat (kiblat peradaban modern) akan dengan mudah menyebarkan nilai-nilai budaya mereka.

            Dampak globalisasi tidak hanya terbatas pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi. Falsafah kehidupan modern tak luput menjangkiti segi keyakinan dan budaya di dalam masyarakat, tua, muda, bahkan anak-anak. Budaya konsumerisme, mengagumi materi fisik dan hedonisme “nafsu” yang dibawanya telah melebur dalam diri setiap pengagum modernisme. Norma-norma yang dibangun dalam pondasi modernisme menempatkan posisi manusia menjadi sangat sentral. Seakan-akan manusia menjadi pemain sekaligus hakim utama dalam kehidupan, berkehendak terhadap apa yang baik dan apa yang tidak baik. Padahal, apa yang baik menurut manusia bersifat relatif, dalam arti memiliki potensi bias karena merupakan paradigma yang perspektif, dan manusia di dunia ini tidak akan pernah (bisa) mengangguk dalam satu paradigma maupun satu perspektif. Akhirnya, manusia (dalam balutan modernisme) menjadi bebas bertindak karena manusia memiliki hak asasi manusia, yaitu “hak untuk berbuat apa saja”.

            Akuntansi sebagai sebuah “produk peradaban” tanpa dipungkiri muncul dalam pemikiran dan kerangka tersebut (arus modernisme barat). Akuntansi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan bisnis yang merupakan “urat nadi” kehidupan modern. Dalam kerangka modernisme, akuntansi akan dibentuk dengan pemikiran-pemikiran modern yang selanjutnya menempatkan akuntansi sebagai obyek yang tersusupi ideologi modern (barat). Pada titik ini akuntansi akan muncul dalam realitas modern dengan segala sifat dan ciri khasnya. Sebaliknya, jika akuntansi ini berangkat dari kerangka dan pemikiran yang lain, maka realitas akuntansi akan muncul dengan karakter dan sifat bahkan bentuk yang berbeda pula.

            Akuntansi konvensional yang telah lama digunakan mempunyai potensi mengubah terhadap lingkungan (sebagai subyek). Tanpa disadari harmonisasi sistem akuntansi akan berakibat pada bercampurnya karakter nilai bahkan mungkin akan menghilangkan nilai lokalitas di mana akuntansi konvensional itu tumbuh. Misalnya, sistem perbankan konvensional yang tentu saja dengan sistem akuntansi yang juga konvensional tidak cocok pada lingkungan masyarakat Islam. Belum lagi nilai-nilai inheren yang melekat padanya dapat berpotensi untuk “mengendalikan” individu, artinya ketika seorang individu masuk dalam lingkungan akuntansi (konvensional), maka tanpa disadari dia akan larut di dalamnya dan berperilaku sesuai dengan ciri dan karakter dari sistem tersebut.

            Menurut Triyuwono dalam (Futaqi, 2008) Akuntansi konvensional membawa konsep rasionalisasi dan nilai utilitarianisme (materi) yang muncul dalam konsep laba. Akuntansi konvensional sangat memperhatikan laba karena di sinilah “nilai jual”nya. Maka, orang-orang yang masuk dalam lingkaran sistem akuntansi konvensional sudah barang tentu sangat berorientasi untuk menyajikan laba yang membuatnya berada dalam posisi “aman”, artinya berbagai hal akan ditempuh untuk mencapai posisi “aman” tersebut. Di sinilah salah satu karakter menyimpang yang ditimbulkan oleh akuntansi konvensional pada diri manusia, yang dengan sengaja berpotensi mendorong untuk “mengahalalkan segala cara” demi laba.

 2.3       Dialektika Dalam Akuntansi

            Dialektika adalah Ilmu Pengetahuan tentang hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran. Sedangkan metode dialektis berarti investigasi dan interaksi dengan alam, masyarakat dan pemikiran, (Kuncoro, 2015). Metode dialektika menurut Socrates dalam (Kuncoro, 2015) merupakan metode atau cara memahami suatu dengan melakukan dialog. Dialog berarti komunikasi dua arah, ada seseorang berbicara dan ada seseorang lain yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan probelem yang ada.  Ada proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena mempertemukan ide yang satu dengan ide yang lain antara orang yang berdialog. Tujuannya mengembangkan cara berargumentasi agar posisi yang bersifat dua arah dapat diketahui dan diharapkan satu sama lain.

                  Metode dialektika menurut Hegel dalam (Kuncoro, 2015) adalah suatu metode atau cara memahami dan memecahkan persoalan atau problem berdasarkan tiga elemen yaitu tesa, antitesa dan sintesa. Tesa adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antitesa adalah suatu reaksi, tanggapan, ataupun komentar kritis terhadap tesa (argumen dari tesa). Dari dua elemen tersebut diharapkan akan muncul sintesa, yaitu suatu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berfikir yang dinamis dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang kontradiktif atau berhadapan sehingga dicapai kesepakatan yang rasional.Untuk mendapat pengetahuan yang dikemukakan benar atau logis ada tiga faktor yang diperhatikan yaitu memiliki pengetahuan (menguasai masalah), mengambil keputusan (menyampaikan pikiran dengan lancar), memberi pembuktian (argumentasi atas pendapat). Ketiga faktor diatas merupakan bagian dari filsafat yang disebut logika formal atau berpikir logik. Logika formal disebut juga logika minor atau dialektika.

            Metode dialektika Hegel dalam akuntansiterjadi pada penentuan teori akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori yang dipermasalahkan  adalah teori positif dan teori normative. Teori positif mulai berkembang sekitar tahun 1960-an yang dipelopori oleh Watt &Zimmerman, (Rolianto, 2013) menitik beratkan pada pendekatan ekonomi dan perilaku dengan munculnya hipotesis pasar efisien dan teori agensi. Teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebuah proses, yang menggunakan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan akuntansi serta penggunaan kebijakan akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori akuntansi positif pada prinsipnya beranggapan bahwa tujuan dari teori akuntansi adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktik-praktik akuntansi. Sedangkan teori normatif dianggap merupakan pendapat pribadi yang subjektif, sehingga tidak dapat diterima begitu saja dan harus dapat diuji secara empiris agar memiliki dasar teori yang kuat. Dalam praktik, para profesional dalam bidang akuntansi telah menyadari sepenuhnya bahwa teori akuntansi positif lebih cendrung diterapkan dibanding teori akuntansi normatif.

            Teori akuntansi positif merupakan studi lanjut dari teori akuntansi normatif karena kegagalan normatif dalam menjelaskan fenomena praktik yang terjadi secara nyata. Teori akuntansi positif mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan teori akuntansi. Teori akuntansi positif dapat memberikan pedoman bagi para pembuat kebijakan akuntansi dalam menentukan konsekuensi dari kebijakan tersebut. Teori akuntansi positif berkembang seiring kebutuhan untuk menjelaskan dan memprediksi realitas praktik akuntansi yang ada dalam masyarakat sedangkan akuntansi normatif lebih menjelaskan praktik akuntansi yang seharusnya berlaku.

Perbedaan akuntansi positif dan akuntansi normatif

  1. Perbedaan pendekatan dan dasar antara teori akuntansi menyebabkan dua taksonomi akuntansi. Pendekatan Teori Akuntansi Positif menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai Sains. Sedangkan pendekatan Teori Akuntansi Normatif menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai art. Yang keduanya sama sama diakui sebagai sarana pendekatan teori akuntansi.
  2. Teori Akuntansi Normatif yang berbentuk Praktik Akuntansi Berterima Umum (PABU) merupakan acuan teori dalam memberikan jalan terbaik untuk meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata yang merupakan fungsi pendekatan teori akuntasi positif. Tidak menutup kemungkinan, fakta yang ada di dunia nyata (praktek akuntansi) akan mempengaruhi Teori Akuntansi Normatif. Hubungan ini Sesuai dengan paham Dialektika Hegel. Dimana antitesa dan tesa akan menghasilkan sintesa. Dan sintesa akan menghasilkanantitesa.

            Teori akuntansi positif berkembang seiring kebutuhan untuk menjelaskan dan memprediksi realitas praktek-praktek akuntansi yang ada di dalam masyarakat. Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan fenomena akuntansi yiang diamati berdasarkan pada alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Dengan kata lain, Positive Accounting Theory (PAT) dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. PAT lebih bersifat deskriptif bukan preskiptif. Tidak seperti teori normative yang didasarkan pada premis bahwa manajer akan memaksimumkan laba atau kemakmuran untuk kepentingan perusahaan, teroi positif didasarkan pada premis bahwa individu selalu bertindak atasdasar motivasi pribadi (self seeking motives) dan berusaha memaksimumkan keuntungan pribadi. Dalam beberapa asumsi teori akuntansi positif berusaha menguji tiga hipotesis berikut :

  1. Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis)

Manajer perusahaan dengan bonus tertentu cenderung lebih menyukai metode yang meningkatkan laba periode berjalan. Pilihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai sekarang bonus yang akan diterima seandainya komite kompensasi dari dewan direktur tidak menyesuaikan dengan metode yang dipilih (Watts dan Zimmerman, 1990)

  1. Hipotesis hutang atau ekuitas (Debt/Equity Hypothesis)

Makin tinggi rasio hutang atau ekuitas perusahaan mkin besar kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba. Makin tinggi rasio hutang atau ekuitas makin dekat perusahaan dengan batas perjanjian atau peraturan kredit (Kalay, 1982). Makin tinggi batasan krdit makin besar kemungkinan penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer akan memiliki metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis (Watts dan Zimmerman, 1990).

  1. Hipotesis Cost Politik (Political Cost Hypothesis)

Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodik dibanding perusahaan kecil. Ukuran perusahaan merupakan ukuran variable proksi (proxsy) dan aspek politik. Yang mendasari hipotesi ini adalah asumsi bahwa sangat mahalnya nilai informasi bagi individu untuk menentukan apakah laba akuntansi betul-betul menunjukkan monopoli laba. Di samping itu, sangatlah mahal bagi individu untuk melaksanakan kontrak dengan pihak lain dalam proses politik dalam rangka menegakkan aturan hokum dan regulasi, yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan demikian individu yang rasional cenderuang memiliki untuk tidak mengetahui informasi yang lengkap.

            Teori normative berusaha untuk membenarkan tentang apa yang seharusnya dipraktekkan, misalnya pernyataan yang menyebutkan bahwa laporan keuangan seharusnya didasarkan pada metode pengukuran aktiva tertentu. Menurut Nelson (1973) dalam (Kuncoro, 2015) dalam literature akuntansi teori normative sering dinamakan teori apriori (artinya dari sebab ke akibat atau bersifat deduktif). Alasannya teori normative bukan dihasilkandari penelitian empiris, tetapi dihasilkan dari kegiatan “semi-research”. Teori normative hanya menyebutkan hipotesis tentang bagaimana akuntansi seharusnya dipraktekkan tanpa menguji hipotesis tersebut. Pada awal perkembangannya, teori akuntansi normative belum menggunakan pendekatan investigasi, dan cenderung disusun untuk menghasilkan postulat akuntansi. Perumusan akuntansi normative mencapai masa keemasan pada tahun 1950 dan1960an. Selama periode ini perumus akuntansi lebih tertarik pada rekomendasi kebijakan danapa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang sekarang dipraktekkan. Karena teori normatif dianggap merupakan pendapat pribadi yang subyektif maka tidak bisa diterima begitu saja, harus dapat diuji secara empiris agar memiliki dasar teori yang kuat. Pendukung teori ini biasanya menggambarkan system akuntansi yang dihasilkan sebagai sesuatu yang ideal, merekomendasikan penggantian system akuntansi cost histories dan pemakaian teori normatif oleh semua pihak. Seperti tulah dialektika yang terjadi dalam akuntansi.

2.4       Dimensi Manusia Dalam Rasionalitas Akuntansi

            Manusia adalah makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensi yang baik (EQ plus IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ). Namun, selama ini pendidikan akuntansi diakui atau tidak hanya terpaku untuk mengasah kecerdasan intelektualnya saja (Triyuwono,2010)dalam (Wordpres, 2014).

Kamayanti (2010) juga mengungkapkan hal yang serupa yaitu, “fokus rasionalitas pendidikan akuntansi ini membentuk ciri maskulinitas”. Sehingga tuntutan dari lingkungan sosial ini membentuk manusia, dengan sendirinya membentuk manusia yang hanya memahami ilmu dengan sudut pandang intelektualnya saja. Dampak pendidikan yang hanya berpusat pada kecerdasan akal saja dapat dilihat dari perilaku dan sifat manusia, dalam mengambil keputusan  terlalu mempertimbangkan berapa materi yang akan dikorbankan dan apa benefit yang akan didapat dari keputusan tersebut. Hal inilah yang membentuk calon-calon akuntan bercirikan rasionalis, antroposentris/egois, apatis, tidak peka keadaan sekitar (impersonality), objektif dan keringakan nilai-nilai spiritualitas. Secara umum, sifat yang dihasilkan adalah individualis, materialistis dan terpaku pada pemikiran yang logis.

            Pelajaran yang sangat penting adalah menyatunya dunia fisik dengan dunia psikis dan spiritual. Peradaban dunia  modern  selalu  mengakui  materi  sebagai “yang pusat”  dan  sebaliknya  memandang  remeh,  memarjinalkan, dan bahkan meniadakan sesuatu yang di pinggiran seperti dunia psikis (mental) dan spiritual. Pada umumnya manusia memahami akuntansi adalah suatu cara agar entitas dapat menghimpun kekayaan sebesar-besarnya, beranggapan bahwa yang lebih banyak bekerja berarti yang lebih banyak mendapatkan hasilnya, tanpa memikirkan pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan yang telah dilakukan. Setiawan dan Kamayanti (2012) mengutip dari Powell and Dimaggio (1997:63), Max Weber menyatakan bahwa rasionalisme menjadi penjara (iron cage) yang mengekang unsur kemanusiaan. Terbukti pernyataan Max Weber terjadi dalam pendidikan akuntansi, berdampak pada pemahaman siswa terhadap akuntansi. Segala sesuatu diukur dengan satuan uang, sehingga menghasilkan sifat materialistis. Bahkan ada pula siswa yang memahami bahwa akuntansi merupakan sebuah alat politis yang menjadikan perantara untuk memaksimalisasi kepentingan pihak-pihak tertentu.

            Hal yang menarik telah dipaparkan oleh Irianto mengenai praktik-praktik akuntansi yang berjalan selama ini tidak sedikit menimbulkan permasalahan. Irianto (2003, 2006) dalam La‟lang (2010) dalam (Wordpres. 2014) memaparkan dengan seksama hal ini. Sebut saja skandal kebangkrutan Enron yang turut menjadi skandal terbesar dalam sejarah akuntansi. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dengan trik-trik manipulasi yang tinggi dan tentu saja orang-orang ini merupakan orang bayaran  dari  mulai analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya. Ini disebabkan karena  adanya   unsur   kebohongan   yang  dilakukan   pada   sebuah   system terbuka terjadi pelanggaran terhadap kode etik berbagai profesi seperti akuntan, pengacara, dan lain sebagainya, dimana segelintir professional tersebut serakah dengan memanfaatkan ketidaktauan dan keawaman banyak orang, serta praktek persekongkolan tingkat tinggi. Ini tentu menunjukkan bahwa manusia sebagai pelaku sudah tidak lagi berada dalam koridor akhlak serta moralitas sebagai kehendak Tuhan sehingga hidup berdasarkan “takut akan Tuhan” mulai memudar sejalan dengan masa modernisme yang kian menjulang.

            Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia akuntansi sebagai salah satu aspek pendidikan, seakan terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan hingar bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan dan daya saing bangsa. Pendidikan akuntansi seolah tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan akuntansi lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil.

            Menurut Triyuwono (2009) dalam (Wordpres.com), angka-angka adalah salah satu bentuk logosentrisme dari akuntansi mainstream. Tanpa angka adalah suatu hal yang sangat mustahil bagi  akuntansi,  dan implikasinya adalah tanpa akuntansi kita tidak dapat menggambarkan keadaan perusahaan. Logosentrisme ini terutama dicirikan dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner (dualistik, dikhotomis) yang hierarkis, dan kedua ilmu pengetahuan positivistis yang mekanis, linier dan bebasnilai.   Dengan   demikian   dapat   dimengerti   bahwa   logosentrisme   sebagai produk moderenisme mempunyai ciri “penunggalan” melalui universaltas.  Konsekuensi  dari penunggalan ini adalahbahwa “sang lain” yang berada di luar dirinyaakan selalu dieliminasi, dan jika mungkin harus  dan  jika  mungkin  harus  “dibunuh”.  Dari  gambaran  diatas dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana bahwa akuntansi hanyalah sebuah “alat” bantu untuk mengkalkulasi angka-angka (baca: uang) yang nantinya berakhir pada pengambilan keputusan ekonomi.

            Setiap manusia mempunyai suara hati yang sejatinya menyuarakan kebenaran dalam bertingkah laku, tetapi suara hati tersebut bertentangan dengan mindset yang telah mengakar dan karena tuntutan keadaan. Kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, atau oleh apa pun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata. Bahkan kata ahli sufi Islam Jalaludin Rumi, “Mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indera penglihatan”. Menurut Cooper (1998) dalam Agustian (2005:40) dalam (Wordpres, 2014), “Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak, atau tidak dapat, di ketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.”

BAB III

PENUTUP

 3.1       Kesimpulan

            Rasionalitas, berasal dari kata “ rasio ” yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno, yang berarti kemampuan kognitif untuk memilah antara yang benar dan salah dari Yang Ada dan dalam Kenyataan.Menurut Weber, secara garis besar ada dua jenis rasionalitas manusia, yaitu pertama rasionalitas tujuan (Zwekrationalitaet) dan kedua rasionalitas nilai (Wetrationalitaet).Rasionalitas ini menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, dan religius. Ciri khas rasionalitas nilai ini adalah bersifat substantif, sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalitasnya terhadap nilai yang dihayati secara pribadi.

            Akuntansi sebagai sebuah “produk peradaban” tanpa dipungkiri muncul dalam pemikiran dan kerangka tersebut (arus modernisme barat). Akuntansi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan bisnis yang merupakan “urat nadi” kehidupan modern. Dalam kerangka modernisme, akuntansi akan dibentuk dengan pemikiran-pemikiran modern yang selanjutnya menempatkan akuntansi sebagai obyek yang tersusupi ideologi modern (barat).Pada titik ini akuntansi akan muncul dalam realitas modern dengan segala sifat dan ciri khasnya. Sebaliknya, jika akuntansi ini berangkat dari kerangka dan pemikiran yang lain, maka realitas akuntansi akan muncul dengan karakter dan sifat bahkan bentuk yang berbeda pula.Metode dialektika Hegel dalam akuntansi terjadi pada penentuan teori akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori yang dipermasalahkan  adalah teori positif dan teori normative.

Daftar Pustaka

Abu Bakar , Chaidir. 2013. Teori rasionalisasi habermas vs max weber. Artikel. Diakses pada 28 Oktober 2016. Pada http://andichaidirabubakar. blogspot.co.id/2013/10/teori-rasionalisasi-habermas-vs-max.html

Futaqi, Faruq Ahmad. 2008. Modernisme, akuntansi dan akuntansi syari’ah. Artikel.Diakses pada 28 Oktober 2016. Padahttp://arrahim.blogspot.co.id/2008/01/modernism-akuntansi-dan akuntandi.html

Kuncoro, Galih Yoga Wahyu. 2015. Dialektika. Filsafat Ilmu. Artikel. Diakses pada  30 Oktober 2016. Padahttp://galihyogawahyukuncoro.blogspot.co.id/2015/01/dialektika-filsafat-ilmu.html

Rolianto, Arifin. 2013. Teori Akuntansi Positif Dan Teori Akuntansi Normative. Artikel. Diakses pada 30 Oktober  2016.  Pada https://arifinrolianto. wordpress.com/2013/01/08/teori-akuntansi-positif-dan-normatif/

Sociologi Of Religion.2015 Diakses pada 28 Oktober 2016. Pada http://sociologiagamauin.blogspot.co.id/2015/09/makalah-rasionalitas-max-weber.html

WordPress.com. 2014.akuntansi antara spiritualisme dan pragmatism. Diakses pada 31 Oktober 2016 pada https://hfis.wordpress.com/tag/dimensi-spiritual-akuntansi/.