MORAL DAN ETIKA

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Arus globalisasi yang sedang melanda seluruh penjuru dunia terutama Indonesia, telah memberikan banyak perubahan terhadap kehidupan masyarakat. Globalisasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran unsur – unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak maupun elektronik. Globalisasi yang memiliki dua sisi mata uang (positif dan negatif) juga menjadi penyebab infiltrasi budaya tidak terbendung. Budaya – budaya sedemikian cepat dan mudah saling bertukar tempat dan saling memengaruhi satu sama lain. Termasuk budaya hidup barat yang liberal dan bebas merasuki budaya ketimuran yang lebih cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai – nilai agama. Dampak negatif dari arus globalisasi yang terlihat miris adalah perubahan yang cenderung mengarah pada krisis moral dan akhlak, sehingga menimbulkan sejumlah permasalahan kompleks melanda negeri ini akibat moral. Dapat di contohkan mulai dari hal kecil seperti anak – anak sekolah yang membolos pada jam pelajaran sampai dengan korupsi. Selain itu terdapat pula tindakan – tindakan kriminal yang setiap hari biasa kita lihat. Hal ini membuktikan bahwa krisis moral telah dan sedang melanda bangsa ini.

Baik media cetak maupun elektronik, yang biasa kita baca dan saksikan setiap hari, semuanya menyajikan bacaan dan tontonan yang tak jarang kurang memperhatikan moralitas, sopan santun, dan etika. Sehingga secara langsung para pembaca dan pemirsa dapat terpengaruh moral dan tingkah lakunya. Terutama bila para pembaca dan pemirsa tersebut adalah remaja (pelajar) yang belum memilki bekal pengetahuan agama yang kuat. Tidak hanya itu saja, dari segi ilmu pengetahuan kita memang memperoleh banyak manfaat dari era globalisasi ini. Namun, dari segi kebudayaan, kita lebih mendapatkan banyak pengaruh negatif. Jika dilihat dari segi sistem pendidikan yang ada di Indonesia, sistem pendidikan kita selama ini masih lebih menitikberatkan dan menjejalkan pada penguasaan kognitif akademis. Sementara afektif dan psikomotorik seolah – olah di nomor duakan. Sehingga yang terjadi adalah terbentuknya pribadi yang miskin tata krama, sopan santun, dan etika moral.

Akhir – akhir ini makin sering diperbincangkan masalah etika dan moral dalam bisnis. Hal ini disebabkan oleh persaingan bisnis yang ketat dalam mekanisme pasar bebas. Adanya persaingan ini membuat pelaku bisnis sering menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika atau tidak. Banyak kasus tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh para profesional, misalnya kasus manipulasi dan korupsi di negara tercinta ini dilingkungan korporasi, anggota dewan, fiskus, sampai penegak hukum. Kasus Enron, Corp yang merupakan perusahaan energi terbesar di Amerika yang jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar, karena kesalahan strategi dan terjadi manipulasi. Dengan kasus tersebut maka diperlukan tenaga – tenaga profesional yang tangguh dalam menghadapi tantangan dengan mempunyai keahlian, ketrampilan, dan komitmen moral. Tenaga profesional diharapkan akan mempunyai sikap etis yaitu disiplin, loyalitas, jujur, tanggungjawab dalam pengambilan keputusan di bidang pekerjaannya.

Akuntan sebagai suatu profesi dituntut untuk mengikuti perkembangan dunia yang semakin global. Profesi akuntan Indonesia di masa yang akan datang menghadapi tantangan yang semakin berat, terutama jika dikaitkan dengan berlakunya kesepakatan internasional mengenai pasar bebas. Profesi akuntan Indonesia harus menanggapi tantangan tersebut secara kritis khususnya mengenai keterbukaan pasar jasa yang berarti akan memberi peluang yang besar sekaligus memberikan tantangan yang semakin berat. Kantor akuntan Indonesia dapat memperluas jaringan operasinya dengan mendirikan kantor cabang di luar negeri, dimana hal tersebut tentunya merupakan peluang yang sangat menguntungkan. Tantangan yang muncul adalah masuknya kantor – kantor akuntan asing ke Indonesia yang tentunya mengancam eksistensi profesi akuntan indonesia.

Kesiapan yang menyangkut profesionalisme profesi mutlak diperlukan untuk menghadapi tantangan yang muncul akibat pasar bebas tersebut. Profesionalisme suatu profesi mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi tersebut, yaitu keahlian (skill), karakter (character), dan pengetahuan (knowledge). Karakter menunjukkan personality seorang profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etis akuntan akan sangat menentukan profesinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya. Bagi profesi akuntan di Indonesia mengenai hal tersebut, bersama – sama dengan kemampuan profesionalnya yang lain akan menentukan keberadaannya dalam peta persingan diantara rekan seprofesi dari negara lain.

Belakangan ini, etika akuntan telah menjadi issue yang banyak didiskusikan dan dikaji secara ilmiah. Di Indonesia, issue ini berkembang seiring dengan telah terjadinya beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern maupun akuntan pemerintah. Pelanggaran etika oleh akuntan publik misalnya dapat berupa pemberian opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang tidak memenuhi kualifikasi tertentu menurut norma pemeriksaan akuntan atau Standar Profesional Akuntan (SPAP). Pelanggaran etika oleh akuntan intern misalnya dapat berupa perekayasaan data akuntansi untuk menunjukkan kinerja keuangan agar tampak lebih baik dari yang sebenarnya. Sedangkan pelangaran etika yang dilakukan oleh akuntan pemerintah misalnya dapat berupa pelaksanaan tugas pemeriksaan yang tidak semestinya karena didapatkan insentif tambahan dalam jumlah tertentu dari pihak yang laporan keuangannya diperiksa.

Berbagai pelanggaran etika tersebut seharusnya tidak terjadi apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman dan kemauan untuk menerapkan nilai – nilai moral dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya. Lebih dari itu, akuntan dalam melaksanakan pekerjaannya seharusnya selalu mengedepankan sikap dan tindakan yang mencerminkan profesionalisme, dimana hal ini telah diintrodusir dalam pedoman atau standar kerjanya.

Akuntan sebagai suatu profesi memiliki seperangkat kode etik tersendiri, yaitu kode etik akuntan. Kode etik akuntan yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejak tahun 1973 telah mengesahkan Kode Etik Akuntan Indonesia, yang telah mengalami revisi pada tahun 1986 dan terakhir pada tahun 1998. Salah satu prinsip dalam Kode Etik Akuntan Indonesia menyebutkan bahwa setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya yang bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka terhadap persoalan etika juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada. Dunia pendidikan akuntansi juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika akuntan. Salah satu penyebab penurunan praktik etika yang terjadi di masyarakat bisnis kita khususnya profesi akuntan dikarenakan sistem pendidikan akuntansi yang sedang berlangsung sekarang ini hanya mengajarkan materi etika dalam intensitas yang sangat sedikit.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

  1. Apakah yang dimaksud dengan moral dan etika?
  2. Bagaimana pandangan ilmu akuntansi dalam perspektif etika?
  3. Bagaimanakah filsafat moral dan etika menurut Kartian dan Marxian?
  4. Bagaimana keberadaan agama dalam akuntansi?
  5. Bagaimana penelitian moral dan etika dalam akuntansi?

BAB II

PEMBAHASAN

  • Moral

Moral berasal dari bahasa latin yakni mores, kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai susila. Moral adalah hal – hal yang sesuai dengan ide – ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Moral secara ekplisit adalah hal – hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan atau tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.

Dengan demikian, pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :

  1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan – perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
  2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau buruk.
  3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya

Moral terbagi atas 2 macam yaitu :

  1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia sebagai suatu penjelmaan dari pancaran ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
  2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran berbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai manusia.

Moral merupakan landasan dan patokan bertindak bagi setiap orang dalam kehidupan sehari – hari ditengah – tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam lingkungan keluarga dan yang terpenting moral berada pada batin dan atau pikiran setiap insan sebagai fungsi kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran negatif yang akan direalisasikan. Moral sebenarnya tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya, setempat yang diyakini kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Hal tersebut akan lebih mudah kita pahami manakala mendengar orang mengatakan perbuatannya tidak bermoral. Perkataan tersebut mengandung makna bahwa perbuatan tersebut dipandang buruk atau salah karena melanggar nilai – nilai dan norma – norma moral yang berlaku dalam masyarakat.

Pluralisme moral terjadi karena :

  1. Pandangan moral yang berbeda – beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan.
  2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional.
  3. Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan yang masing – masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah – petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun – temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar benar – benar menjadi manusia yang baik. Moralitas juga memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku – perilaku yang tidak baik. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.

Moraliltas diklasifikasikan atas beberapa golongan yaitu :

  1. Moralitas objektif

Moralitas objektif adalah moralitas yang diterapkan pada perbuatan sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak pelakunya. Moralitas perbuatan yang melihat perbuatan manusia sebagaimana apa adanya. Jadi perbuatan itu mungkin baik atau buruk, mungkin benar atau salah terlepas dari berbagai modifikasi kehendak bebas yang dimiliki oleh setiap pelakunya. Contoh, membunuh merupakan perbuatan tidak baik.

  1. Moralitas subjektif

Moralitas perbuatan yang melihat perbuatan manusia tidak sebagaimana adanya karena dipengaruhi oleh sejumlah faktor pelakunya, seperti stabilitas emosional, latar belakang, pengetahuan, training, serta perilaku personal lainnya. Moralitas sebjektif merupakan fakta pengalaman bahwa kesadaran manusia (suara hatinya) menyetujui atau melarang apa yang diperbuat manusia.

  1. Moralitas intrinsik

Moralitas perbuatan yang menentukan suatu perbuatan atas benar atau salah, baik atau buruk berdasarkan hakikatnya terlepas tidak bergantung dari pengaruh hukum positif, contohnya berilah kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal tersebut pada dasarnya sudah merupakan kewajiban. Meskipun kemudian diatur dalam hukum positif, tidaklah memberikan akibat yang signifikan.

  1. Moralitas ekstrinsik

Moralitas perbuatan yang menentukan suatu perbuatan benar atau salah, baik atau buruk berdasarkan hakikatnya bergantung dari pengaruh hukum positif. Hukum positif dijadikan patokan dalam menentukan kebolehan dan larangan atas suatu perbuatan.

  1. Moralitas reflektif

Moralitas reflektif merupakan moralitas yang dilihat dari sudut tahap perkembangan moral, dimana manusia merumuskan pertimbangan – pertimbangan moralnya atas dasar evaluasi reflektif terhadap prinsip – prinsip moral yang ada dan atas dasar pembahasan yang cermat terhadap fakta moral dalam hidup manusia.

Prinsip – prinsip dasar moral terdiri dari :

  1. Prinsip sikap baik

Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia. Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata – mata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya. Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.

  1. Prinsip keadilan

Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda – benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Adil pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuantujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.

  1. Prinsip hormat terhadap diri sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi. Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar. Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

Sikap – sikap kepribadian moral yang kuat terdiri atas :

  1. Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tanpa kejujuran, keutamaan – keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas diri, tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati – hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.

Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua hal yaitu sikap terbuka dan bersikap fair. Terbuka berarti orang boleh tahu, siapa kita ini. Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud adalah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan keyakinan kita dan kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Terhadap orang lain, orang jujur bersikap wajar atau fair, ia memperlakukannya menurut standar – standar yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan kebohongan akan disobeknya.

Langkah awal untuk menerapkan sikap tersebut adalah dengan kita berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebih – lebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.

  1. Bertanggung jawab

Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita didik, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

Kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan – tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Jika ternyata lalai atau melakukan kesalahan, bersedia untuk dipersalahkan. Tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan yang berhubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku dan bertanggung jawab atau suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan.

  1. Kemandirian moral

Keutamaan ketiga yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut – ikutan saja dengan berbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik itu faktor – faktor dari luar seperti lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun faktor – faktor dari batin kita seperti perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita.

Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

  1. Keberanian moral

Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan  diri dengan kekuatan – kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.

Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali berani mempertahankan sikap yang diyakini, akan merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mengecewakannya, akan merasa lebih mandiri, akan memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman pihak – pihak yang kuat dan berkuasa.

  1. Kerendahan hati

Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya, tetapi tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan saja. Sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tidak gugup atau sedih karena bukan seorang manusia super. Justru karena itu merasa kuat, tidak akan mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Tidak perlu takut bahwa kelemahannya ketahuan. sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya. Maka dia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.

Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul – betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

  1. Realistis dan kritis

Sikap realistis tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis – realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip – prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistis mesti berbarengan dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus – menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang – orang dapat lebih bahagia. Prinsip – prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita letakkan pada keadaan.

Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat – syarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan – peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan.

Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistis dan kritis. Pedomannya adalah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota – anggota untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.

Seharusnya, moral dibutuhkan pada kehidupan masyarakat dalam bersosialisasi. Individu memandang individu atau kelompok lain berdasarkan moral. Mengenai perilaku, kesopanan, bersikap baik merupakan beberapa sikap dari moral yang dipandang masyarakat. Moral dapat memandang masyarakatnya memiliki nilai sosial yang baik atau buruk. Kepribadian sesorang sangat erat kaitannya dalam kegiatan sehari – hari, moral diperlukan demi kehidupan yang damai dan harmonis sesuai dengan aturan. Dapat dipahami bahwa moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat di mana manusia itu berada. Karena moral merupakan pengatur perilaku individu dalam bersosialisasi dengan kelompok masyarakat.

Dengan adanya moral baik yang tumbuh dalam masyarakat, kehidupan bersosialisasi di dalamnya akan terasa damai. Hal tersebut harus dipatuhi, karena moral memiliki fungsi dalam mengatur, menjaga ketertiban, dan menjaga keharmonisan antar masyarakat yang ada dalam suatu pranata sosial. Moral memiliki pengaruh pada cara pandang seseorang dalam menilai suatu kasus. Jika nilai – nilai moral yang dimiliki oleh individu bersifat baik, sesuai dengan aturan dan tata cara bersosialisasi, maka individu tersebut jika melihat situasi yang tidak sesuai dengan prinsip moral yang ia pegang, maka ia akan menganggap situasi tersebut tidak bermoral, atau tidak memiliki aturan dalam bersosialisasi. Begitu pula sebaliknya.

Moral merupakan nilai perilaku yang harus dipatuhi, karena moral merupakan norma yang mengatur baik-buruk individu dalam suatu masyarakat. Kepribadian seseorang sangat erat kaitannya dalam kegiatan sehari – hari, moral diperlukan demi kehidupan yang damai dan harmonis sesuai dengan aturan. Masalah moralitas masyrakat Indonesia baik itu usia remaja hingga dewasa, sekarang ini sudah menjadi problema umum dan merupakan pertanyaan yang belum ada jawabannya. Seperti mengapa para remaja kita sudah mengkonsumsi obat – obatan terlarang, mengapa para remaja kita dengan bebasnya bergaul dengan lawan jenis tanpa merasa risih dan malu, megapa para pemimpin di negeri kita sungguh mudah tersinggung, dan tidak malu juga mempertontonkan pertengkaran di muka umum, mengapa begitu banyak para pemimpin ini tidak merasa malu mengambil hak – hak orang kecil, seperti melakukan korupsi. Pertanyaan – pertanyaan seperti yang telah dikemukakan merupakan sederetan kecil dari masalah moral yang  masih belum bisa hadapi.

  • Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas – asas akhlak (moral). Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya, etika membahas tentang tingkah laku manusia.

Tujuan etika dalam pandangan filsafat adalah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan karena pandangan masing – masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.

Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu – ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut baik dan buruk.

Dalam peradaban sejarah manusia sejak abad keempat sebelum Masehi, para pemikir telah mencoba menjabarkan berbagai corak landasan etika sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Para pemikir itu telah mengidentifikasi sedikitnya terdapat ratusan macam ide agung (great ideas). Seluruh gagasan atau ide agung tersebut dapat diringkas menjadi 6 prinsip yang merupakan landasan penting etika, yaitu sebagai berikut :

  1. Prinsip Keindahan

Prinsip ini mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan. Berdasarkan prinsip ini, manusia memperhatikan nilai – nilai keindahan dan ingin menampakkan sesuatu yang indah dalam perilakunya. Misalnya dalam berpakaian, penataan ruang, dan sebagainya sehingga membuatnya lebih bersemangat untuk bekerja.

  1. Prinsip Persamaan

Setiap manusia pada hakikatnya memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, sehingga muncul tuntutan terhadap persamaan hak antara laki – laki dan perempuan, persamaan ras, serta persamaan dalam berbagai bidang lainnya. Prinsip ini melandasi perilaku yang tidak diskrminatif atas dasar apapun.

  1. Prinsip Kebaikan

Prinsip ini mendasari perilaku individu untuk selalu berupaya berbuat kebaikan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip ini biasanya berkenaan dengan nilai – nilai kemanusiaan seperti hormat – menghormati, kasih sayang, membantu orang lain, dan sebagainya. Manusia pada hakikatnya selalu ingin berbuat baik, karena dengan berbuat baik dia akan dapat diterima oleh lingkungannya. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kebaikan bagi masyarakat.

  1. Prinsip Keadilan

Kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya mereka peroleh. Oleh karena itu, prinsip ini mendasari seseorang untuk bertindak adil dan proporsional serta tidak mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain.

  1. Prinsip Kebebasan

Sebagai keleluasaan individu untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan pilihannya sendiri. Dalam prinsip kehidupan dan hak asasi manusia, setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri sepanjang tidak merugikan atau mengganggu hak – hak orang lain. Oleh karena itu, setiap kebebasan harus diikuti dengan tanggung jawab sehingga manusia tidak melakukan tindakan yang semena – mena kepada orang lain. Untuk itu kebebasan individu disini diartikan sebagai :

  • Kemampuan untuk berbuat sesuatu atau menentukan pilihan.
  • Kemampuan yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan pilihannya tersebut.
  • Kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
  1. Prinsip Kebenaran

Kebenaran biasanya digunakan dalam logika keilmuan yang muncul dari hasil pemikiran yang logis atau rasional. Kebenaran harus dapat dibuktikan dan ditunjukkan agar kebenaran itu dapat diyakini oleh individu dan masyarakat. Tidak setiap kebenaran dapat diterima sebagai suatu kebenaran apabila belum dapat dibuktikan.

Semua prinsip yang telah diuraikan itu merupakan prasyarat dasar dalam pengembangan nilai – nilai etika atau kode etik dalam hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, dengan pemerintah dan sebagainya. Etika yang disusun sebagai aturan hukum yang akan mengatur kehidupan manusia, masyarakat, organisasi, instansi pemerintah, dan pegawai harus benar – benar dapat menjamin terciptanya keindahan, persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan dan kebenaran bagi setiap orang.

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai – nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan,  sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Basis teori etika terdiri dari :

  1. Teori Teleologi

Istilah ini diperkenalkan pada abad ke 18 oleh Christian Wolf. Teleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu telos yang memiliki arti tujuan. Dalam hal mengukur baik buruknya suatu tindakan yaitu berdasarkan tujuan yang akan dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari tidakan yang telah dilakukan.

Teori teleologi ini menyatakan bahwa :

  • Konsekuensi – konsekuensi tentang perbuatan moral menentukan manfaat dan ketepatan perbuatan tersebut. Seseorang mungkin memiliki niat – niat baik, atau mengikuti prinsip – prinsip moral yang tertinggi. Tetapi jika hasil sebuah tindakan itu berbahaya atau jelek, maka dinilai sebagai perbuatan yang salah secara moral atau etika.
  • Sebuah etika dimana manfaat moral dari sebuah tindakan dinilai dalam pengertian sejauh mana tindakan tersebut mencapai tujuan atau sasarannya (atau tujuan atau sasaran dari sistem etika yang diikuti).
  • Sebuah etika yang di dalamnya kebenaran atau kesalahan sesuatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang sesuai dengan keiginan dan baik. Apapun yang dicapai sebagai hasil akhirnya dipadang baik secara moral. Sedangkan apapun yang menghalangi pencapaiannya adalah jelek secara moral.

Dari sudut pandang “apa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi 2 yaitu :

  • Teleologi Hedonisme (hedone = kenikmatan) yaitu tindakan yang bertujuan untuk mencari kenikmatan dan kesenangan.
  • Teleologi Eudamonisme (eudamonia = kebahagiaan) yaitu tindakan yang bertujuan untuk mencari kebahagiaan hakiki.

Dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi 2 yaitu :

  • Egoisme

Rachels (2004) memperkenalkan 2 konsep yang berhubungan dengan egoisme.  Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut  teori ini, orang boleh saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang  sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain  atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri  sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut adalah pokok – pokok pandangan egoisme etis :

  1. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain.
  2. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu – satunya tugas adalah kepentingan diri.
  3. Meski egoisme etis berkeyakinan bahwa satu – satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan menolong orang lain.
  4. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
  5. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri.

Alasan yang mendukung teori egoisme :

  1. Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri se Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.
  2. Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis :

  1. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik – konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan – kepentingan yang bertabrakan.
  2. Egoisme etis bersifat sewenang – Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas timbulnya rasisme.

Inti pandangan dari egoisme adalah tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri.

Contohnya, Joko adalah seorang pengusaha muda yang sukses dan dia sangat tekun dalam bekerja. Namun meski begitu, Joko adalah seseorang yang pelit dan hanya menggunakan uang hasil kerja kerasnya untuk bersenang – senang atau kepentingannya sendiri.

  • Utilitarianisme

Berasal dari bahasa Latin yaitu utilis yang memiliki arti bermanfaat. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Paham utilitarianisme adalah sebagai berikut :

  1. Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak.
  2. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu – satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
  3. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak).

Prinsip dasar utilitarianisme adalah :

  1. Manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar diterapkan pada perbuatan
  2. Aturan membatasi diri pada justifikasi aturan – aturan moral

Kritik terhadap teori utilitarianisme :

  1. Utilitarianisme hanya menekankan tujuan atau manfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.
  2. Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu atau minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.

Contohnya, Qiram adalah seseorang yang pintar dan rajin belajar. Berkat itu pula, Qiram bisa mendapatkan beasiswa di universitas terbaik. Namun, Qiram adalah orang yang sangat baik. Dia tak segan – segan untuk mengajarkan ke temannya bila temannya tidak mengerti pelajaran yang dipelajari di universitasnya.

  1. Teori Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata yunani yaitu deon yang berarti kewajiban. Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan, tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Ada 3 prinsip yang harus di penuhi yaitu :

  • Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus di jalankan berdasarkan kewajiban.
  • Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung tercapainya tujuan dari tindakan itu tergantung pada kemauan baik yang mendorong sesorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan – tujuan tidak tercapai tindakan itu sudah dinilai baik.
  • Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.

Contohnya, Upik berkeinginan menjadi seorang guru karena dia senang mengajar dan keinginan tersebut telah tercapai. Upik menjadi seorang guru di salah satu SMA di dekat rumahnya. Dan Upik memiliki kewajiban untuk mendidik anak – anak sekolahnya agar menjadi anak yang pintar dan berprestasi.

  1. Teori Hak

Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi  baik buruknya  suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek  dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Teori hak sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama. Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu :

  • Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas sistem atau yurisdiksi hukum suatu negara, dimana sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang – Undang Dasar negara yang bersangkutan.
  • Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right). Jika dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan individu itu tidak melanggar hak – hak orang lain.
  • Hak kontraktual (contractual right), mengikat individu – individu yang membuat kesepakatan atau kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing – masing kontrak. Teori hak atau yang lebih dikenal dengan prinsip – prinsip HAM mulai banyak mendapat dukungan masyarakat dunia termasuk dari

Contohnya, Seorang anak memiliki hak untuk memilih dan menentukan apa mimpi dan cita – cita yang ingin diraih sesuai keinginannya dan bagaimana cara anak tersebut mewujudkannya asal masih dalam hal – hal positif.

  1. Teori Keutamaan

Teori ini memandang sikap atau akhlak seseorang. Teori keutamaan berangkat dari manusianya. Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifat – sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat – sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Karakter atau sifat utama dapat didefinisikan sebagai  disposisi sifat atau watak yang telah melekat atau dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secara amoral disebut manusia hina.

Keutamaan bisa didefinisikan yaitu disposisi watak yang telah diperoleh  seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.

Contohnya :

  • Kebijaksanaan, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi.
  • Keadilan, keutamaan lain yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa yang menjadi haknya
  • Suka bekerja keras, keutamaan yang membuat seseorang mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas – malasan. Ada banyak keutamaan semacam ini. Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki keutamaan.
  • Hidup yang baik, seseorang menjalankan hidup dengan tenang tanpa harus terlalu memikirkan beban yang sedang dia pikul dengan menikmati hidup.
  1. Teori Etika Teonom

Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Tuhan. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Tuhan, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan atau perintah Tuhan sebagaimana dituangkan dalam kitab suci. Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua  yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.

Etika berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi ini diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.

Walaupun telah ada etika sebagai pedoman kehidupan masyarakat, tidak berarti semua masyarakat akan taat terhadap peraturan yang dibuat. Sebagian besar masyarakat menentang dan bahkan membuat pelanggaran terhadap pedoman yang telah ada. Interaksi hubungan dalam kehidupan masyarakat juga tidak selamanya kondunsif. Seringkali, diwarnai dengan penyalahgunaan, pelanggaran, ataupun penyimpangan yang memicu pada pelanggaran etika. Akibatnya, pola interaksi antar masyarakat tidak lagi berjalan lancar, karena muncul konflik dan saling tidak percaya, terjadi ketidakharmonisan dalam penghormatan terhadap etika yang ada, dimana ada yang masih setia terhadap etika, namun sebagian cenderung menentang dan membenarkan tindakannya.

Beberapa faktor yang diyakini dapat membuat seseorang melanggar etika antara lain :

  1. Kebutuhan individu
  2. Tidak ada pedoman
  3. Perilaku dan kebiasaan individu yang terakumulasi dan tak dikoreksi
  4. Lingkungan yang tidak etis
  5. Perilaku dari komunitas

Sanksi yang diberikan apabila melakukan pelanggaran etika yaitu sebagai berikut :

  1. Sanksi sosial, yaitu sanksi yang diberikan masyarakat tanpa melibatkan pihak yang berwenang. Biasanya sanksi sosial diberikan atas kejahatan – kejahatan kecil yang masih bisa dimaafkan. Hukuman yang diterima masyarakat jika mendapatkan sanksi sosial misalnya membayar ganti rugi. Pedomannya adalah etika setempat berdasarkan keputusan bersama.
  2. Sangsi Hukum. Sanksi ini diberikan oleh pihak berwenang, dalam hal ini pihak kepolisian dan hakim. Pelanggaran yang dilakukan tergolong pelanggaran berat dan harus diganjar dengan hukuman pidana ataupun perdata.

Berbeda dengan ajaran moral, etika tidak dimaksudkan untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baikEtika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Terdapat 4 alasan mengapa etika semakin diperlukan pada zaman ini yaitu sebagai berikut :

  1. Masyarakat sekarang ini semakin pluralistik atau majemuk, baik dari suku, daerah, agama yang berbeda – beda, demikian pula dalam bidang moralitas. Kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering saling bertentangan.Mana yang mau diikuti, apakah yang diterima dari orang tua kita dahulu, moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa.
  2. Masa transformasi (perubahan) masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan yang diakibatkan gelombang modernisasi merupakan kekuatan yang menghantam semua segi kehidupan manusia. Kehidupan di  kota sudah jauh berbeda dibanding tahun – tahun sebelumnya. Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai – nilai budaya tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi inilah etika membantu kita agar jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah, dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap – sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.
  3. Perubahan sosial budaya yang terjadi itu dapat dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh. Mereka menawarkan ideologi – ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi tersebut secara kritis dan objektif, dan untuk membentuk penilaian kita sendiri, agar tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga membantu kita jangan naif atau ekstrem, yaitu jangan cepat – cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak nilai – nilai hanya karena baru dan belum biasa.

Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu fihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut – takut dengan tidak menutup diri dari semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak – pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi profesi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktik profesinya bagi masyarakat. Di Indonesia, kode etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggungjawab profesionalnya. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terdiri dari 3 bagian yaitu :

  1. Prinsip Etika
  2. Aturan Etika
  3. Interpretasi Aturan Etika

Berikut adalah delapan prinsip etika yang telah ditentukan ketetapannya :

  1. Tanggung Jawab Profesi

Dalam prinsip tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota berkewajiban menggunakan pertimbangan moral dan profesional setiap melakukan kegiatannya.
Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota memiliki tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka.

  1. Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, mengormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.

  1. Integritas
    Integritas adalah suatu satu kesatuan yang mendasari munculnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang mendasari kepercayaan publik dan merupakan standar bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
    Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus menjaga tingkat integritasnya dengan terus memaksimalkan kinerjanya serta mematuhi apa yang telah menjadi tanggung jawabnya.
  2. Objektivitas
    Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota berdasarkan apa yang telah pemberi nilai dapatkan. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur, secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain
  3. Kompetensi dan Kehati – hatian Profesional

Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota tidak diperkenankan menggambarkan pengalaman kehandalan kompetensi atau pengalaman yang belum anggota kuasai atau belum anggota alami. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 fase yang terpisah :

  • Pencapaian Kompetensi Profesional.

Pencapaian ini pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subjek – subjek yang relevan. Hal ini menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.

  • Pemeliharaan Kompetensi Profesional.

Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui komitmen, pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, serta anggotanya harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten. Sedangkan kehati – hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesinya dengan kompetensi dan ketekunan.

  1. Kerahasiaan
    Dalam kegiatan umum auditor merupakan memeriksa beberapa yang seharusnya tidak boleh orang banyak tahu, namun demi keprofesionalitasannya, para auditor wajib menjaga kerahasiaan para klien yang diauditnya. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selam melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staff di bawah pengawasannya dan orang – orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
  2. Perilaku Profesional

Kewajiban untuk menghindari perbuatan atau tingkah laku yang dapat mendiskreditkan atau mengurangi tingkat profesi harus dipenuhi oleh anggota sebgai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staff, pemberi kerja dan masyarakat umum.

  1. Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan profesionalitasnya sesuai dengan standar teknis dan standar professional yang ditetapkan secara relevan. Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh IAI, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang – undangan yang relevan.

  • Pandangan Ilmu Akuntansi Dalam Perspektif Etika

Adanya etika berarti adanya kepentingan terhadap pertimbangan – pertimbangan moral yang terlibat dalam penganbilan keputusan moral mengenai apa yang secara moral benar dan secara moral baik atau buruk. Berbagai kategori dari perspektif etis atau model – model pemikiran etis dapat diterapkan dalam akuntansi. Mereka akan ditinjau tepat sebelum pembahasan mengenai implementasi, pengajaran, dan riset mengenai etika dalam akuntansi.

Perspektif etika dalam akuntansi terdiri atas :

  1. Etika utilitarian

Etika utilitarian atau utilitarianisme sebagai suatu pendekatan dalam memecahkan isu – isu moral juga dikenal dengan isltilah konsekuentialisme. Pendekatan ini melihat apakah suatu tindakan dapat dianggap secara moral benar atau salah dengan hanya didasarkan kepada konsekuensi akibat dari kita melakukannya. Tindakan yang tepat adalah tindakan yang memberikan konsekuensi terbaik atau kegunaan yang paling besar. Asumsi impllisitnya adalah bahwa biaya dan manfaat suatu tindakan dapat diukur berdasarkan suatu skala menarik yang umum dan dapat ditambah atau dikurangi satu sama lain keunggulan dari etika utilitarian adalah :

  • Sasaran moralitas
  • Proses pemikiran moral
  • Fleksibiitas dan pengecualian
  • Menghindari konflik aturan.

Sedangkan kesulitan yang muncul karena adanya etika utilitarian adalah :

  • Penolakan dari kewajiban khusus
  • Penolakan dari hak asasi
  • Penolakan dari keadilan
  1. Etika deontologi

Etika deontologi sebagai salah satu pendekatan dalam memecahkan isu – isu moralitas dikenal pula dengan istilah moralitas berbasis aturan. Pendekatan ini mempertimbangkan suatu tindakan yang menurut moral itu benar jika itu telah sesuai dengan aturan moral yang tepat. Sebuah tindakan yang melanggar aturan tersebut namun menghasilkan suatu yang menguntungkan akan tetap dianggap salah. Sumber – sumber aturan tersebut dapat berupa teologis atau sosialis. Karena adanya keterbatasan – keterbatasan dari kedua sumber, digunakan kriteria yang ditetapkan berdasarkan atas konsekuensi menerapkan suatu kumpulan aturan – aturan moral tertentu atau kemampuan yang seharusnya kita miliki mengenai intuisi moral.

  1. Pemikiran akan kelayakan

Karena kekuatan dan keterbatasan yang dimiliki oleh etika utilitarianisme dan deontologi, suatu kompromi yang sesuai akan menjadi suatu hal yang ideal. Suatu alternatif baik dari etika utilitarianisme maupun etika deontologi ditawarkan oleh pemikiran akan kelayakan (notion of fittingness). Kelayakan (fittingness) yang berasal dari konsep yunani kuno kathokonda, dapat digunakan untuk mengevaluasi moralitas dari suatu tindakan melalui suatu referensi terhadap apakah mereka pantas dan sesuai dengan etos yang diakui bersama – sama oleh individu dan masyarakat.

Pemikiran akan kelayakan menempatkan satu individu dalam konteks tanggung jawab dan responsibilitas terhadap etos yang didalamnya terkumpul kepentinngan sosial dan politik masyarakat sekitar. Tindakan responsif harus menerjemahkan reaksi – reaksi lama dan harus menyesuaikan dirinya dengan reaksi baru. Kelayakan menjadi kriteria untuk mengevaluasi pilihan – pilihan moral.

Sebagai suatu ilmu, etika terdiri dari berbagai macam jenis dan ragamnya yaitu sebagai berikut :

  1. Etika Deskriptif, memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk serta hal – hal mana yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut masyarakat. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
  2. Etika Normatif, membahas dan mengkaji ukuran baik buruknya tindakan manusia. Jadi Etika Normatif merupakan norma – norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal – hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Etika normatif biasa dikelompokan menjadi :
  • Etika umum, membahas berbagai hubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori – teori dan prinsip – prinsip moral. Etika umum berisi prinsip serta moral dasar.
  • Etika khusus, terdiri dari :
  1. Etika sosial, menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia dalam aktivitasnya. Etika sosial dibagi menjadi sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi (misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis dan pialang informasi), etika politik dan etika lingkungan hidup.
  2. Etika individu, lebih menekankan pada kewajiban – kewajiban manusia sebagai pribadi.
  • Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.

Pendekatan etika terhadap teori akuntansi menekankan konsep – konsep keadilan, kebenaran, dan kewajaran (justice, truth, fairness). Yang menarik, setiap konsep ini menemukan jalannya sendiri untuk sampai pada kerangka dasar konseptual yang diciptakan oleh FASB. Pertimbangan seperti tidak adanya kesengajaan untuk memihak (bias) dan kejujuran penyajian (representational faithfulness) dianggap sebagai karakterisktik yang perlu dalam sistem akuntansi yang andal. Netralitas, yang berarti bahwa informasi tidak boleh dipoles agar mempengaruhi perilaku ke arah tertentu, adalah sifat yang sangat penting dalam penetapan standar. Pertimbangan etika mempunyai pengaruh yang meresap di seluruh aspek akuntansi.

  • Filsafat Moral dan Etika

Etika adalah salah satu bagian dari cabang filsafat, tetapi mengenai moral sehingga juga disebut filsafat moral. Sebagai filsafat moral.Etika menyelidiki perbuatan baik dan buruk, benar dan salah berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan dalam kehendaknnya. Sebagai obyek ilmu pengetahuan, telaah etika adalah moral sehingga yang dimaksud dengan moral adalah keseluruhan norma yang berbentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku manusia dan bermasyarakat dimana manusia itu berada. Sedangkan ciri moral adalah mengandalkan kesadaran manusia, manusia dibentuk oleh moral. Dimensi lain yang ditelaah etika adalah kecenderungan batin sebagai sumber perbuatan dan tujuan perbuatan dengan demikian dapat diketahui keadaan moral perilakunya. Sebagai ilmu pengetahuan filsafat moral, etika menelaah tujuan hidup manusia yaitu, kebahagian, kebahagian dimaksud adalah kebahagian sempurna yang memuaskan manusia, baik jasmani maupun rohani dari dunia sampai ke akhirat melalui kebenaran filosofis, kebahagiaan sempurna adalah tujuan akhir manusia.

Filsafat jika dilihat dari segi objeknya adalah kegiatan intelektual yang metodis dan sistimatis, secara refleksi menangkap makna hakiki keseluruhan yang ada. Obyek filsafat bersifat universal, mencakup segala yang dialami manusia. Berpikir secara filsafat adalah mencariarti yang sebenarnya segala hal yang ada melalui pandangan cakrawala yang paling luas. Metode pemikiran filsafat adalah refleksi atas pengalaman dan pengertian tentang suatu hal tentang cakrawala yang universal. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) yang disebut raksasa pikiran Barat, mengatakan bahwa filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu apakah yang dapat kita ketahui (dijawab oleh metafisika), apakah yang boleh kita kerjakan (dijawab oleh etika), sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab oleh agama) dan apakah yang dinamakan manusia (dijawab oleh Antropologi).

Ada 4 persamaan fundamental filsafat etika semua agama, yaitu :

  1. Semua agama mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertinggi selaintujuan hidup di Hindu menyebutnya moksa, Budha menyebutnya nirwana,Islam menyebutkan akhirat dan Kristen menyebutnya surga. Semua mengakuiadanya eksistensi nonduniawi yang menjadi tujuan akhir umat manusia.
  2. Semua agama mengakui adanya Tuhan dan semua agama mengakui adanyakekuatan tak terbatas yang mengatur alam semesta ini.
  3. Etika bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup manusia di dunia,tetapi juga sebagai salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir umat
  4. Semua agama memiliki ajaran moral yang bersumber dari kitab suci masing- Adaprinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan bersifat mutlakyang dijumpai disemua agama, tetapi ada juga yang bersifat spesifik dan hanyaada pada agama tertentu saja.
  • Filsafat Immanuel Kant

Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke­18. Pada abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang memang berakar pada Renaissance serta mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Zaman ini disebut zaman Aufklarung atau zaman pencerahan. Menurut Immanuel kant mengatakan bahwa zaman pencerahan adalah zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik, yang disebabkan karena kesalahan manusia sendiri. Kesalahan itu terletak disini, bahwa manusia tidak mau memanfaatkan akalnya. Munculnya Kant         (1724-1804), mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat. Kant sendiri memang merasa, bahwa Kant meneruskan pencerahan.

Pemikiran Immanuel Kant telah banyak digunakan sebagai referensi dalam mempelajari ilmu filsafat khususnya filsafat moral. Pemikiran Immanuel Kant semula dipengaruhi oleh rasionalisme Leibinz dan Wolff,  kemudian ia dipengaruhi empirisme Hume, selain juga nampak pula pengaruh Rousseau. Dalam tulisan – tulisan Kant paling awal, ia cenderung pada metafisika rasionalistik. Awal pemikirannya, Kant terpengaruhi oleh aliran pietisme dari ibunya. Pietisme yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci. Kant sendiri menulis bahwa empirisme Hume telah membangunkannya dari tidur Dogmatisnya. Hume telah mendestruksikan atau menghancurkan anggapan filsafat sebelumnya bahwa paham – paham seperti substansi atau sebab dapat ditemukan dalam realitas empiris.

Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian – pengertian yang telah ada tentang Allah atau substansi monade. Pemikiran dogmatisme menganggap pengenalan objektif sebagai sesuatu yang sudah dengan sendirinya dan menurut kant, pemikiran tersebut adalah salah. Dalam proyek pemikirannya, Kant hendak membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangun secara baru. Filsafat Kant menjadi Kritisisme yang dilawankan dengan seluruh filsafat sebelumnya yang ditolaknya yaitu sebagai dogmatisme. Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya yang analitis dan tajam memasang patok – patok yang mau tak mau menjadi acuan bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistemologi, metafisika dan etika.

Filsafat Kant disebut kritisme, secara harfiah kritik berarti pemisahan. Filsafat Kant bermaksud membedakan antara pengetahuan yang murni dan yang tidak murni, yang tidak ada kepastiannya. Kant ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan – kemampuan rasio secara objektif dan menemukan batasan – batasan kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan. Kant mengatakan bahwa ada dua hal yang membuatnya kagum, yaitu langit dengan bintang – bintangnya dan hukum moral di dalamnya. Di atas hukum morallah Kant mendasarkan seluruh struktur filsafat.

Berkenaan dengan pemikiran deontologinya, Kant mengemukakan diktum moralnya yang cukup terkenal yaitu bertindaklah sehingga maxim (prinsip) dari kehendakmu dapat selalu, pada saat yang sama, diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan hukum universal. Contoh tindakan moral jangan membunuh adalah besar secara etis karena pada saat yang sama dapat diuniverasalisasikan menjadi prinsip umum, (berlaku untuk semua orang dimana saja kapan saja). Etika Immanuel Kant diawali dengan pernyataan bahwa satu – satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah kehendak baik. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal – hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban.

Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya yaitu sebagai berikut :

  1. Memenuhi kewajibannya karena hal itu menguntungkannya.
  2. Memenuhi kewajibannya karena terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan.
  3. Memenuhi kewajibannya karena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya.

Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang mencapai moralitas. Lalu Kant membedakan dua hal antara Legalitas dan Moralitas. Legalitas adalah pemenuhan kewajiban yang didorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional. Sedang Moralitas adalah pemenuhan kewajiban yang didorong oleh keinginan memenuhi kewajiban yang muncul dari kehendak baik dari dalam diri.

Selanjutnya Kant menjabarkan kriteria kewajiban moral, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan. Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana – mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yang berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya kamu wajib terbang, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya.

Ada tiga Rumusan Imperatif kategoris menurut Kant yaitu sebagai berikut :

  1. Bertindaklah semata – mata menurut maksim yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum. Kata Maksim artinya adalah prinsip subyektif dalam melakukan tindakan. Maksim ini yang kemudian menjadi dasar penilaian moral terhadap tindakan seseorang, apakah tindakan moral yang berdasarkan maksimku dapat diuniversalisasikan, diterima oleh orang lain dan menjadi hukum umum. Prinsip penguniversalisasian ini adalah ciri hakiki dari kewajiban moral.
  2. Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia entah didalam personmu atau didalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri bukan semata – mata sebagai sarana belaka. Maksudnya bahwa segala tindakan moral dan kewajiban harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap person.
  3. Otonomi kehendak. Tanpa otonomi kehendak, manusia tidak dapat bertindak sesuai dengan rumusan Imperatif Kategoris.

Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga postulat antara lain kebebasan kehendak manusia, immortalitas jiwa dan eksistensi Allah. Kehendak bebas manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Immortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia tidak mungkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti. Dan Keberadaan Allah yang menjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai postulat yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia.

Setiap orang yang mempelajari etika Kant dengan cermat tidak akan meragukan bahwa etika ini sangat mengesankan. Kant menemukan otonomi dan moralitas bagi etika. Perbedaan antara moralitas dan legalitas, antara sikap moral dan sikap taat pada aturan merupakan perbeadaan dasar bagi pengertian moralitas secara universal. Penegasan yang diberikan kepada Kant bahwa moralitas adalah masalah keyakinan dan sikap batin, bukan sekedar sikap penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adat istiadat, Negara dan agama) memiliki arti bahwa ketaatan pada peraturan belum menjamin kualitas moral.

Meskipun memiliki beberapa keunggulan, bukan berarti etika Kant tanpa masalah. Terhadap ajaran Kant mengenai etika, ada sejumlah pernyataan kritis pada dasarnya menentang pandangan Kant bahwa kita harus menaati kewajiban secara mutlak. Secara mendasar menaati kewajiban secara mutlak tidak ada msalah, namun pernyataannya bagaimana kalau ada dua kewajiban yang saling bertentangan. Dalam suatu peristiwa, seorang pemuda yang menyembunyikan rekannya dari kejaran seorang pembunuh. Apa yang harus dilakukannya? berbohong (untuk menyelamatkan nyawa temannya) atau mengatakan sebenarnya (berarti temannya mati). Dalam kasus ini pendapat Kant berbicara, bukankah menyelamatkan dan menyatakan kebenaran adalah kewajiban kita. Lalu bagaimana dilema moral ini dipecahkan. Wiliam David Ross (1877-1971) memberikan jalan keluar dengan menambah nuansa lain pada pandangan tentang kewajiban prima facie (pertama) atau dengan kata lain, suatu kewajiban hanya bersifat mutlak, sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dengan demikian keajiban adalah kewajiban untuk sementara. Apabila berdasarkan pertimbangan lain ternyata kita tahu bahwa ada kewajiban lain yang lebih penting, maka kewajiban yang lebih penting tersebut harus didahulukan.

Dalam kasus diatas tampak jelas bahwa menyelamatkan nyawa adalah kewajiban yang lebih mendesak dana lebih penting dibandingkan sekedar memberikan jawaban yang benar atau jujur kepada pembunuh. Selain itu masalah kewajiban dalam pandangan Kant masih abstrak. Apakah dalam kenyataannya orang bertindak melakukan kewajiban demi kewajiban belaka. Seandainya kita memenuhi kewajiban demi kewajiban semata – mata, tahu sikap tersebut bisa dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi yang sehat. Bukankah orang melakukan kewajiban tidak secara buta demi kewajiban itu sendiri, melainkan demi nilai – nilai yang ingin diperjuangkan. Dengan demikian, kewajiban bertujuan pada pelaksanaan nilai – nilai (kritik dari Max Scheler, 1874-1924). Menurut Scheler orang bertindak bukan demi kewajiban semata belaka sebagaimana diajarkan Kant, melainkan demi nilai – nilai. Dengan demikian kewajiban saja tidak cukup, perlu ditambah menjalankan kewajiban untuk bertindak berdasarkan nilai.

  • Filsafat Karl Marx

Marxisme adalah suatu teori yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) sebagai bentuk protes atas kapitalisme. Teori ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Communist Manifesto” yang dikarang bersama sahabatnya, Friedrich Engels. Asumsi dasar dari teori ini adalah tentang pertentangan kelas, dimana masyarakat pada intinya terbagi menjadi 2 kelas, yaitu mereka yang termasuk dalam para pemilik modal (kaum borjuis) dan mereka yang tidak memiliki modal dan alat-alat produksi (kaum proletariat). Karl Marx mengusulkan untuk menghapus kaum borjuis dan sistem kelas serta meninggalkan kapitalisme dan beralih ke komunisme yang menawarkan masyarakat tanpa kelas sehingga meminimalisir terjadinya konflik.

Menurut etika marxisme, norma – norma etis yang dimilik oleh suatu masyarakat atau kelas tertentu bukan merupakan nilai – nilai yang berdasarkan pernyataan atau wahyu ilahi atau hukum – hukum yang abadi, melainkan mencerminkan dan berakar dari keadaan materil masyarakat. Oleh karena itu, keadaan dan struktur masyarakat harus diubah (misalnya masyarakat kelas atau golongan ke masyarakat sosialis), supaya bangsa dan manusia (yang direpresentasikan oleh ploretariat) dapat mengembangkan semua potensinya dan kemungkinannya yang selama ini hanya dieksploitasi untuk kepentingan – kepentingan kelas atas dan untuk keselamatan seluruh bangsa.

Asumsi dasar perspektif marxisme dalam hubungan internasional adalah adanya proses penyatuan human race melalui dinamika globalisasi kapitalis dan kapitalisme ini dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional. Analisis globalisasi dan fragmentasi di dalam tradisi Marxist dikenal sebagai paradigma kelas dan produksi di mana tingkat pereduksiannya bergantung pada dimensi ekonomi dari keadaan sosial yang secara politis maupun normatif berpengaruh terhadap perpolitikan dunia. Jika direlevansikan dengan keadaan saat ini, adanya teori marxisme mampu melewati masa bipolaritas dengan meningkatkan dampak globalisasi dunia dan fragmentasi (perpecahan) etnis yang bertentangan dengan struktur negara secara internasional. Salah satu alasan mengapa Marxisme merupakan sistem pemikiran yang amat kaya adalah bahwa Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual yang masing – masing telah sangat berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris.

Menurut Marx, etika kelas adalah tindakan yang benar karena membela kepentingan kelasnya. Kelas pemilik alat produksi, tindakan yang benar adalah mempertahankan dan   mengembangkan kepemilikan atas alat produksi, kelas penguasa, tindakan yang benar adalah mempertahankan dan mengembangkan kekuasannya. Kelas bukan pemilik alat produksi, tindakan yang benar adalah merebut alat – alat produksi menjadi milik kaum buruh atau milik bersama, kelas yang dikuasi, tindakan yang benar adalah merebut kekuasaan menjadi penguasa. Kelas sosial juga dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut :

  1. Etika kelas revolusioner adalah tindakan yang benar adalah merebut kekuasaan politik, hal itu dilakukan oleh kaum borjuis Perancis melalui Revolusi Perancis 1789, kaum buruh Rusia melalui Revolusi Rusia 1917, dan revolusi – revolusi bangsa – bangsa terjajah.
  2. Etika kelas reaksioner adalah tindakan yang benar dalam mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi, hal itu dilakukan oleh kaum feodal dalam revolusi borjuis, dilakukan kaum borjuis dalam revolusi buruh, dilakukan oleh kaum kolonial dalam revolusi kemerdekaan.

Kaum Marxis adalah penganut etika hedonistik karena mementingkan kelasnya sendiri dengan mengabaikan bahkan menghancurkan kelas lainnya yaitu kelas feodal, kelas borjuis, dan kelas kolonialis. Mereka (kaum Marxis) menganut etika masyarakat tanpa kelas, yaitu tindakan yang benar untuk membangun masyarakat tanpa kelas, dimana tidak ada penindas dan yang ditindas, untuk mewujudkannya melalui revolusi sosialis. Di samping itu kaum Marxis mengadopsi etika relativisme, di mana tindakan benar-salah tergantung sistem sosial tertentu atau sistem kebudayaan tertentu.

Masalah Marx dan moralitas menimbulkan teka – teki. Ketika membaca karya – karya Marx di semua periode hidupnya, tampaknya menjadi kebencian yang paling kuat terhadap masyarakat kapitalis borjuis, dan suatu dukungan yang tak diragukan dari masyarakat komunis masa depan. Namun hal ini antipati dan dukungan jauh dari jelas. Meskipun harapan, Marx tidak pernah mengatakan bahwa kapitalisme tidak adil. Baik yang dia katakan bahwa komunisme akan menjadi bentuk hanya dari masyarakat. Bahkan ia membutuhkan berusaha menjauhkan diri dari mereka yang terlibat dalam wacana keadilan, dan membuat upaya sadar untuk mengecualikan komentar moral yang langsung dalam karya – karya sendiri. Teka – teki adalah mengapa ini harus, mengingat berat komentar moral yang tidak langsung orang menemukan.

Marx memandang etika sebagai sesuatu yang berubah menurut zaman dan tingkat produksi. Dalam masa – masa sebelum diktator proletariat, etika itu baginya sama saja dengan etika kalangan berpunya, kalangan penguasa. Jadi etika itu bersifat nisbi, tidak ada yang absolut. Berbeda dengan etika pekerja dimasa diktator proletariat, bahwa etika pekerja penuh dengan sifat – sifat kemanusiaan yang cenderung pada keabsolutan. Semua alat dihalalkan asalkan maksudnya sampai. Ini seakan yang bersifat mutlak.

Teori marxian mengatakan bahwa strategi konflik marxian memandang masyarakat sebagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi. Kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok mereka sendiri. Teori kritik tersebut jika dilihat dizaman sekarang terdapat kemiripan yaitu dimana politik di negeri ini, kita ketahui bahwa ketika ada pemilihan calon legislatif, para partai politik saling berlomba – lomba untuk memperoleh kursi di DPR yang diperuntukkan agar visi dan misi partai tercapai, sehingga partai yang kuat di parlemen lebih berkuasa dalam voting ketika membuat suatu kebijakan.

  • Agama dan Akuntansi

Sebagai sebuah alat, akuntansi tidak lepas dari suatu perkembangan peradaban. Akuntansi tidak hanya memiliki nilai yang statis, namun mengalami perubahan yang bersifat dinamis mengikuti perkembangan jaman. Berkaca dari pendapat Mulawarman (2013:153) yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi, tanah, pangan dan energi yang berujung pada terbentuknya nilai kapitalisme, disadari atau tidak secara langsung akuntansi terbawa dalam arus peradaban manusia Inilah yang menjadi realitas dari akuntansi saat ini, yang lebih memfokuskan diri kepada unsur fisik semata daripada nilai Ketuhanan.

Konsep akuntansi modern yang dibuat oleh Luca Pacioli sebenarnya sudah menceminkan adanya keterkaitan antara akuntansi dengan agama. Penggunaan kalimat In The Name Of God sebagai pembuka pada laporan keuangan yang digagas olehnya (Kamayanti, 2012) menunjukkan adanya nilai Ketuhanan dalam Rahim akuntansi. Dalam perspektif lain, profesi Luca Pacioli sebagai seorang biarawan (Kamayanti, 2012; Harahap, 2012:32; Sukoharsono, 2012:459) menunjukkan adanya keinginan untuk menggabungkan pemikiran antara akuntansi itu sendiri dengan pertanggungjawaban kepada Tuhan agama.

Memang, terdapat juga pihak yang meragukan kehadiran Luca Pacioli sebagai pelopor terbentuknya akuntansi modern. Hal ini terdapat dalam pernyataan Harahap (2012:37-41) dan Kamayanti (2012) yang mengklaim bahwa akuntansi yang dibawakan oleh Pacioli sudah dipraktekkan oleh bangsa Arab mulai abad 9M. Sedangkan Triyuwono (2012:22-23) berpendapat bahwa teknik akuntansi modern berasal dari kebudayaan Spanyol yang pada waktu itu merupakan negara muslim dan pusat perkembangan teknologi di Eropa. Terlepas dari adanya perbedaan perspektif pelopor, bagi penulis terdapat kesamaan nilai yang dibawakan yaitu kandungan agama dalam diri akuntansi itu sendiri.

Akuntansi spiritual hadir sebagai sarana untuk mewujudkan sikap kerendahan hati manusia. Melalui akuntansi yang berbasis pada nilai spiritual, manusia diajarkan untuk semakin menyadari bahwa dirinya bukanlah siapa – siapa dalam kehidupan. Namun, pemaknaan akuntansi yang berbasis kepada nilai spiritual juga harus mengalami perubahan terlebih dahulu. Jika akuntansi spiritual dimaknai dalam sudut pandang filosofis, kesadaran tersebut akan muncul dengan sendirinya. Sebaliknya, jika akuntansi spiritual hanya dimaknai dalam sudut pandang pragmatis, maka tetap saja manusia akan berorientasikan pada unsur – unsur materi.

Ajaran agama dan ajaran moral mana pun pastilah menjunjung tinggi nilai – nilai kejujuran, ketulusan, rendah hati, menghargai harkat kemanusian, rela berkorban demi kemaslahatan orang banyak, dan semacamnya. Ini juga nilai – nilai pribadi spiritual yang sifatnya universal, lintas agama dan bersifat langgeng. Artinya melintasi segala zaman dan tempat. Kecerdasan spiritual dalam akuntansi dapat mengambil contoh dari penyusunan pelaporan keuangan perusahaan. Jika suatu perusahaan ingin langgeng, pencapaian kebijakan keuangan perusahaan harus menjunjung nilai – nilai yang bersifat langgeng pula, karena hanya dengan cara itu, perusahaan akan bisa selalu menjadi bagian pertanggungjawaban dari nilai pribadi manusia. Kehadiran nilai – nilai spiritualitas akan memainkan peran signifikan dalam proses menjadi kinerja keuangan organisasi yang spiritual, artinya penyusunan laporan keuangan memberikan informasi yang dapat dipercaya dengan segala kebijakan yang ditetapkan. Pencapaian yang akan mampu menghasilkan perubahan sikap individu penyusun laporan keuangan untuk menurunkan praktik penyelewengan dan pelanggaran wewenang (fraud), serta meningkatkan citra atau kredibilitas perusahaan di mata stakeholder.

Nilai – nilai spiritual dalam hasil penyusunan pelaporan keuangan akan mampu memberikan ketepatan informasi yang dapat dipercaya bagi seluruh pengguna laporan keuangan tersebut, kehadiran penyusun laporan keuangan yang menumbuhkan kehadiran nilai – nilai spiritualitas akan memberikan dampak bagi perusahaan mampu bertahan dan terus berkembang seperti UPS, Southwest, Starbucks dan Timberland. Sebaliknya, tanpa spiritualitas, perusahaan bisa saja sukses tapi umumnya berjangka pendek, contoh ekstremnya sang raksasa Enron dan WorldCom (Prasetyo, 2012).

  • Kajian Moral dan Etika Dalam Akuntansi

Isu mengenai etika dalam bidang akuntansi telah lama menjadi diskusi yang cukup panjang dan serius. Akuntan memberi informasi bagi pembuatan keputusan publik. Sebagai profesional, akuntansi dipercaya untuk menyajikan informasi keuangan. Untuk melaksanakan kewajibannya tersebut secara profesional, perilaku seorang akuntan harus konsisten dengan ide – ide etika yang tertinggi. Perhatian pada isu – isu etika dalam dunia bisnis dan profesi secara dramatis telah meningkat belakangan ini, terlebih setelah kasus skandal – skandal khususnya di bidang akuntansi belakangan ini telah banyak menarik perhatian masyarakat.

Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun seseorang atau sekelompok orang mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral. Pencampuran antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata – mata tidak sejalan dengan kaidah – kaidah etika dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral karena masalah korusi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu harusnya didekati secara hukum. Dengan demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, manipulasi laporan keuangan.

Masalah etika dalam akuntansi menyangkut masalah kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan dalam melaksanakan tugasnya sebagai akuntan. Masalah ini berkaitan dengan praktik pelanggaran moral yang dilakukan oleh akuntan baik akuntan publik, akuntan manajemen maupun akuntan pemerintahan. Penelitian – penelitian tersebut menggunakan beberapa variabel atau faktor yang memengaruhi perilaku etis antara lain gender, locus of control, equity sensitivity, pengalaman kerja, umur atau usia, dan kecerdasan (kecerdasan intelektualitas, emosional dan spiritual). Perilaku etis seseorang dapat dikelompokkan ke dalam 3 aspek, yaitu :

  1. Aspek individual (religiusitas, kecerdasan emosional, gender, iklim etis individu, sifat – sifat personal dan kepercayaan bahwa orang lain lebih tidak etis).
  2. Aspek organisasi (suasana etis organisasi dan suasana organisasi).
  3. Aspek lingkungan (lingkungan organisasi dan lingkungan sosial).

Beberapa peneliti telah menemukan bahwa perilaku etis dipengaruhi secara signifikan oleh pihak lain yang dihadapi seorang individu dalam lingkungan profesinya tanpa memperhatikan apakah perilakunya sesuai dengan kode etik atau tidak. Tingkat pengaruh itu mungkin dipengaruhi oleh jauh dekatnya hubungan antara organisasi dengan pihak lain yang berkaitan, serta pihak yang berkuasa baik dari dalam organisasi maupun luar organisasi, misalnya dengan pemerintah, akantor akuntan lain dan sebagainya.

Penyimpangan – penyimpangan dalam akuntansi tidak akan terjadi apabila setiap profesional ini mempunyai pengetahuan, pemahaman, kemauan untuk menerapkan nilai – nilai moral dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya. Penelitian atas persoalan moral dalam akuntansi sebagian besar berfokus pada profesi akuntan dengan 3 kelompok kajian utama, yaitu :

  1. Pengembangan Moral (Ethical developement)
  2. Pertimbangan Moral (Ethical Judgment)
  3. Pendidikan Etika (Ethics Education)

Penelitian pengembangan moral berusaha mencari pokok – pokok yang mendasari proses pemikiran moral dalam praktik. Penelitian pertimbangan moral, menguji hubungan antara pemikiran moral dan perilaku moral, sedangkan Penelitian dalam pendidikan etika menginvestigasi tentang keefektifan campur tangan pendidikan dalam memecahkan atau memperbaiki sikap moral dan keahlian atau pengetahuan tentang pemikiran moral mahasiswa maupun praktisi. banyak penjelasan tentang mengapa ada orang yang fokus pada nilai moral dalam membuat pemikiran moral secara serius seperti sebuah catatan dalam perjanjian dari motivasi moral yang memberikan ide dari justifikasi yang lama terhadap penekanan motivasi moral kedalam bidang moral.

Disisi lain, karakter moral berkenaan dengan personaliti, seperti kekuatan ego, keteguhan ego, kegigihan, kekerasan hati, pemikiran dan kekuatan akan pendirian serta keberanian yang berguna untuk melakukan tindakan yang benar. Seorang individu yang memiliki kemampuan dalam menentukan apa yang secara moral baik atau buruk dan benar atau salah, mungkin bisa gagal atau salah dalam berkelakuan secara moral sebagai hasil dari kegagalan dalam mengidentifikasi persoalan – persoalan moral. Dalam berkelakuan secara moral seorang individu dipengaruhi oleh faktor – faktor individu yang dimilikinya.

  • Kasus

KPMG Siddharta Siddharta & Harsono (KPMG-SSH) tentu sudah tidak asing lagi bagi para eksekutif perusahaan – perusahaan besar di Jakarta. KPMG adalah salah satu anggota The Big Four Auditors, bersama dengan PWC, Ernst & Young dan Deloitte. KPMG berpusat di Belanda dan mempekerjakan lebih dari 100.000 orang dalam partnership global menyebar di 144 negara.

Pada September 2001, KPMG-SSH dan Soni B. Harsono menjadi tergugat di Pengadilan AS. Badan pengawas pasar modal AS Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, yaitu undang – undang yang melarang praktek korupsi yang dilakukan di ranah asing. UU ini memungkinkan pemerintah AS melakukan aksi hukum terhadap warga asing yang diduga terlibat korupsi dengan pihak AS, baik korporat ataupun perorangan.

Dalam kasus ini, salah satu pihak yang terlibat secara langsung adalah PT. Eastman Christensen (PTEC). PTEC ini adalah perusahaan Indonesia yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Baker Hughes Incorporated, perusahaan pertambangan yang bermarkas di Texas, AS. PTEC ini sendiri adalah pihak yang menurut gugatan Securities Exchange Commision (SEC) dan Departemen Kehakiman AS, meminta KPMG-SSH untuk menyuap pejabat kantor pajak Jakarta Selatan. Perintah itu dimaksudkan agar jumlah kewajiban pajak bagi PTEC dibuat seminim mungkin.

KPMG-SSH terbukti menyuap aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Untuk mengubur penyuapan itu, Harsono memerintahkan pegawainya agar mengeluarkan tagihan (invoice) atas nama KPMG. Tagihan tersebut didesain untuk menutupi pembayaran uang suap kepada petugas kantor pajak dan untuk fee atas imbal jasa KPMG-SSH bagi PTEC. Meskipun dibuat seolah – olah sebagai biaya atas jasa KPMG-SSH, tagihan fiktif itu sebenarnya mewakili dana suap senilai US$ 75 ribu yang akan diberikan pada pejabat kantor pajak. Sementara sisanya adalah biaya jasa KAP dan utang pajak yang sesungguhnya. Setelah menerima tagihan tersebut, PTEC membayar KPMG-SSH sebesar US$ 143 ribu dan kemudian memasukan transaksi ke dalam buku perusahaan sebagai pembayaran atas jasa profesional yang telah diberikan KPMG-SSH. Berkat aksi suap ini, kewajiban pajak PT Easman Christensen memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu.

Analisa Kasus

Sebagai seorang profesional yang memiliki kode etik, seharusnya seorang akuntan melandaskan setiap tindakannya berdasarkan prinsip – prinsip etika. Menurut pandangan kelompok kami, KPMG-SSH telah melanggar prinsip dasar etika profesi akuntan, yaitu integritas, objektivitas, kompetensi, sikap kecermatan dan kehati – hatian profesional dan perilaku profesional.

  1. Prinsip Integritas

Dalam kasus ini akuntan tidak tegas dan tidak jujur dalam menjalin hubungan profesionalnya dengan bersedia melakukan kecurangan yaitu melakukan penyuapan pajak untuk kepentingan kliennya.

  1. Prinsip Objektivitas

KPMG-SSH tidak melakukan pertimbangan objektif yang menyebabkan terjadinya benturan kepentingan dengan memihak kepada kepentingan klien agar mendapatkan keringanan pembayaran pajak dengan mengusulkan untuk menyuap aparat pajak di Indonesia.

  1. Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati – hatian profesional

Dalam kasus ini akuntan tidak menggunakan sikap kehati – hatian profesionalnya dengan tidak mempertimbangkan resiko yang akan terjadi berkaitan dengan kelangsungan jasa kantor akuntan publiknya yang menyebabkan keraguan pada masyarakat terhadap jasa profesional akuntannya.

  1. Prinsip Perilaku Profesional

KPMG-SSH telah melanggar prinsip perilaku profesional dengan melakukan pelanggaran hukum yang dapat mendiskreditkan profesi nya yaitu dengan menyarankan klien untuk melakukan penyuapan pajak dan merugikan negara.

KESIMPULAN

Etika dalam bidang akuntansi yaitu merupakan suatu prinsip – prinsip atau aturan perilaku di dalam bidang keprofesian tersebut yang bertujuan untuk mencapai nilai, norma dan moral yang terkandung di dalamnya. Sedangkan profesi dalam bidang akuntansi dapat diartikan sebagai pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Sebuah profesi akan dapat dipercaya dunia industri ketika  kesadaran diri kita yang kuat menjunjung tinggi nilai etika profesi kita di dunia industri maupun di sekitar kita. Jadi dapat di katakan  etika profesi yaitu batasan – batasan untuk mengatur atau membimbing prilaku kita sebagai manusia secara normatif.  Kita harus mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Etika profesi diperlukan dalam bidang akuntansi yaitu untuk perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat dan lingkungannya. Standar – standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari seorang tenaga ahli profesi. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa moral dan etika merupakan sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Pada etika, penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Berdasarkan fakta yang ada, dapat dilihat bahwa terjadi kemerosotan nilai etika dan moral, jika hal – hal seperti ini tidak diperbaiki, akan menyebabkan rusaknya generasi masyarakat di masa yang akan datang. Sehingga tidak mungkin zaman akan berganti lagi seperti zaman jahiliyah dahulu. Perubahan moral dan etika terjadi akibat menurunnya moral dan etika.

DAFTAR PUSTAKA

Diya. 2012. Akhlak Tasawuf : Aliran Etika Idealisme. UIN Sunan Ampel Surabaya. http://diyaasaviella.blogspot.co.id/2012/02/akhlak-tasawuf-aliran-etika-idealisme.html. Diakses Tanggal 12 Februari 2012.

Fitria, Annisa. 2014. Teori Utilitarianisme Dalam Bisnis. http://annisafitria26.blogspot.co.id/2014/12/teori-etika-utilitarianisme-dalam-bisnis.html. Diakses Tanggal 19 Desember 2014.

Hendri, Nedi dan Suyanto. 2014. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Etis Profesi Akuntansi Pendidik (Studi Empiris Pada Perguruan Tinggi Di Provinsi Lampung). Junnal Ekuisisi Universitas Muhammadiyah Metro. Vol. 10 (2) : 21-37.

Junaidy, Abdul Basith. 2014. Argumen Ultilitarianism Dalam Maslahah Menurut Muhammah Abu Zahrah. Phd thesis. Surabaya : UIN Sunan Ampel.

Putri, Ajeng Dini Harsoyo. 2014. Ethic : Naturalisme. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. http://ajeng-dini-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-104510-Umum-ETHIC:%20Naturalisme.html. Diakses Tanggal 4 Juni 2014.

Saleh, Nur Amin. 2013. Immanuel Kant Dan Pemikirannya. http://www.nuraminsaleh.com/2013/01/immanuel-kant-dan-pemikirannya.html. Diakses Tanggal 24 Januari 2013.

Shabrina, Qonita dan Ratna Ardiyanti. 2014. Teori Akuntansi – Hakikat dan Penggunaan Akuntansi.http://momochillow.blogspot.co.id/2014/09/bab-2-teori-akuntansi-hakikat-dan.html. Diakses Tanggal 6 September 2014.

Syam, Firdaus. 2010. Pemikiran Politik Barat :Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta : Bumi Aksara.

Wibawa, Rafi Andi. 2014. Naturalisme. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. http://rafi-andi-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-104862-Umum-Naturalisme.html. Diakses Tanggal 5 Juni 2014.

Yosephus, L. Sinour. 2010. Etika Bisnis : Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer, Cetakan Pertama. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Yulian, Dara. dkk. 2012. Hakikat dan Penggunaan Akuntansi. Makalah Teori Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial. Riau : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.

SEMIOTIKA LABA AKUNTANSI : STUDI KRITIKAL POSMODERNIS DERRIDEAN

BAB 1

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Akuntansi adalah bagian dari ilmu sosial. Penelitian akuntansi merupakan proses pencarian kebenaran atau pengetahuan yang diharapkan bermanfaat dalam pengembangan teori sosial dan menyelesaikan masalah realitas sosial yang berkaitan dengan isu akuntansi. Pada proses pencarian tersebut digunakan berbagai cara yang diyakini sebagai cara untuk memperoleh kebenaran yang ilmiah. Perbedaan proses pencarian bergantung pada cara pandang pencari (peneliti) dalam mengetahui realitas sosial. Cara pandang tersebut sering disebut dengan paradigma penelitian.

Menurut Kuhn (1962), paradigma adalah cara pandang untuk mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi melalui suatu model penelitian tertentu yang mana menghasilkan sebuah model untuk mengetahui sesuatu yang lebih spesifik. Sementara, Guba (1990) mendefinisikan paradigma sebagai sistem kepercayaan dasar peneliti. Paradigma penelitian menentukan jenis metodologi dan metode penelitian yang akan digunakan peneliti. Pemahaman yang baik terhadap paradigma akan membantu peneliti dalam memilih dan menentukan paradigma penelitian yang tepat untuk konteks realitas sosial yang ingin diteliti. Penggunaan paradigma yang tepat untuk suatu konteks realitas sosial akan menghasilkan kebenaran pengetahuan dan bukan kebohongan yang dilegitimasi.

Penelitian akuntansi sebagai bagian dari ilmu sosial terdiri dari beragam paradigma atau diistilahkan dengan multi paradigma. Lain halnya dengan penelitian ilmu alam yang cenderung bersifat matematis, penelitian akuntansi dapat dikaji dengan atau tanpa menggunakan alat matematika dan statistik. Maka dari itu, paradigma penelitian akuntansi secara umum dibedakan menjadi paradigma postivis yang relatif kuantitatif dan paradigma non-positivis yang cenderung kualitatif. Sementara itu, Burrell dan Morgan (1979) mengidentifikasi empat jenis paradigma pada penelitian ilmu sosial, termasuk  akuntansi, yaitu fungsionalis/positif, interpretif, humanis radikal dan strukturalis radikal. Sedangkan, Chua (1986) membedakan antara paradigma mainstream, interpretif dan kritis. Perkembangan pengetahuan berdampak pada perkembangan paradigma yang ada sehingga lahir paradigma alternatif yang mana bukan golongan paradigma positivisme maupun non-positivisme.

Pemahaman mengenai paradigma penelitian terkadang diabaikan oleh beberapa peneliti dalam menyusun sebuah penelitian, khususnya bagi mahasiswa yang menganggap penelitian yang dilakukannya sebagai ritual formalitas penyelesaian studi belaka. Selain itu, keyakinan terhadap keunggulan salah satu atau beberapa paradigma penelitian yang diperoleh selama pembelajaran juga membatasi mahasiswa untuk mengkaji dan memahami paradigma penelitian lainnya. Padahal pemahaman yang menyeluruh mengenai multi paradigma bukan untuk menemukan paradigma mana yang lebih unggul, melainkan pemahaman yang baik mengenai multi paradigma penelitan berguna bagi mahasiswa dalam mencapai tujuan dan maksud penelitiannya sehingga kebenaran pengetahuan yang ilmiah diperoleh. Oleh karena itu, makalah ini akan mengkaji penggunaan multi paradigma dalam penelitian akuntansi yang telah ada selama ini.

  • Rumusan Masalah

Paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti untuk melihat realita (world view), mempelajari fenomena penelitian, memilih metode penelitian dan menginterpretasikan temuan penelitian (Chariri, 2009). Penelitian akuntansi telah dikenal dengan multi paradigma. Paradigma yang biasanya digunakan pada penelitian akuntansi meliputi paradigma positivisme, interpretif, kritis, postmodern dan alternatif. Paradigma positivisme adalah salah satu paradigma yang umum digunakan pada penelitian akuntansi. Paradigma positivisme seringkali dikenal sebagai penelitian kuantitatif karena menggunakan alat matematika dan statistik dalam menjelaskan hubungan kausal antar variabel. Paradigma positivisme merupakan paradigma penelitian yang paling populer bagi sejumlah besar peneliti. Namun, hegemoni paradigma postivisme pada penelitian akuntansi telah memudar seiring dengan keberadaan beberapa paradigma lain yang dikelompokkan sebagai paradigma non-positivisme. Paradigma penelitian non-positivisme meliputi paradigma interpretif, kritis dan postmodern. Paradigma interpretif berfokus memahami sudut pandang berpikir objek yang diteliti dan menginterpretasikannya guna memperoleh pemahaman mendalam mengenai realitas sosial yang dipercaya dibentuk oleh objek tersebut. Sedangkan, paradigma kritis berfokus pada memperjuangkan ide peneliti untuk membawa perubahan pada realitas sosial yang ada di masyarakat. Sementara, paradigma postmodern hadir sebagai bentuk ketidakpuasan pada paradigma positivisme yang mana muncul pada zaman modernisme. Paradigma yang bukan golongan paradigma positivisme maupun non positivisme disebut sebagai paradigma alternatif, misalnya paradigma religius/syariah yang didasarkan atas nilai-nilai keagamaan.

Paradigma penelitian akuntansi yang berbeda berakibat pada munculnya pandangan yang berbeda pula mengenai realitas akuntansi. Sebagaimana tujuan penelitian, penggunaan paradigma yang beragam pada penelitian akuntansi bermanfaat dalam pengembangan konsep, teori dan praktik akuntansi. Maka dari itu, rumusan masalah makalah ini adalah:

  1. Bagaimana akuntansi berdasarkan paradigma positivisme?
  2. Bagaimana akuntansi berdasarkan paradigma interpretif?
  3. Bagaimana akuntansi berdasarkan paradigma kritis?
  4. Bagaimana akuntansi berdasarkan paradigma postmodern?
  5. Bagaimana paradigma alternatif dalam riset akuntansi?
  • Tujuan

Pembahasan mengenai multi paradigma para penelitian akuntansi bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai akuntansi berdasarkan paradigma positivisme, interpretif, kritis dan postmodern. Selain itu, makalah ini juga turut membahas pardigma alternatif dalam penelitian akuntansi. Pembahasan mengenai paradigma alternatif berkontribusi dalam memperbaharui pengetahuan dan pemahaman mengenai paradigma penelitian akuntansi. Pada akhirnya, pembahasan multi paradigma pada penelitian akuntansi diharapkan akan berguna bagi calon peneliti dalam menyusun kerangka model penelitian yang ilmiah dan terstruktur guna memperoleh kebenaran pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa.

BAB 2

PEMBAHASAN

  • Akuntansi Berdasarkan Paradigma Positivisme

Paradigma positivisme adalah paradigma penelitian yang berakar pada paham bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam. Penelitian dengan paradigma positivisme berusaha untuk mengungkap kebenaran dari realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan sesuai dengan kenyataannya. Pada paradigma positivisme, dunia sosial diasumsikan mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya (sebab-akibat). Selain itu, fakta sosial dipandang berasal dari luar kesadaran individu (Durkheim, 1895 dalam Diamastuti, 2012). Maka untuk mencapai kebenaran, peneliti positivisme harus menanyakan secara langsung kepada objek yang diteliti dan objek tersebut dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan.

Paradigma positivisme muncul pada abad ke 19 oleh August Comte dan dikembangkan oleh Emile Durkheim yang menjadi rujukan penganut posivis dalam bidang ilmu sosial (Diamastuti, 2012). Pada koridor ilmu akuntansi, paradigma positivisme disebut sebagai anonim dari paradigma normativisme. Sebagaimana diketahui pada awalnya, paradigma mayoritas penelitian akuntansi adalah paradigma normativisme. Paradigma normativisme telah melahirkan sejumlah teori pada bidang keilmuan akuntansi, misalnya teori akuntansi normatif. Namun, teori yang dihasilkan oleh paradigma normatif tidak berjalan sesuai dengan realitas yang dihadapi oleh dunia bisnis. Artinya, kebermanfaatan teori yang dihasilkan oleh paradigma normativisme menjadi berkurang. Akibat kegagalan paradigma normativisme tersebut, paradigma positivisme hadir untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya digunakan dalam praktik bisnis (Ghozali, 2004). Paradigma positivisme sering kali juga diistilahkan sebagai paradigma fungsionalis. Alasan lain pergeseran paradigma normativisme menjadi positivisme pada penelitian akuntansi adalah usaha untuk memperoleh pemahaman akuntansi secara empiris dan mendalam yang mana merupakan  permintaan dari komunitas peneliti akuntansi berbasis ekonomi dan perilaku.

Akuntansi adalah bagian dari ilmu sosial. Menurut Burrell dan Morgan (1979), ada empat dimensi ilmu sosial yaitu ontologi, epistemologi, aksiologi, dan sifat manusia (human nature). Pardigma positivisme pada aspek ontologi banyak dipengaruhi oleh physical realism yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang objektif, berdiri secara independen di luar “diri” manusia (Burrell dan Morgan, 1979; Chua, 1986). Berdasarkan sudut pandang ontologi yang berhubungan dengan sifat dari realitas sosial objek yang akan diteliti, paradigma positivisme beranggapan bahwa dunia sosial dan strukturnya dipandang memiliki keberadaan secara empiris dan konkret di luar peneliti serta terpisah dari individu yang ingin mempelajarinya. Sementara itu, berdasarkan aspek epistemologi yang mana berhubungan dengan sifat dari ilmu pengetahuan, paradigma positivisme pada penelitian akuntansi beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dianggap dapat diperoleh lewat observasi (induksi) dan disusun secara sepotong-sepotong. Sedangkan, berdasarkan sudut pandang human nature yang merujuk pada hubungan antar manusia dengan lingkungannya, paradigma positivisme pada penelitian akuntansi beranggapan bahwa perilaku manusia dan pengalaman-pengalamannya ditentukan dan dibatasi oleh lingkungannya.

Menurut paradigma positivisme, praktik akuntansi harus berjalan apa adanya. Sebagaimana pendapat Watts dan Zimmerman (1978), pendiri teori akuntansi positif, yang menyatakan tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan meramalkan (to predict) praktik akuntansi. Maka, tingkat kebermanfaatan akuntansi sebagai sebuah alat bantu organisasi dalam menyusun laporan keuangan dilihat dari kemampuan akuntansi dalam membuat penjelasan yang logis dan prediksi yang tepat untuk realitas yang akan datang kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap laporan tersebut. Hal ini menggambarkan adanya keterpisahan antara objek (ilmu akuntansi) yang berada di luar diri subjek (pengguna laporan akuntansi) yang membutuhkannya. Maka dari itu, penelitian akuntansi dengan paradigma positivisme selalu menekankan kepada objektivitas yang tinggi.

Paradigma positivisme yang memandang objek terpisah dari subjek berakibat pada adanya pembedaan antara observasi dan teori yang digunakan untuk menggambarkan realitas empiris. Keberadaan observasi terhadap dunia nyata yang terpisah dari teori berimplikasi pada penggunaan observasi tersebut untuk menguji validitas ilmiah dari teori. Objek yang diketahui (knowable) selalu terpisah dari subjek yang mengetahui (knower) mengakibatkan peneliti selalu melakukan pengukuran yang akurat dengan sebuah instrumen penelitian dan melakukan pengujian empiris. Menurut Chua (1986), model pengujian empiris yang digunakan pada penelitian akuntansi umumnya memilih apakah teori terverifikasi daripada apakah teori ditolak. Penelitian dengan paradigma positivisme percaya bahwa ada teori dan seperangkat pernyataan hasil observasi independen yang dapat digunakan untuk membenarkan atau memverifikasi kebenaran teori.

Teori dalam paradigma positivisme dipandang sebagai dogma atau doktrin karena itu dalam mengembangkan penelitian selalu didasarkan pada logika deduktif, aksioma, standar dan hukum. Upaya verifikasi teori oleh peneliti akuntansi umumnya juga menggunakan metode hypothetico-deductive yang juga bertugas menjelaskan ilmiah tidaknya suatu penelitian. Maka, suatu penjelasan dikatakan ilmiah apabila memenuhi tiga komponen, yaitu harus memasukkan satu atau lebih prinsip-prinsip umum atau hukum, harus ada prakondisi yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pernyataan hasil observasi dan harus ada satu pernyataan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dijelaskan.

Penggunaan paradigma positivisme dalam penelitian akuntansi selalu juga dicirikan dengan penggunaan model matematis dan pengujian hipotesis secara statistik pada pengujian empirisnya. Bagi positivis, kebenaran yang mutlak harus diuji dulu berdasarkan beberapa faktor empiris untuk menjustifikasi kebenaran realitas yang ada pada saat itu. Pada paradigma positivisme, objek yang diteliti harus dapat diamati, diulang, diukur, diuji dan diramalkan (Kerlinger, 1973 dalam Diamastuti, 2012).

Paradigma positivisme selalu menekankan pada generalisasi untuk memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena sebab akibat. Penjelasan keilmuan paradigma positivisme juga selalu berdasar pada angka yang mengandung kepastian sehingga tidak bisa ditolak. Penjelasan dan deskripsi adalah hubungan antara logika, data dan hukum atau mungkin standar yang diperoleh. Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang didasarkan pada pengamatan yang tepat dan dapat diulang kembali atau mungkin digeneralisasi. Sementara itu, nilai yang ada dalam paradigma positivisme selalu bersifat konvensional, keras, menekan dan memaksa (reduksionis) karena kebenaran adalah segala sesuatu yang berada di dalam maupun di luar yang harus bersifat objektif dan bebas dari nilai. Kedudukan peneliti positivis cenderung bebas dari kepentingan.

Kekuatan lain dari paradigma positivisme adalah pada sifatnya yang formal dan struktural (Triyuwono, 2006 dalam Hartono, 2012). Secara teoritis, peneliti akuntansi harus konsekuen menggunakan metode ilmiah yang sudah baku. Apabila terdapat penyimpangan dalam penggunaan metode ilmiah tersebut, maka akan mengakibatkan keilmiahan hasil penelitian diragukan. Sedangkan pada tingkat praktik, akuntansi dapat terlihat pada konsistensi laporan keuangan terhadap standar pelaporan yang sudah baku (Hartono, 2012). Formalitas dan strukturalitas menyebab akuntansi dapat berkembang pesat karena mengandung universalitas. Namun, formalitas dan strukturalitas yang terlalu tinggi justru akan mengakibatkan kekakuan dalam praktik dan perumusan teori akuntansi. Akibatnya, akuntansi justru menjadi sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Universalitas juga menyebabkan akuntansi mereduksi sifat-sifat lokal yang dianggap tidak universal. Padahal sifat lokal merupakan karakter asli berdasarkan lingkungan di mana akuntansi tersebut beroperasi. Pemisahan objek dari subjek pada paradigma positivisme juga berdampak pada menguatnya pandangan bahwa akuntansi itu bebas dari nilai (value free). Kekakuan pada paradigma positivisme dalam akuntansi pada akhirnya bisa memicu perilaku disfungsional dari para pengguna akuntansi sebab akuntansi tersebut telah menghilangkan budaya-budaya serta nilai-nilai kemasyarakatan.

  • Akuntansi Berdasarkan Paradigma Interpretif

Paradigma interpretif hadir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap paradigma positivisme, khususnya terkait realitas. Paradigma interpretif memandang bahwa realitas adalah sesuatu yang dapat dikonstruksi oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian. Lain halnya dengan paradigma positivisme yang menyatakan bahwa fenomena yang akan diteliti harus dapat diobservasi, diukur dan dijelaskan melalui karakter yang ada dalam penelitian. Paradigma interpretif yang berasal dari filsafat Jerman menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman akan makna dari realitas (Chua, 1986). Paradigma interpretif berfokus pada sifat subjektif dari dunia sosial dan berupaya untuk memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang diteliti. Fokus paradigma interpretif adalah arti individu dan persepsi manusia terhadap realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali, 2004). Tujuan paradigma interpretif adalah untuk menganalisis realitas sosial semacam itu dan bagaimana realitas sosial tersebut terbentuk.

Setiawan (2011) menyatakan bahwa paradigma interpretif menganut sosiologi keteraturan tetapi menggunakan pendekatan subjektivisme dalam analisis sosialnya. Paradigma interpretif memandang ilmu sosial cenderung menjadi nominalis, anti-positivisme dan ideografis (Burrel dan Morgan 1979). Realitas sosial dengan sendirinya merupakan hasil dari pemaknaan dan pemahaman individu serta bagaimana ia membentuk pemaknaan tersebut. Realitas sosial hanya suatu jaringan asumsi (persepsi) yang telah diterima bersama oleh para pelaku secara intersubjektif sehingga memberi suatu makna yang disepakati. Pada paradigma interpretif, objektivitas adalah suatu kemustahilan. Objektivitas dipandang sebagai intersubjektif di mana suatu makna kesepakatan yang berasal dari interaksi antar subjek yang subjektif. Dengan demikian, realitas sosial itu pasti bermakna majemuk, bisa berubah atau bertahan tergantung pemaknaan individu-individu yang terlibat.

Pada paradigma interpretif, secara ontologi melihat realitas bersifat sosial, karena itu selalu menghasilkan realitas majemuk di dalam masyarakat. Sementara, berdasarkan sisi epistemologi paradigma interpretif, hubungan peneliti dengan objek bersifat interaktif melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting alamiah agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial tersebut menciptakan dunia sosialnya dan memeliharanya. Peneliti bebas melakukan segala tindakan tanpa harus takut pada hukum, standar dan norma yang ada asalkan apa yang dimaknai sesuai dengan realitas yang ada pada saat itu. Fenomena yang ada dirumuskan dalam ilmu pengetahuan dengan memperhatikan gejala atau hubungan di antara keduanya yang hasilnya akan subjektif dan tidak bebas dari nilai. Berdasarkan sisi metodologi, penelitian dengan paradigma interpretif harus dilakukan di lapangan atau alam bebas dan dapat secara wajar mengungkap fenomena yang ada secara keseluruhan tanpa adanya campur tangan dari peneliti sehingga bersifat alamiah. Teori tumbuh karena adanya fakta di lapangan yang sudah diamati dengan melihat interaksi tersebut, sehingga teori atau hipotesis tidak perlu dibuat sebelumnya sebagaimana paradigma positivisme. Pengumpulan data dilakukan melalui dialog dengan aktor sosial untuk memaknai realitas sosial yang ada dan lebih fokus pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi dalam suatu proses sosial.

Paradigma interpretif menekankan pada upaya mengkonstruksi dan menafsirkan tindakan masyarakat, baik melalui pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya maupun sebagaimana yang direfleksikan melalui pengalaman mereka (aktor) yang terlibat dalam tindakan sosial. Tujuan sosiologi interpretif adalah menemukan makna tersembunyi yang ada di balik tindakan-tindakan sosial sebagaimana dipahami oleh para aktor yang diteliti melalui suatu upaya pemahaman yang baik. Makna terbentuk melalui interaksi sosial memberi ruang bagi peneliti untuk berlakunya subjektivis dialogis antara peneliti dengan pihak yang diteliti. Setelah menemukan makna tindakan sosial tersebut, peneliti interpretif berusaha untuk menghadirkan kembali (merekonstruksi) bangun struktur sosial dalam mana interaksi sosial berlangsung dengan seluruh makna yang dipahami oleh semua aktor yang melakukannya.

Berdasarkan paradigma interpretif, akuntansi adalah sesuatu yang bersifat subjektif, ada dalam pikiran manusia dan diciptakan dari hasil pemikiran manusia. Akuntansi tidak bebas nilai dan selalu ada nilai (kepentingan) sesuai dengan konteks sosial. Berdasarkan sisi hakikat dan sifat manusia, manusia (akuntan dan non akuntan) adalah makhluk yang aktif, menciptakan akuntansi dan realitas melalui pemberian makna-makna terhadap segala sesuatu. Sementara tujuan penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif adalah dapat menginterpretasikan dan memahami fenomena akuntansi serta proses terjadinya dalam setting alamiah, serta menjelaskan proses terjadinya fenomena akuntansi berdasarkan konteks sosial. Kesadaran kontekstual mencerminkan pemahaman bahwa pada dasarnya akuntansi beroperasi tidak dalam kondisi yang vacuum dari kondisi lingkungan di mana akuntansi tersebut beroperasi. Akuntansi terbentuk dan dipraktikkan melalui proses konstruksi sosial. Dengan berpijak pada nilai lokal dan subjektivitas, akuntansi dapat menyatu antara praktisi dengan masyarakat bisnis. Akuntansi menjadi tidak asing lagi bagi masyarakat di mana akuntansi tersebut dipraktikkan.

Metode penelitian dengan paradigma interpretif pada umumnya menggunakan pendekatan induktif dan melakukan studi kasus dengan alat-alat kualitatif (wawancara, observasi, analisis dokumen, dan sebagainya) serta tidak terikat pada aturan, prosedur dan metode yang baku. Pada penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif, peneliti mempunyai keleluasaan dalam mengupas akuntansi melalui beberapa cara desain penelitian yang mungkin dapat dipilih, yaitu fenomenologi, etnografi, etnometodologi dan grounded theory (Nurhayati, 2015). Penelitian fenomenologi di bidang akuntansi dapat merefleksikan pengalaman peneliti dalam melihat realitas sosial akuntansi, sejauh pengalaman tersebut secara intensif masih berhubungan dengan suatu objek yang diteliti. Fenemenologi adalah upaya untuk melihat struktur yang implisit menjadi eksplisit dan memaknai pengalaman seseorang (Nurhayati, 2015). Etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa, yang ditulis oleh seorang peneliti atas hasil penelitian lapangan selama sekian bulan atau sekian tahun. Penekanan pada etnografi adalah pada studi keseluruhan budaya dan bisnis atau kelompok tertentu (Moleong, 2012). Sementara, etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupannya sehari-hari serta metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang melihat, menerangkan dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka (Moleong, 2012). Sedangkan, grounded theory adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis yang diarahkan untuk mengembangkan teori berorientasi tindakan, interaksi atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh selama penelitian. Teori perlu digali atau berasal dari bawah dalam sesuatu pengamatan sampai menjadi istilah atau sering kali diistilahkan sebagai upaya menemukan teori berdasar data empiris (Sukoharsono, 2006)

Penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif dimaksudkan untuk menafsirkan dan memahami teori dan praktik akuntansi. Penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif juga ditujukan untuk memahami bagaimana para peneliti akuntansi membangun sendiri teori keilmuan akuntansi berdasarkan aspek filosfis dan ontologisnya serta berupaya untuk memamahi konteks sosial dari tindakan nyata dalam praktik akuntansi. Beberapa studi fenomenal yang telah dilakukan di bidang akuntansi menunjukkan bahwa dengan kedalaman melihat lebih jauh melalui paradigma interpretif membawa akuntansi menjadi lebih “manusiawi” dapat mengungkapkan apa yang terdapat dibalik angka-angka akuntansi yang selama ini dipahami paradigma positivisme. Namun, kelemahan utama penelitian dengan paradigma interpretif adalah hanya terbatas pada menafsirkan.

  • Akuntansi Berdasarkan Paradigma Kritis

Paradigma kritis diawali dengan bukti bahwa ketidakadilan telah terjadi, dilanjutkan dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan lagi dengan membangun konstruksi baru yang menampilkan sistem yang lebih adil (Diamastuti, 2012). Paradigma kritis memiliki komitmen tinggi terhadap tatanan sosial yang lebih adil. Asumsi dasar yang melandasi paradigma kritis adalah ilmu sosial bukan sekadar memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya, melainkan berupaya membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan (Muhadjir, 2000 dalam Paranoan, 2015). Paradigma kritis memiliki ketertarikan moral untuk mengkritik status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil. Jika paradigma positivisme memandang realitas dengan cara objektif dan paradigma interpretif memandang realitas dengan cara subjektif, maka paradigma kritis selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan dengan memakai pendekatan objektif dan subjektif dalam memandang perubahan sosial (Chua, 1986). Paradigma kritis memandang realitas sosial berada diantara objektivisme dan subjektivisme, kompleks dan diciptakan oleh manusia dalam ketegangan dan kontradiksi, tekanan dan eksploitasi.

Paradigma kritis memandang realitas dibangun atas dasar ilmiah tetapi diciptakan oleh manusia. Realitas bukan dibuat-buat tetapi karena ada konflik, tujuan dan kontradiksi dengan hasil yang ingin merubah dunia (Sarantakos, 1993 dalam Randa, 2008). Paradigma kritis memahami hakikat manusia sebagai sesuatu yang dinamis dan mandiri karena adanya unsur eksploitasi dan tekanan dari pihak lain. Tujuan dari penelitian dengan paradigma kritis adalah mengungkap hubungan nyata yang ada di bawah “permukaan”, mengungkap mitos dan ilusi, menghilangkan kepercayaan/ide yang salah, membebaskan dan memberdayakan. Paradigma kritis hadir untuk memperbaiki kelemahan paradigma positivisme dan interpretif yaitu dengan cara melakukan pembebasan dan perubahan. Tujuan sebuah teori kritis adalah membebaskan (to emancipate) dan melakukan perubahan (to transform). Metode penelitian paradigma kritis adalah penelitian kualitatif dengan pilihan desain penelitian kritis, ekonomi politik di akuntansi, studi kasus dan riset aksi.

Burrell dan Morgan (1979) membagi paradigma kritis menjadi paradigma radikal strukturalis dan radikal humanis. Paradigma radikal humanis bertujuan untuk membebaskan individu dari berbagai sumber eksploitasi, dominasi dan tekanan yang muncul dari tatanan sosial yang ada dengan tujuan untuk mengubah tatanan tersebut tidak sekedar memahami dan menjelaskannya. Paradigma radikal humanis berusaha mengkritisi dan menjelaskan mengapa realitas sosial dibentuk dan menyatakan alasan atau kepentingan apa yang melatarbelakangi pembentukan realitas sosial tersebut. Sedangkan, paradigma radikal strukturalis merupakan paradigma yang didasarkan pada ideologi yang berusaha melakukan perubahan secara radikal terhadap realita yang terstruktur. Paradigma radikal strukturalis lebih bersifat makro pada kelas-kelas (kelompok) yang ada dalam masyarakat atau struktur industri. Kelas-kelas tersebut menimbulkan dominasi satu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya.

Chua (1986) melihat paradigma kritis dalam penelitian akuntansi sebagai kritik sosial dan memiliki beberapa karakteristik penting. Pertama adalah akuntansi tidak lebih jauh dipandang sebagai teknik rasional dan aktivitas jasa yang dipisahkan dari hubungan secara sosial yang lebih luas. Akuntansi sebagai wacana dengan gaya rasionalitas kalkulatif tertentu, diargumentasikan untuk terselenggara dan diselenggarakan oleh konflik makro di antara kelas-kelas yang berbeda. Kedua adalah kritik yang menekankan pada totalitas hubungan (sosial, ekonomi, politik, ideologi). Dampaknya adalah perspektif yang menimbulkan sebuah kepentingan baru di dalam fenomena makro-struktural tertentu yang diabaikan dalam penelitian akuntansi positivis.

Pada paradigma kritis, jika dipandang dari asumsi ontologi akuntansi, maka akuntansi dan realitas diciptakan oleh pihak yang berkuasa (akuntan), akuntan juga memanipulasi dan mengkondisikan agar orang lain memahami/menginterpretasikan seperti yang diinginkan. Berdasarkan sifat akuntansi, akuntansi berada di antara sifat subjektif dan objektif atau berada antara determinsime dan humanisme. Akuntansi juga sarat nilai dan kepentingan. Konstruksi akuntansi selalu diawali dengan evaluasi tentang posisi sesuatu yang benar atau salah. Berdasarkan sifat manusia, manusia (akuntan dan non akuntan) adalah makhluk kreatif tetapi mereka ditekan oleh kondisi dan faktor sosial serta dieksploitasi pihak lain yang berusaha meyakinkan apa yang dilakukan sudah benar. Tujuan penelitian akuntansi dengan paradigma kritis adalah menjelaskan dan mengkritik praktik akuntansi dan realitas yang terkait berdasarkan fakta dan konteks. Penelitian akuntansi dengan paradigma kritis juga memberdayakan manusia (akuntan dan non akuntan) untuk mengubah realitas atau kondisi akuntansi yang dianggap menindasnya.

Menurut Atmadja (2013), akuntansi berdasarkan paradigma kritis dipandang bukan sebagai sistem yang bersifat netral namun telah dianggap sebagai alat yang mampu mengantarkan pemiliknya untuk berkuasa. Penelitian akuntansi dengan paradigma kritis berangkat dari keinginan untuk melakukan emansipasi atau peningkatan derajat mereka yang tertindas dan dirugikan oleh proses sosial yang menghasilkan atau melibatkan penggunaan informasi akuntansi. Praktik akuntansi modern selalu digoyang kemampanannya agar selalu terjadi perubahan. Paradigma kritis mempunyai anggapan bahwa masyarakat yang “normal” adalah masyarakat yang selalu berubah (Paranoan, 2015).

Penelitian akuntansi dengan paradigma kritis oleh Lehman (2015) dalam memaparkan betapa kantor-kantor akuntan besar dunia telah menggunakan audit sebagai alat pengendalian dan melalui agenda harmonisasi standar akuntansi dan audit yang dijalankan kelompok internasional memaksakan kepentingannya untuk memuluskan jalan bagi perluasan dan intensitas kekuasaan mereka. Lehman (2015) merumuskan solusi alternatif yang dianggap lebih memerhatikan aspek yang dilupakan oleh proses harmonisasi standar akuntansi yakni harmonisasi yang tetap memperhatikan pentingnya komitmen terhadap nilai “kebaikan bersama”, citizenship dan juga demokrasi sehingga masyarakat internasional tidak terkungkung oleh kepentingan perusahaan multinasional yang semakin menggurita dan menguasai hajat hidup orang banyak (Djamhuri, 2011).

Ontologi paradigma kritis adalah memandang realitas dalam realism historis yang teramati adalah semu terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya dan ekonomi publik. Realitas tidak berada dalam harmoni tetapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial. Epistimologi paradigma kritis terkait hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti dijembatani nilai tertentu. Ada hubungan erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Sehingga peneliti ditempatkan sebagai aktor intelektual dalam proses transformasi sosial. Kelemahan mendasar paradigma kritis adalah adanya anggapan bahwa pembebasan dan perubahan sebatas tingkat fisik dalam realitas sosial (Triyuwono, 2006 dalam Hartono, 2012). Aspek yang dipahami untuk dibebaskan dan diubah hanya sebatas fisik dan materi. Menurut Hartono (2012), paradigma kritis belum mampu menyentuh aspek jiwa atau spirit atau akuntabilitas apabila berada pada keilmuan akuntansi.

  • Akuntansi Berdasarkan Paradigma Postmodern

Paradigma postmodern adalah paradigma dengan karakteristik yang menekankan kepada anti keteraturan atas hal-hal yang sudah dianggap mapan (normal dan lumrah terjadi) yang dihasilkan oleh modernisme. Postmodernisme secara esensial memiliki visi ingin membebaskan masyarakat atau manusia dari belenggu hal-hal yang teratur (terstandar, temasuk norma, teori, agama dan sebagainya). Paradigma postmodern bertujuan melakukan dekonstruksi yaitu memasukkan pemikiran/ide/konsep yang biasanya terpinggirkan ke dalam diskursus utama (logosentris) untuk menafikkan kebenaran tunggal. Oleh karena itu, paradigma postmodern dikenal sebagai paradigma yang mengusung gagasan anti establishment dan deconstructivism.

Paradigma postmodern berusaha untuk menggantikan uniformalitas universalitas dengan pluralitas yang bersifat lokal dengan mengikutsertakan modernisme tetapi tanpa keistimewaan yang spesifik (Diamastuti, 2012). Apa saja yang dulu ditolak oleh modernitas karena tidak terjelaskan oleh akal seperti emosi, intuisi dan imajinasi berusaha dirangkul kembali oleh paradigma postmodern dan diberi tempat yang layak di kehidupan manusia. Postmodernisme memunculkan suatu kritik terhadap modernitas yang cenderung bersifat reduksionisme sehingga membuka peluang untuk menunjukkan realitas, baik yang inferior maupun yang superior. Pada modernitas, realitas cenderung direduksi supaya bisa dikuasai. Sedangkan, pusat perhatian postmodernisme adalah proses yang artinya bahwa ada yang sedang terjadi dan perlu diinvestigasi dengan cara yang relevan.

Menurut Rosenau (1992) dalam Mulawarman (2014), terdapat dua aliran postmodernisme yaitu aliran skeptis dan afirmatif. Aliran skeptis biasanya menolak semua kebenaran karena kebenaran “dibentuk” dan secara mudah dapat digagalkan keabsahannya. Postmodernisme skeptis melihat realitas dalam konteks pesimistik, negatif, gloomy assessment, melihat abad postmodern telah terfragmentasi, terjadi disintegrasi, malaise, tak memiliki makna, hilangnya parameter moral dan masyarakat chaos serta tidak ada kebenaran. Postmodernisme skeptis bahkan memandang sudah tidak ada lagi realitas absolut, hilangnya Tuhan. Tuhan hanya ada pada dan telah masuk dalam akal rasional, Tuhan yang empiris (Griffin, 2005 dalam Mulawarman, 2014). Sementara, postmodernisme aliran afirmatif masih memiliki pandangan yang lebih konstruktif. Postmodernisme afirmatif juga melakukan kritik terhadap modernitas, tetapi masih mementingkan harapan, optimisme, terbuka pada aksi politik atau konten dengan rekognisi visioner. Kajian keilmuan pada umumnya menggunakan paradigma postmodern aliran afirmatif.

Secara umum, para kaum postmodern (postmodernis) mempertanyakan objektivitas ilmu pengetahuan yang mengarah ke berbagai macam kritik terhadap pengetahuan dan metode ilmiah pada sejumlah disiplin ilmu khususnya pada penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika kehadiran postmodern dapat dipandang sebagai suatu hal yang memberi ruang lebih luas dalam pengembangan keilmuan, termasuk akuntansi, maka tidak ada alasan ketakutan terhadap penerapannya. Postmodernisme memberikan peluang kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lintas disiplin ilmu sehingga bisa dihasilkan ilmu pengetahuan tipe baru (new genre) yang mana hal tersebut tidak mungkin dihasilkan oleh modernisme. Hibridisasi keilmuan terasa semakin penting saat fenomena sosial semakin kompleks dan tidak dapat diselesaikan dengan kecenderungan pada murni satu ilmu saja.

Sesungguhnya, paradigma postmodern hadir untuk mengatasi kelemahan paradigma positivisme dengan mencoba memahami realitas secara lebih utuh dan lengkap. Dalam rangka memahami realitas yang kompleks, paradigma postmodern tidak memiliki bentuk pendekatan keilmuan yang baku. Pendekatan paradigma postmodern adalah selalu tidak terstruktur, tidak berbentuk, tidak formal dan tidak mutlak serta relatif (Paranoan, 2015). Metodologi yang digunakan untuk konstruksi ilmu pengetahuan dapat didesain secara bebas (Hartono, 2012). Penekanan utama metode postmodernisme adalah anything goes (Rosenau, 1992 dalam Hartono, 2012). Jika paradigma kritis biasanya melakukan perubahan lewat struktur atau penyadaran, maka paradigma postmodern bukan melakukan pergeseran semacam itu. Paradigma postmodern membuat sesuatu yang baru, dekonstruksi atau melakukan koreksi total atas paradigma lain. Jika modernisme mengatakan bahwa manusia dapat mengkonstruk ilmu pengetahuan dengan unsur akal, maka postmodernisme memberikan tambahan pada unsur mental dan spiritual. Metode yang digunakan pada paradigma postmodern bervariasi yang mana hal ini sebetulnya tidak sepenuhnya membenarkan anything goes. Penggunaan teori dari Derrida, Foucault, Lyotard dan Bourdieu merupakan contoh teori yang biasanya digunakan dalam penelitian akuntansi untuk diturunkan menjadi metode penelitian paradigma postmodern. Metode penelitian paradigma postmodern adalah penelitian kualitatif dengan desain penelitian kombinasi antara etnografi kritis dengan agama, etnografi dengan hipnosis, maraxisme dengan Islam dan marixsme dengan budaya lokal.

Pada awalnya, postmodernisme merupakan kritik budaya yang berkembang dalam lingkup ilmu linguistik (yang berkenaan dengan ilmu bahasa) dan akhirnya berkembang juga dalam lingkup kajian filsafat. Salah satu teori yang sering digunakan pada penelitian akuntansi dengan paradigma postmodern adalah dekonstruksi oleh Derrida. Jacques Derrida adalah guru besar bidang filsafat di sebuah universitas di Perancis. Derrida merupakan seorang filsuf kritis-postmodern yang memusatkan pemikirannya pada penelitian-penelitian bahasa.

Derrida juga dikenal sebagai tokoh antitesis dari strukturalisme yang mana disebut dengan poststrukturalisme. Derrida memandang poststrukturalisme lebih fokus terhadap tulisan yang kemudian tercipta dalam bentuk gramatologi. Derrida menyatakan bahwa selalu ada suatu realitas yang bersembunyi di balik tanda (simbol) dan selalu ada sesuatu yang tersembunyi di balik apa yang hadir. Hal tersebut adalah realitas dan hubungan dalam realitas. Ketika realitas dan hubungan dalam realitas itu muncul dalam penerapannya, yaitu dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkannya pada hal yang kecil. Maka dari itu, filsafat kritis Derrida disebut sebagai filsafat dekonstruksi yang mana dikenal sebagai tujuan utama paradigma postmodern.

Derrida menginginkan kebenaran itu tidak harus dibatasi dalam kebenaran tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat plural, partikular dan relatif. Dalam rangka merealisakan gagasannya sekaligus kritiknya atas modernitas, Derrida mengungkapkannya dalam metode dekonstruksi. Menurut Triyuwono (2012), dekonstruksi adalah upaya menghadirkan aspek-aspek lain yang berada di luar narasi besar (logosentrisme dalam hal ini pemikiran sistem ekonomi dan akuntansi modern). Dekonstruksi adalah strategi baru untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang terbentuk dan senantiasa dimapankan batas-batasnya serta ditunggalkan pengertiannya. Hal-hal terkait batas-batas penunggalan tersebut yang hendak disubversi Derrida dengan strategi dekonstruksi.

Bahasa yang secara tradisional dipandang sebagai sebagai cermin untuk memandang dunia atau realitas ingin dilampaui oleh Derrida. Salah satu cara untuk melampauinya adalah dengan mendekonstruksi pandangan dunia. Derrida merelatifkan dan juga menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan dunia. Namun, relativisasi dan nihilisasi semacam itu tidak selamanya berarti menafikkan unsur-unsur tersebut, melainkan lebih berarti mencari sudut pandang alternatif yang cenderung disingkirkan oleh pandangan yang dominan.

Pada beberapa penelitian akuntansi, filsafat dekonstruksi Derrida digunakan sebagai sebuah strategi pembacaan semiotika atas simbol-simbol dan fenomena yang ditemukan dalam penelitian akuntansi serta strategi untuk melahirkan pemikiran-pemikiran dekonstruktif. Menurut Harahap (2011), akuntansi adalah bahasa perusahaan yang dapat berbicara sendiri tentang suatu perusahaan /organisasi yang dilaporkannya. Akuntansi sebagai bahasa memiliki ciri-ciri yang sama dengan bahasa pada umumnya, yaitu memiliki simbol (sifat lexical) dan tata aturan (grammatical rules). Dengan karakteristik bahasa tersebut, akuntansi dapat diartikan sebagai seperangkat simbol bahasa atau representasi simbolik yang menunjuk pada suatu makna atau realitas tertentu. Sementara itu, akuntansi sebagai bahasa yang memilik efek komunikatif atau sarana penyampaian informasi dari penyedia informasi kepada pengguna informasi, maka ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya dapat diinterpretasikan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, teori akuntansi perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek sintatik (pengukuran), pragmatik (kebermanfaatan) dan juga aspek semantik (realitas yang direpresentasikan).

Penelitian Riduwan et al. (2010) yang menggunakan strategi pembacaan (filsafat dekonstruksi) Derrida dilakukan untuk memahami penafsiran laba akuntansi oleh akuntan dan non akuntan serta melakukan pencarian makna (semiotika) secara dekonstruktif atas teks yang berkaitan dengan penafsiran laba akuntansi oleh para informan peneliti. Kajian semiotika dekonstruktif Riduwan et al. (2010) mengungkap realitas bahwa: (1) laba akuntansi adalah jejak, baik jejak sebagai sejarah teks maupun jejak sebagai pengalaman dan kepentingan penafsir; (2) tidak ada realitas di luar teks laba akuntansi karena makna laba akuntansi tidak melampaui kepentingan dan pengalaman penafsir; (3) laba akuntansi adalah metafisika kehadiran, dalam arti ada dan hadir melalui proses mengada, representasi dari realitas yang ada dari ada-adaan, sehingga laba akuntansi adalah ilusi yang bermuara pada reifikasi; dan (4) laba akuntansi adalah produk logosentrisme, yaitu logika dan rasio sebagai pusat kebenaran, sehingga idealisme akuntansi dalam penetapan laba lebih mengemuka daripada pragmatisme.

Salah satu contoh penelitian lain yang menggunakan paradigma postmodern dengan pendekatan dekonstruksi Derrida adalah Sitorus (2015). Sebagaimana tujuan dekonstruksi yaitu mencari pandangan alternatif yang selama ini disingkirkan, Sitorus (2015) berupaya membuat definisi akuntansi baru berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sitorus (2015) berpendapat bahwa pendekatan dekonstruksi Derrida memungkinkan peneliti tidak menghilangkan makna bangunan lama yang sudah ada, namun menyeimbangkan dengan nilai-nilai baru. Sebab Derrida memandang bahwa ada begitu banyak kebenaran dalam suatu teks serta menolak untuk membuat suatu kebenaran tunggal. Dengan melakukan dekonstruksi yang berpatokan kepada nilai-nilai Pancasila, Sitorus (2015) menghasilkan konsep definisi akuntansi berdasarkan masing-masing sila Pancasila dan diformulasikan menjadi satu definisi baru. Adapun definisi akuntansi berdasarkan perspektif Pancasila adalah pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan melalui pemanusiaan manusia, semangat persaudaraan, pengangkatan derajat rakyat, serta penyeimbangan kebutuhan jasmani dan rohani manusia dalam hal aktivitas keuangan.

Konsep dekonstruksi Derrida memiliki sejumlah kelemahan terkait dengan arah pengembangan penelitiannya. Mulawarman (2014) menyebutkan bahwa dekonstruksi yang dilakukan Derrida tidak pernah mengarahkan kepada kepastian kebenaran dan hanya memberikan jalan bagi dekonstruksi selanjutnya. Dekonstruksi yang dilakukan oleh Derrida selalu menghadirkan makna yang begitu banyak sehingga akan terdapat berbagai kemungkinan yang ditimbulkan dalam penafsiran suatu teks. Hal ini tentunya akan membuat suatu kerancuan dalam melakukan penafsiran data.

Beberapa orang percaya bahwa istilah dekonstruksi pada postmodernisme adalah produk pengaruh filsafat bahasa de Saussure yang mana merupakan seorang profesor linguistik dari Swiss yang membawa revolusi dalam studi bahasa. Menurut Kuntowijoyo (2000) dalam Mulawarman (2014), asal usul strukturalisme dapat ditemukan dalam metode linguistik de Saussure. Menurut de Saussure, bahasa pada dasarnya merupakan suatu sistem tanda yakni tanda hasil suatu proses konstruksi sosial. Bahasa bukan merupakan ide lepas tanpa batas waktu yang abstrak. Jika dibandingkan dengan kata, bahasa merepresentasikan seluruh sistem dengan struktur dan peraturan yang menjadi landasannya sedangkan kata hanyalah tanda di mana setiap tanda selalu terbentuk dari kombinasi antara objek dan nama. De Saussure berpendapat bahwa representasi objek oleh nama (atau bunyi) berlangsung secara sewenang-wenang artinya setiap penanda bisa dipakai secara berbeda di setiap kebudayaan secara sosial meskipun peraturan yang melandasinya sama. Karena kata adalah konstruksi sosial, maka kata memiliki makna sosialnya yang sesuai dengan konteks dimana kata tersebut diproduksi. Dengan demikian, dekonstruksi bukan suatu metode tertentu atau suatu program yang sistematis melainkan merupakan lebih sebagai cara membaca teks yang mampu menemukan kembali detail-detail kecil yang terlampaui atau hilang (sebagai akibat konstruksi sosial tertentu saat kata atau tanda tersebut terbentuk) sehingga bisa memberi ruang bagi berlakunya pandangan/tafsiran lain.

Menurut Djamhuri (2011), akuntansi yang merepresentasikan suatu bahasa bisnis juga penuh dengan tanda dan aturan yang sangat mungkin menjadi objek dekonstruksi. Pertama, sebagai bahasa yang penuh tanda (symbol), konsep-konsep akuntansi tentu telah mengalami proses dan merupakan hasil suatu proses konstruksi sosial. Akuntansi tidak ada begitu saja. Kedua, sangat mungkin bahwa proses sosial yang berlangsung pada konsep atau standar akuntansi yang mengalami proses pembentukannya telah menghilangkan atau menutupi detail-detail kecil tertentu yang sesungguhnya penting. Akibatnya apa yang terbentuk tidak lagi suatu konsep yang utuh. Pada ilmu sosial, hilangnya suatu detail atau aspek tertentu dalam pembentukan kata atau tanda tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Sebab proses sosial lazimnya memang berlangsung sebagai suatu arena negosiasi yang melibatkan kekuatan.

Ide-ide linguistika de Saussure juga mempengaruhi salah satu tokoh sentral dalam gerakan postmodern yaitu Michael Foucault (Afandi, 2015). Foucault adalah seorang filosof kelahiran Perancis dengan latar belakang kehidupan yang menarik. Ayah Foucault adalah seorang dokter ahli bedah dan Foucault diharapkan mengikuti jejak ayahnya. Akan tetapi, Foucault lebih tertarik pada ilmu sejarah, filsafat dan psikologi daripada kedokteran. Namun, arus pemikiran Foucault tidak jauh dari dunia medis, terutama psikopatologi (cabang dari ilmu jiwa). Foucault sekilas tampak berbeda dan unik ketika secara insentif membahas mengenai kegilaan, struktur episteme klasik, rumah sakit jiwa, penjara, keburukan atau seksualitas.

Pada tahun 1969, Foucault menerbitkan the Archeology of Knowledge di mana ia memperkenalkan sejumlah perangkat konsep dan teknik membaca sejarah yang sama sekali baru dalam masyarakat ilmiah yang disebutnya arkeologi. Pada buku tersebut juga Foucault menegaskan cara pandangnya yang orisini mengenai kekuasaan/kekuatan (power) (Afandi, 2015). Foucault merupakan tokoh sentral dalam gerakan postmodern yang menekankan sentralitas bahasa dalam membangun sebuah sintesis kekuatan/pengetahuan untuk memberikan kemampuan dapat dihitung secara individu. Habermas (1987) sendiri mengidentifikasi Foucault sebagai pakar teori kekuasaan. Foucault memandang kekuasaan yang menjadi realitas sosial bersifat produktif dan tidak kelihatan karena kekuasaan ada dimana-mana, menyebar, menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang selanjutnya menciptakan rezim kebenaran.

Foucault merupakan kritikus pengetahuan dan kritikus sosial di saat yang sama (Afandi, 2015). Foucault merumuskan ide-ide besar sejarah penalaran menjadi sebuah ide yang kritis tentang kebenaran dan makna ke dalam konteks sosial dan budaya. Foucault adalah seorang yang skeptis terhadap segala macam kebenaran. Foucault memandang segala macam klaim kebenaran adalah interpretasi atas sebuah dunia, yang sebenarnya tidak ada sebagai sesuatu yang historis. Misalnya dalam buknya yang berjudul Kegilaan dan Peradaban, Foucault melukiskan bagaimana kegilaan itu didefinisikan dari berbagai kelompok yang dominan pada masa tertentu.

Foucault (1997) dalam Ahrens et al. (2008) memahami kritik sebagai “seni yang tidak sedang diatur begitu banyak” dan menghubungkannya dengan kekuasaan/pengetahuan. Pemikiran Foucault yang paling terkenal adalah pemikiran mengenai hubungan antara diskursus ilmu pengetahuan (knowledge) dengan kekuasaan/kekuatan (power). Diskursus ilmu pengetahuan yang hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu. Kehendak untuk kebenaran adalah ungkapan dari kehendak untuk berkuasa. Menurut Foucault, selalu terjadi korelasi yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Penjelasan ilmiah yang satu berusaha menguasai dengan menyingkirkan penjelasan ilmu yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terwujud dalam teknologi gampang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakat. Pada zaman teknologi tinggi sebenarnya tetap ada pemaksaan sehingga yang terjadi hanya pergeseran instrumen yang dipakai untuk memaksa.

Pada akhir-akhir ini, terjadi peningkatan ketertarikan terhadap kontribusi teori Foucault terhadap pemahaman mengenai organisasi, akuntansi dan pengendalian kerja (McKinlay dan Starkey, 1997). Selain dikenal dengan teori kekuasaan dan pengetahuan, Foucault juga dikenal dengan teorinya terkait sejarah. Penggunaan konsep filosofis Foucault dalam penelitian sejarah akuntansi disebut sebagai paradigma postmodern yaitu penelitian sejarah akuntansi dengan menggunakan konsep Foucault terkait kekuasaan-pengetahuan. Paradigma postmodern yang dibangun oleh Foucault yang mana bertujuan untuk mencatatkan rentetan sejarah institusi tertutup (rumah sakit jiwa dan penjara) muncul dalam banyak cara untuk mensejajarkan sistem pabrik dan aspek lainnya dalam kehidupan modern di mana akuntansi terlibat. Konsep kekuasaan-pengetahuan dalam melakukan penelitian sejarah akuntansi adalah melihat bagaimana akuntansi muncul dan eksis dalam organisasi maupun dalam masyarakat sebagai suatu kekuatan disipliner, yaitu kekuatan yang membentuk perilaku masyarakat dalam kehidupan sosial.

Penelitian sejarah akuntansi tradisional umumnya menggunakan pendekatan ahistoris dan antik. Ahistoris berarti sejarah akuntansi ditulis dengan sudut pandang masa kini di mana sejarah akuntansi cenderung disajikan secara kronlogis dengan perlahan-lahan menampilkan kebenaran masa kini. Sedangkan antik berarti penelitian sejarah akuntansi terkonsentrasi pada penjelasan mengenai “apa” yang terjadi di masa lalu bukannya menjelaskan “bagaimana” dan “mengapa” akuntansi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Penelitian sejarah akuntansi dengan pendekatan Foucault tidak berusaha menyajikan gambaran sejarah akuntansi secara lengkap dan kronologis dalam suatu periode sebagaimana pendekatan sejarah akuntansi tradisional, melainkan menguraikan sejarah akuntansi di masa lalu dengan cara mempelajari bagaimana masa lalu itu berbeda, terlihat aneh dan memberikan pengaruh yang kuat. Perspektif Foucault dalam studi sejarah akuntansi telah membuka pikiran peneliti akuntansi untuk memandang akuntansi tidak hanya dari satu sudut pandang, tetapi melihatnya sebagai fenomena sosial, politik dan ekonomi yang kompleks. Menurut Loft (1986), proses awal lahirnya akuntansi tidak semata dipandang sebagai teknik untuk mengumpulkan dan menyajikan data keuangan untuk kepentingan pengambilan keputusan, melainkan sebagai kekuatan yang membentuk kehidupan sosial masyarakat.

Berdasarkan perspektif Foucault, akuntansi dapat dilihat sebagai suatu kekuasaan/kekuatan dan pengetahuan (power-knowledge) yang mampu membentuk perilaku dan juga budaya manusia dalam kehidupan sosialnya, misalnya pemanfaatan uang sebagai alat tukar ataupun sikap disiplin pedagang yang melaksanakan pencatatan transaksi. Menurut Kurrohman dan Maradonna (2012), berbagai aktivitas yang menjadi ciri adanya peradaban dalam hidup ini, misalnya sekelompok orang yang bekerja sama, adanya pertukaran, adanya pasar, pembayaran pajak kepada negara, dapat berlangsung karena adanya akuntansi. Oleh karena itu, akuntansi dengan kekuatan dan pengetahuannya dapat menjadi fondasi bagi berdirinya suatu peradaban.

  • Paradigma Alternatif dalam Riset Akuntansi

Paradigma alternatif hadir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap paradigma-paradigma yang telah ada sebelumnya. Paradigma alternatif dibuat untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ada pada paradigma positivisme, interpretif, kritis dan postmodern. Pada penelitian akuntansi yang terkenal dengan multiparadigma, paradigma alternatif yang muncul saat ini adalah paradigma spiritual/religius (Mulawarman, 2010; Triyuwono, 2012). Paradigma spiritual memahami realitas sosial sebagai refleksi ruh (spirit) dari masing-masing individu anggota masyarakat. Sedangkan manusia adalah makhluk spiritual yang mengalami kehidupan fisik, perwujudan Tuhan, memiliki tubuh fisik, mental dan spiritual. Ilmu pengetahuan merupakan pancaran dari ilmu Tuhan yang bersifat rasional, rasional-superrasional dan superrasional. Riset akuntansi dengan paradigma spiritual, oleh karenanya, dapat menggunakan metode yang bertumpu pada keimanan agama/keyakinan, yang bisa jadi dipandang “tidak rasional” dari kaca mata paradigma lain. Oleh karena itu, paradigma spiritual dibangun berdasarkan ajaran agama (religi), seperti agama Islam.

Tujuan penelitian dengan paradigma spiritual/religius adalah untuk membangkitkan kesadaran ketuhanan (to awaken God consciousness) pada diri manusia. Ontologi paradigma religius memandang bahwa realitas sosial tidak lain adalah hukum-hukum Tuhan yang disebarkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Secara epistemologi, ilmu yang benar adalah ilmu yang mampu memahami hukum-hukum Tuhan dan mampu membawa manusia pada pengenalan Tuhan lebih dekat dan mampu mengantarkan manusia untuk kembali pada Tuhan dengan jiwa yang tenang dan suci. Paradigma religius memandang ilmu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan menggunakan ruh suci manusia beserta hati, akal dan nafsu yang telah disucikan. Metodologi penelitian dengan paradigma religius adalah orientasi penelitian konstruksi teori baru dan pemahaman mendalam atas hukum-hukum Tuhan yang dilakukan dengan cara berguru kepada Tuhan dengan perantaraan ruh suci yang ada dalam diri peneliti. Metode penelitian dengan paradigma religius dapat dilakukan dengan dzikir, doa dan tafakkur. Sedangkan desain penelitian paradigma religius berdasar pada kehendak Tuhan.

Tradisi Islam kontemporer memiliki pemaknaan tersendiri mengenai apa itu paradigma (Mulawarman, 2010). Menurut Zarkasyi (2005) dalam Mulawarman (2010), setidaknya ada empat definisi paradigma dalam khasanah Islam kontemporer. Maulanan al-Maududi mengistilahkan paradigma Islam sebagai Islam nazariyat (Islamic vision) yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan manusia. Shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh. Sementara, Syaikh Atif al-Zain mengistilahkan paradigma sebagai al-mab da’ al-islami (Islamic principle) yang cenderung merupakan kesatuan iman dan akal. Mab da’ diartikan sebagai aqidah fikriyah yaitu kepercayaan berdasarkan pada akal dan iman didahului dengan akal. Sedangkan, Sayyide Qutb menyebut paradigma sebagai al-tassawur al-islami (Islamic vision) yang berarti akumulasi keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim yang memberikan gambaran khusus tentang wujud dan apa yang terdapat dibalik itu. Selanjutnya, Seyyed Naquib al-Attas berpendapat bahwa paradigma adalah ru’yattul islam lil wujud (Islamic worldview) atau pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan tentang hakikat wujud. Berdasarkan keseluruhan definisi di atas, paradigma berkenaan dengan pandangan hidup muslim tentang realitas dan kebenaran serta hakikat wujud yang berakumulasi dalam alam pikiran dan memancar dalam seluruh aktivitas kehidupan umat Islam.

Paradigma yang telah ada sebelumnya cenderung lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang mana menekankan pada tiga hal yaitu motor bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman realitas dan dasar bagi aktivitas ilmiah. Namun, pada pandangan Islam, makna paradigma menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta dan selalu berujung pada kebenaran mutlak (al-haqq) yaitu Allah. Paradigma religius Islam tidak terbatas pada pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik, dan budaya, akan tetapi mencakup aspek dunia dan hari akhir, di mana aspek dunia harus terikat dan mendalam dengan aspek akhirat sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. Singkatnya, paradigma dalam bahasa al-Faruqi disebut dengan tauhid.

Esensi agama Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan menegaskan Allah sebagai yang esa, pencipta mutlak dan transenden (al-Faruqi, 1995 dalam Mulawarman, 2010). Tauhid adalah konsep kunci dalam Islam. Tauhid memberikan identitas pada peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikannya kesatuan integral dan organis (al-Faruqi, 1995). Tauhid adalah pengikat dari ketentuan-ketentuan yang disyariatkan dan etika manusia dalam melaksanakan aktivitas duniawi. Pada Qur’an Surat (Q.S.) Al-Baqarah ayat 177 dijelaskan bahwa bentuk keterikatan segala sesuatu sebagai kaidah normatif Ketuhanan sekaligus realitas yang harus dijalankan oleh setiap manusia dalam kebajikan dan ketakwaan. Keimanan kepada Allah Swt sebagai bentuk kepasrahan tanpa reserve, dilanjutkan dengan kepatuhan menjalankan syariat sebagai bentuk penyerahan diri, wujud nyatanya sebagai “abd Allah”. Sebagaimana ditegaskan Allah sendiri dalam firman-Nya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada ku (Q.S. 51: 56).”

Prinsip penyembahan atau ibadah menurut Shihab (2005) dalam Mulawarman (2010) adalah bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak pada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau. Adapun tanda-tanda keberhasilan seseorang mencapai hakikat ibadah kepada Tuhan dapat dideteksi dalam tiga kondisi. Pertama, manusia tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadi, tetapi milik Allah sebagai tempat dia mengabdi. Kedua, segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi.

Pengakuan sebagai “abd Allah” kemudian diaktualisasikan dalam ruang dan waktu, terjun dalam hiruk pikuknya dunia dan sejarah, menciptakan perubahan yang dikehendaki dengan sebaik-baik amal, sebagai wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ardh). Nilai-nilai islam yang berpedoman pada vestigia dei (jejak-jejak ilahi) di atas mengarah pada koeksistensi tujuan utama manusia. Koeksistensi tujuan utama manusia tersebut terletak pada keseimbangan sebagai “abd Allah” dan sekaligus “khalifatullah fil ardh”. Koeksistensi tujuan utama manusia jelas berbeda dengan koeksistensi alam. Ketika manusia memiliki kesamaan sifat dengan alam, maka koeksistensi tujuan manusia tidak akan berguna. Jika manusia memiliki koeksistensi yang sama dengan alam, maka manusia tidak berbeda dengan ciptaan Tuhan lainnya di alam semesta. Ketika manusia memiliki sifat berbeda dengan alam, maka menjadi bergunalah koeksistensi tujuan manusia. Berdasarkan koeksistensi yang unik itu kemudian mengapa Tuhan memberikan kewenangan dan kedudukan lebih tinggi kepada manusia siapapun ciptaan-Nya.

Koeksistensi tujuan manusia dengan demikian adalah dalam rangka pengabdian kepada Allah (abd Allah/abdi Allah) dan sekaligus menjadi wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ardh). Abd Allah adalah realisasi tujuan manusia untuk selalu menjalankan ibadah kepada Allah. Manusia memiliki tujuan hidup “asali dan akhir” untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Pengabdian tersebut terkait langsung, integratif, organis dengan fungsinya sebagai khalifah. Khalifah adalah realisasi tujuan kealaman manusia untuk memelihara dan mengelola alam semesta milik Tuhan. Manusia diberi amanah memberdayakan seisi alam raya sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai kewajiban menciptakan masyarakat ilahiah dan harmonis. Manusia sebagai khalifah Allah harus dapat memelihara agama, akal dan budayanya (Shihab, 2006 dalam Mulawarman, 2010). Implementasi utama koeksistensi tujuan utama manusia kemudian harus dilaksanakan dalam bentuk harmoni, keseimbangan dan kebaikan. Inilah yang disebut cinta sejati menurut Islam. Cinta dalam Islam bukan hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove. Cinta dengan demikian dijalankan untuk menumbuhkan dan membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah ketuhanan, didasari rasa saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan penghianatan.

Menurut Mulawarman (2010), paradigma religius/spiritual sangat mungkin juga berdasar pada pandangan agama non-Islam. Maka, paradigma alternatif ini disebut sebagai paradigma religius/spiritual. Akuntansi dalam paradigma religius Islam dipandang jelas tidak bisa bebas nilai melainkan dipengaruhi nilai-nilai yang sangat akut. Akutnya nilai-nilai yang berpengaruh terhadap akuntansi dapat dilihat dari artikel Watts (1992) yang menegaskan bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik (Mulawarman, 2010). Menurut Watts (1992), teori akuntansi dan realitas empiris memberikan penegasan bahwa akuntansi merupakan realitas yang sangat politis dan penuh kepentingan pasar yang jelas-jelas tidak dapat digagas dari teori normative unscientific. Teori yang dibangun dari gagasan normatif bukanlah sebuah kebenaran yang dapat menjadi main guidance bagi realitas empiris akuntansi. Main guidance dalam pikiran Watts (1992) adalah realitas empiris yang harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya, tidak tetap (tetapi relatif), sebagai hasil intereksi dan keinginan dan egoisme individu (self interest) yang rasional, baik berbentuk hubungan agensi di dalam market process maupun political process. Singkatnya, bangunan teori dan realitas akuntansi yang seperti itu berujung pada tiga substansi yaitu self interest, kekuasaan dan relativitas yang mirip dengan apa yang disebut sekularisme. Sekularisme bukanlah konsep yang berhubungan dengan aspek religius saja.

Sekularisme di era modern telah berubah menjadi konsep yang lebih sosiologis dengan tiga penegasan yaitu disenchantment alam (penegasian kekuatan di luar manusia), desakralisasi (penegasian kekuasaan) dan dekonsekrasi nilai (penegasian nilai-nilai non materi dan penolakan terhadap certainty condition). Disenchment alam dalam akuntansi terlihat dalam asumsi dasar self interest para akuntan, standard setter, pemilik, pemegang saham, birokrat dan politisi sebagai individu-individu yang terlibat yang melakukan upaya untuk memaksimalkan expected utilities mereka sendiri. Desakralisasi kekuasaan dalam akuntansi terlihat pada pemisahan kekuasaan standard setter dari lingkaran kepentingan birokrasi dan politisi maupun pemisahan kekuasaan antara prinsipal dan agen. Dekonsekrasi nilai dalam akuntansi nampak pada ditolaknya nilai-nilai normatif sebagai main guidance. Main guidance yang sebenarnya adalah aturan yang harus jelas pengukuran dan pengakuannya secara materi, terus bergerak menuju perubahan-perubahan sesuai dengan realitas dan keinginan self-interest di area market dan politic. Tidak ada realitas yang benar, tidak ada normatifitas yang baku, yang ada adalah tampilan realitas empiris apa adanya.

Oleh karena itu, perlu kemudian dilakukan perubahan asumsi dasar hubungan dalam teori agensi yang bersumber pada self interest egoistic serta agenda politik yang berbasis power dan konflik dalam paradigma religius yang berbasis cinta. Teori agensi seharusnya didasari truly love. Cinta dan moral yang religius adalah landasan utama dari akuntansi itu sendiri. Religiusitas berujung pada keimanan. Dan sebenarnya pula inti iman adalah cinta. Motivasi dan tujuan yang bersifat cinta egoistis terimplementasi dalam bentuk kepentingan pemegang saham dan pasar akhirnya menciptakan hegemoni korporasi dalam akuntansi. Tazkiyah motivasi dan tujuan akuntansi dengan demikian adalah melakukan pencerahan dan pembebasan dengan menyetujui perluasan akuntabilitas disamping untuk kepentingan shareholders/market juga terhadap karyawan, pemasok, masyarakat alam dan Tuhan. Itulah akuntabilitas yang didasarkan cinta sinergis yang egoistis-alturistik dan materialitas-religius.

BAB 3

PENUTUP

  • Kesimpulan

Paradigma secara umum didefinisikan sebagai cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap realitas sosial. Akuntansi adalah ilmu sosial dengan multiparadigma. Paradigma yang biasa digunakan pada pengembangan ilmu akuntansi meliputi paradigma positivisme, interpretif, kritis, postmodern dan alternatif/religius. Paradigma positivisme adalah paradigma yang umum digunakan pada penelitian akuntansi selama ini. Tujuan penelitian dengan paradigma positivisme adalah untuk menjelaskan dan meramalkan realitas sosial Penelitian dengan paradigma interpretif bertujuan untuk memaknai atau memahami realitas sosial. Sedangkan, paradigma kritis bertujuan untuk memperbaiki kelemahan paradigma sebelumnya dengan cara melakukan pembebasan dan perubahan. Sementara, paradigma postmodern berfokus pada anti keteraturan atas hal-hal yang sudah mapan dengan melakukan dekonstruksi. Lain halnya dengan paradigma alternatif religius yang bertujuan untuk membangun kesadaran ketuhanan pada diri manusia dengan memandang realitas sosial sebagai hukum-hukum Tuhan.

Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Penggunaan paradigma menentukan metode dan desain penelitian. Penggunaan paradigma yang beragam berdampak terhadap pengembangan teori dan praktik akuntansi. Realitas akuntansi yang dipandang berbeda menghasilkan pandangan yang berbeda pula mengenai teori dan praktik akuntansi yang seharusnya. Hal ini berimplikasi secara positif terhadap perbaikan teori dan praktik akuntansi.

  • Saran

Paradigma penelitian sering kali diabaikan oleh peneliti seperti mahasiswa dalam menyusun penelitian. Padahal, paradigma merupakan landasan pokok dalam menentukan metode dan desain penelitian yang tepat. Tujuan penelitian hanya akan tercapai jika metode dan desain penelitian yang digunakan sesuai dengan realitas sosial yang ingin dikembangkan. Selain itu, hegemoni paradigma positivisme yang merasuki jiwa mahasiswa telah mengesampingkan upaya pemahaman terhadap paradigma non-positivisme dan alternatif yang juga memiliki keunggulan. Maka itu, kami menyarankan perlunya pengajaran multiparadigma penelitian pada perkuliahan metodologi penelitian agar mahasiswa dapat menentukan metode dan desain penelitian yang tepat. Selain itu, pengajaran filsafat juga perlu dilakukan agar paradigma semakin mudah dipahami mengingat paradigma terkait dengan filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Abdullah Khozin. 2015. Konsep Kekuasaan Michael Foucault. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, 2 (1): 131-149.

Burrell, G. dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Ashgate.

Chua, Wai F. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. Accounting Review, 59 (4): 601-632.

Diamastuti, Erlina. 2012. Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, 10 (1): 61-74.

Djamhuri, Ali. 2011. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Paradigma dalam Kajian Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2 (1): 147-185.

Ghozali, Imam. 2004. Pergeseran Paradigma Akuntansi dari Positivisme ke Perspektif Sosiologis dan Implikasinya terhadap Pendidikan Akuntansi di Indonesia.

Harahap, Sofyan S. 2011. Teori Akuntansi. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press.

Hartono, Arif. 2012. Multi Paradigma dalam Penelitian Akuntansi: Suatu Tinjauan Konsep. Jurnal Ekuilibrium, 10 (1): 59-69.

Kuhn, Thomas. 1962. The Structure of Scientific Revolutions. London: The University of Chicago Press.

Kurrohman, T. dan A. F. Maradonna. 2012. Akuntansi, Kekuatan, Pengetahuan: Peran Akuntansi dalam Membangun Peradaban. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, 10 (1): 41-50.

Loft, Anne. 1986. Towards a Critical Understanding of Accounting: The Case of Cost Accounting in the UK, 1914-1925. Accounting, Organizations and Society, 11 (2): 137-169.

McKinlay, A. dan K. Starkey. 1997. Foucault, Management and Organization Theory: From Panopticon to Technologies of Self. London: SAGE Publications.

Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: ROSDA

Mulawarman, Aji Dedi. 2010. Integrasi Paradima Akuntansi: Refleksi atas Pendekatan Sosiologi dalam Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 1 (1): 155-171.

Mulawarman, Aji Dedi. 2014. Nyanyian Metodologi Akuntansi ala Nataatmadja: Melampaui Derridean Mengembangkan Pemikiran Bangsa “Sendiri”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 4 (1): 149-164.

Paranoan, Natalia. 2015. Riset Non Positivistik Akuntansi dalam Tiga Paradigma: Interpretif, Kritis dan Postmodernisme. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, 10 (1): 8-18.

Randa, Fransiskus. 2008. Memahami Paradigma dalam Membangun Riset Akuntansi. Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi, 6 (2): 1-10.

Riduwan et al. 2010. Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Postmodernis Derridean. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 7 (1): 38-60.

Setiawan, A. R. 2011. Tinjauan Paradigma Penelitian: Merayakan Keragaman Pengembangan Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2 (3): 1-20.

Sitorus, Jordan H. E. 2015. Membawa Pancasila dalam Suatu Definisi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6 (2): 254-271.

Watts, R. L. dan J. L. Zimmerman. 1978. Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards. Accounting Review, LIII (1): 112-134.

PENGARUH RELIGIUSITAS DAN RASIONALISASI DALAM MENCEGAH DAN MENDETEKSI KECENDERUNGAN KECURANGAN AKUNTANSI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

            Sebagai mahasiswa akuntansi, pasti sering merasa bingung dalam memahami materi akuntansi..Hal yang paling mendasar yaitu tentang mekanisme debit-kredit.Beberapa pakar akuntan berpendapat bahwa debit-kredit terlalu mekanis dan memaksa pelajar mengandalkan memori.Padahal, mengingat sejarah akuntansi, dimana akuntansi berasal dari matematika, seharusnya akuntansi lebih mengutamakan pemahaman terhadap materi yang dipelajari, bukan mengandalkan hafalan.Pengembangan akuntansi harus dikembalikan berdasar matematika.Dengan asumsi bahwa mahasiswa merupakan pembelajar rasional dan memiliki kemampuan berpikir normal, kesulitan dalam mempelajari akuntansi mengindikasikan dua hal dimana minimal salah satunya mungkin terjadi, yaitu: 1) Metode pembelajaran yang diterapkan tidak tepat sehingga sebagian besar mahasiswa tidak mampu memahami akuntansi secara benar. 2) Materi akuntansi yang diajarkan tidak mudah dipahami oleh rasionalitas mahasiswa karena adanya ketidaksesuaian antara rasionalitas akuntansi pakar akuntansi dengan rasionalitas mahasiswa.

            Terdapat dua teori yang menggambarkan cara berpikir manusia, yaitu teori pilihan rasional (rationale choice theory) dan teori rasionalitas terbelenggu (bounded theory) pengembangan ilmu pengetahuan seharusnya mendasarkan pada teori pilihan rasional. Sayangnya, beberapa topik akuntansi justru dikembangkan dengan berdasar pada teori rasionalitas terbelenggu. Akuntansi yang dikembangkan berdasar teori pilihan rasional akan memiliki logika yang universal serta terbuka terhadap perubahan. Contoh keberadaan rasionalitas terbelenggu dalam pengembangan akuntansi:

  1. Persamaan akuntansi yang ditulis “Aset = Utang + Ekuitas + Pendapatan – Biaya”. Secara matematika, seharusnya persamaan tersebut juga dapat ditulis “Aset + Biaya = Utang + Ekuitas + Pendapatan”. Namun ternyata beberapa akuntan berpendapat bahwa secara akuntansi persamaan kedua tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan biaya dan pendapatan merupakan bagian dari ekuitas sehingga sebaiknya tetap di samping ekuitas. Jika biaya dipindah ke sisi kiri persamaan, persamaan akuntansi menjadi tidak mempunyai makna. Hal ini mengindikasikan terjadinya rasionalitas terbelenggu karena rasionalitas akuntansi yang diajukan tidak sesuai dengan rasionalitas matematika. Padahal, kembali ke sejarah, akuntansi sendiri justru tertulis di buku matematika karangan Luca Pacioli yang berjudul Summa de Aritmatica, Geometrica, Proportini et Proportionalita.
  2. Masih banyak orang yang mendefinisikan debit-kredit sebagai “penambahan-pengurangan”. Salah persepsi yang terus berlanjut ini menggambarkan kekurangtepatan logika akuntansi untuk menjelaskan terminology debit-kredit tersebut kepada masyarakat.

            Kita mengenal persamaan akuntansi dasar sebagai berikut: “Aset = Utang + Ekuitas”.Rasionalitas dari persamaan ini adalah asset sebagai sumber daya perusahaan sedang utang dan ekuitas sebagai sumber pendanaan perusahaan. Persamaan di atas dikembangkan menjadi “Aset = Utang + Ekuitas + Pendapatan – Biaya”. Disini, asset sebagai sumber daya sedang utang dan ekuitas sebagai sumber pendanaan, pendapatan dan biaya merupakan bagian dari ekuitas (pendapatan menambah ekuitas dan biaya mengurangi ekuitas). Jika dicermati, kedua persamaan tersebut mempunyai rasionalitas yang berlawanan. Pada persamaan pertama, sisi kanan persamaan dianggap sebagai sumber pendanaan. Namun bila alasan ini digunakan di persamaan kedua, akan terdapat ketidakkonsistenan karena biaya yang letaknya di sisi kanan persamaan bukan merupakan jenis sumber pendanaan. Dengan kata lain, selama ini, disadari atau tidak disadari, akuntansi menggunakan dua rasionalitas yang berlawanan untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sama.

            Bagaimana bila persamaan “Aset = Utang + Ekuitas” disandingkan dengan persamaan “Aset + Biaya = Utang + Ekuitas + Pendapatan”? Untuk kedua persamaan tersebut, digunakan rasionalitas alternative bahwa di sisi kiri persamaan disebut penggunaan dana dan di sisi kanan persamaan disebut sumber pendanaan. Rasionalitas tersebut dapat menjelaskan masing-masing persamaan secara konsisten.

Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Mengapa dalam akuntansi digunakan istilah debit-kredit, dimana debit diletakkan di sebelah kiri dan kredit diletakkan di sebelah kanan?”. Akuntansi menggunakan debit yang berarti kiri dan kredit yang berarti kanan karena akuntansi mendasarkan persamaan matematika yang terdiri dari sisi kiri persamaan (asset dan biaya) dan sisi kanan persamaan (utang, ekuitas, dan pendapatan). Akuntansi tidak menggunakan angka negative karena dalam moneter tidak ada nilai negative. Oleh karena akuntansi tidak mengenal angka negative, maka untuk menambah atau mengurangi, cara yang dilakukan adalah memindahkan dari sisi kiri ke sisi kanan persamaan atau sebaliknya, untuk merepresentasikan pengurangan.

1.2       Rumusan Masalah

Berdasarkanlatar belakang yang dipaparkan, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

  1. Apakah pengertian rasionalitas?
  2. Bagaimana rasionalitas yang mendasari ilmu akuntansi: materialitas dan moderenitas?
  3. Bagaimana dialektika dalam akuntansi?
  4. Bagaimana dimensi manusia dalam rasionalitas akuntansi?

1.3       Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengertian rasionalitas.
  2. Untuk mengetahui rasionalitas dari materialitas dan moderenitas yang mendasari ilmu akuntansi.
  3. Untuk mengetahui dialektika dalam akuntansi.
  4. Untuk mengetahui dimensi manusia dalam rasionalitas akuntansi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Rasionalitas

Rasionalitas merupakan salah satu teori yang dicetuskan oleh Weber. Dalam mencetuskan teori ini, Weber terpengaruh oleh kehidupan sosial budaya masyarakat Barat pada waktu itu.Masyarakat Barat pada waktu itu kondisi sosial budaya khususnya dalam segi pemikiran mulai bergeser dari yang berpikir non rasional menuju ke pemikiran rasional. Hal ini dilihat Weber sebagai gejala awal dari sebuah modernitas, sehingga Weber menganalisisnya (modernitas) melalui teori Rasionalitasnya. Weber menganggap bahwasanya modernisasi merupakan perluasan rasionalitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Konsep rasionalitas Weber sangat menarik perhatian para filsuf dalam menganalisis masyarakat modern dan dipahami oleh para tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt sebagai merasuknya instrumental dalam segenap aspek kehidupan, disebabkan dalam menganalisis masyarakat industri maju mencurigai rasionalitas sebagai biang keladi segala bentuk alienasi, penindasan, dan ketidakkritisan. Kemudian Herbert Marcuse berusaha menjelaskan rasionalitas yang menguasai masyarakat industri maju ini diawali dengan mengkaji pemikiran Weber sebagai tokoh yang mula-mula menerapkan konsep rasionalisasi.

Rasionalitas, berasal dari kata “ rasio ” yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno, yang berarti kemampuan kognitif untuk memilah antara yang benar dan salah dari Yang Ada dan dalam Kenyataan.Menurut Weber, secara garis besar ada dua jenis rasionalitas manusia, yaitu pertama rasionalitas tujuan (Zwekrationalitaet) dan kedua rasionalitas nilai (Wetrationalitaet).Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu tindakan berorientasi pada tujuan tindakan, cara mencapainya dan akibat-akibatnya. Ciri khas rasionalitas ini adalah bersifat formal, karena hanya mementingkan tujuan dan tidak mengindahkan pertimbangan nilai.Rasionalitas nilai adalah rasionalitas yang mempertimbangkan nilai-nilai atau norma-norma yang membenarkan atau menyalahkan suatu penggunaan cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Rasionalitas ini menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, dan religius. Ciri khas rasionalitas nilai ini adalah bersifat substantif, sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalitasnya terhadap nilai yang dihayati secara pribadi. Dalam kenyataannya, kedua jenis raionalitas ini sering bercampur aduk, dimana terjadi dominasi rasionalitas tujuan atas rasionalita nilai, begitu juga sebaliknya. Selain kedua jenis tersebut, beberapa sosiolog lain menafsirkan bahwa sebenarnya Weber mencetuskan jenis rasionalitas itu menjadi tiga bagian, yakni rasionalitas instrumental, rasio yuridis dan rasio kognitif / ilmiah. Ketiga rasio ini ( menurut beberapa sosiolog, khususnya Ross Poole ) tidak secara eksplisit diungkapkan oleh Weber, namun ketiga jenis rasio ini ada dalam ajaran rasionalitas Weber.

Rasio Instrumental, merupakan bentuk rasio yang paling dominan yang terwujud dalam pasar yang bersifat kapitalis. Rasio ini menekankan efisiensi dan efektifitas dalam meraih tujuan-tujuan tertentu. Dalam menerapkan rasio ini, ada beberapa hal yang harus dilakukan, pertama, pengandaian adanya tujuan untuk rute – rute alternatif. Kedua, pengandaian adanya pelaku yang menganggap dirinya bebas untuk memilih rute – rute tersebut. Karena menekankan pada efisiensi, rasio ini lebih memilih hasil yang kuantitatif atau yang berdasarkan jumlah.

Rasio Yuridis, yakni rasio yang mengacu pada bentuk rasionalitas yang secara obyektif terealisasi dalam bidang hukum dan birokrasi. Rasionalitas ini menekankan prinsip konsistensi, daripada prinsip efisiensi (rasio Instrumental). Rasio ini tidak jarang mengalami kontra dengan rasio lain, contohnya dengan rasio instrumental. Contoh ekstremnya adalah ketika adanya penggunaan uang pelicin (uang sogokan) untuk melancarkan suatu proyek atau usaha. Menurut rasio ini, perbuatan itu bertentangan dengan moral dan tidak benar, namun menurut rasio instrumental, tindakan ini sah – sah saja selama itu mempermudah untuk mendapatkan sesuatu. Rasio Yuridis dalam hal kekuasaan dalam suatu masyarakat berfungsi sebagai moralitas sosial yang harus dipatuhi untuk membatasi kekuasaan. Namun dalam masyarakat kapitalis rasio ini kalah dominasi dari rasio instrumental.

Rasio Kognitif, merupakan rasio yang menjelaskan bahwa sasaran dari rasio adalah pengetahuan dalam rangka mencari kebenaran yang sesuai dengan dunia. Perwujudan dari rasionalitas ini terdapat di institusi pendidikan ataupun riset modern. Penerapan dari rasio ini adalah bahwa kebenaran hanyalah dibatasi dengan kebenaran yang sesuai dengan pernyataan dunia. Pengertian ini akan menyebabkan ilmu menjadi adaptif terhadap kondisi yang ada. ilmu hanya akan melestarikan dan mendukung sistem yang ada. akibat lebih jauh dari penerapan rasio instrumental dan rasio ilmiah inilah yang akhirnya menjadi titik acuan kritik dari para tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt di kemudian hari.

Tipe-tipe Rasionalitas

Rasionalitas praktis adalah setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis. Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dia terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah. Jadi dia tidak terbatas pada Barat modern. Tipe rasionalitas ini berlawanan dengan segala hal yang mengancam akan melampaui rutinitas sehari-hari. Dia mendorong orang untuk tidak percaya pada seluruh nilai yang tidak praktis, religius atau utopia sekuler, maupun rasionalitas teoretis kaum intelektual.

Rasionalitas teoretis, tipe rasionalitas ini dijalankan pada awal sejarah oleh tukang sihir dan pendeta ritual dan selanjutnya oleh filsuf, hakim, dan lmuwan. Tidak seperti rasionalitas praktis, rasionalitas teoretis menggiring aktor untuk mengatasi realitas sehari-hari dalam upayanya memahami dunia sebagai kosmos yang mengandung makna. Seperti rasionalitas praktis, rasionalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah. Efek rasionalitas intelektual pada tindakan sangat terbatas. Didalamnya berlangsung proses kognitif, tidak mempengaruhi tindakan yang diambil, dan secara tidak langsung hanya mengandung potensi untuk memperkenalkan pola-pola baru tindakan.

Rasionalitas substantif, hakikatnya lebih mirip dengan rasionalitas praktis dan tidak seperti rasionalitas teoretis. Rasionalitas ini melibatkan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sistem nilai ( secara substantif ) tidak lebih rasional daripada sistem lainnya. Jadi, tipe rasional ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selama ada nilai yang konsisten.

2.2 Rasionalitas Yang Mendasari Ilmu Akuntansi: Materialisme Dan Modernisme

            Modernisme muncul pada abad pertengahan ketika manusia mulai berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupannya. Modernisme sebagai sebuah peradaban dimaknai dalam perspektif orang-orang barat yang untuk sementara ini menjadi kiblat “kemajuan”, tak terkecuali hal ini menimpa pada akuntansi. Akuntansi berkembang dalam pemikiran-pemikiran modern. Ciri khas pemikiran modern yang rasionalistik berimbas pada karakter akuntansi yang dikatakan oleh Triyuwono dalam (Futaqi, 2008) menjadikannya berwatak maskulin murni. Watak akuntansi modern juga mengakibatkan karakter manusia menjadi tidak sempurna karena adanya unsur-unsur alienasi nilai di dalamnya.

            Keyakinan terhadap realitas materi dalam budaya modern begitu kental melekat. Zaman ini ditandai dengan terpinggirkannya nilai-nilai agama dari segi kehidupan manusia. Konsepsi ketuhanan ataupun spiritualitas yang dianggap bersifat tidak nyata, gaib atau irasional tereliminasi sedikit demi sedikit sampai akhirnya tergantikan oleh konsep yang baru, yaitu anthropocentrisme. Agama dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, menawarkan angan-angan kosong dan penjara yang mengkungkung kebebasan. Konsep normatif agama dipandang telah menggiring manusia kepada keterbelakangan dan kehancuran yang fatal.. Agama menjadi marginal dan harus dipinggirkan, bahkan, jika perlu dikalahkan, apapun agama tersebut. Pada puncaknya, manusia bangkit menjadi pusat segalanya yang mempunyai otoritas mutlak terhadap kelangsungan hidup dunia seisinya.

            Segala sesuatu yang non materi adalah salah dan menyesatkan. Dalam perkembangannya, modernisme ini semakin kokoh menancapkan kuku-kuku peradabannya. Rasionalisme, sekulerisme, empirisme, humansentrisme dan materialisme begitu kuat untuk dilawan. Tanpa terasa modernisme menjadi icon sosial masyarakat yang sudah mendarah daging. Peradaban modern seakan menjadi The Ultimate Civilization. Secara tidak sadar arus modern mengalir dalam setiap urat nadi kehidupan dan terus mencetak generasi-generasi baru. Dalam keadaan seperti ini sangat sulit untuk menghindari dan lari dari serangan arus modernisme. Pemikiran modern dengan segala derivasinya menuntun (semua orang) untuk masuk dalam black hole modernisme dan (secara tidak sadar) mereka berdiri di garda terdepan yang siap berkorban untuknya.

            Pemahaman mengenai peradaban modern tidak terlepas dari budaya dan pemikiran orang-orang barat. Modernisasi menuntut manusia untuk berpikir sekuleristik, rasionalistik, materialistik dan empirik. Menurut Ali Maksum (Dosen Tarbiyah IAIN Sunan Ampel) dalam (Futaqi, 2008) modernisme telah melahirkan budaya “ilmiah” (perkawinan antara rasionalistik dan materialistik) yang dianggap telah memberikan kemajuan yang besar terhadap peradaban manusia. Tanpa bisa dipungkiri, melalui peradaban modern muncul berbagai penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Melalui hitungan detik, orang Indonesia dapat mengetahui apa yang terjadi di Eropa, begitu juga sebaliknya. Namun, peradaban modern membawa sisi lain yang mengerikan. Manusia modern diantaranya menjadi egoistik, individualis, dan materialis, bahkan menurut Zainudin MZ dalam (Futaqi, 2008)  manusia modern (barat) mengartikan hidup hanyalah hand to the mouth, dari tangan ke mulut. Akibatnya, hidup hanyalah semacam rutinitas mekanistik dari input materi ke output materi. Lalu, dimanakah nilai kemanusiaan? Paradigma modern menjawab bahwa nilai kemanusian ada pada materi. Kenikmatan dan kepuasan pun ada pada materi. Akibatnya, manusia modern begitu antusias mengejar materi, sehingga pada titik tertentu manusia modern hampir sama seperti “spesies yang lain”, bahkan lebih rendah dari mereka.

            Abad modern melahirkan apa yang disebut dengan globalisasi. Globalisasi merupakan produk budaya modern (barat) yang berusaha untuk menjadikan dunia dalam satu harmoni kehidupan. Untuk mencapai harmoni tersebut terjadi berbagai pergulatan (pertentangan) peradaban. Globalisasi ini terus bergerak dan meliputi hampir seluruh segi kehidupan manusia mulai dari pemikiran, gaya, sampai pada budaya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa zaman modern akhirnya meniscayakan globalisasi, dan tidak bisa dihindari bahwa mereka yang kuat (kiblat peradaban modern) akan dengan mudah menyebarkan nilai-nilai budaya mereka.

            Dampak globalisasi tidak hanya terbatas pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi. Falsafah kehidupan modern tak luput menjangkiti segi keyakinan dan budaya di dalam masyarakat, tua, muda, bahkan anak-anak. Budaya konsumerisme, mengagumi materi fisik dan hedonisme “nafsu” yang dibawanya telah melebur dalam diri setiap pengagum modernisme. Norma-norma yang dibangun dalam pondasi modernisme menempatkan posisi manusia menjadi sangat sentral. Seakan-akan manusia menjadi pemain sekaligus hakim utama dalam kehidupan, berkehendak terhadap apa yang baik dan apa yang tidak baik. Padahal, apa yang baik menurut manusia bersifat relatif, dalam arti memiliki potensi bias karena merupakan paradigma yang perspektif, dan manusia di dunia ini tidak akan pernah (bisa) mengangguk dalam satu paradigma maupun satu perspektif. Akhirnya, manusia (dalam balutan modernisme) menjadi bebas bertindak karena manusia memiliki hak asasi manusia, yaitu “hak untuk berbuat apa saja”.

            Akuntansi sebagai sebuah “produk peradaban” tanpa dipungkiri muncul dalam pemikiran dan kerangka tersebut (arus modernisme barat). Akuntansi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan bisnis yang merupakan “urat nadi” kehidupan modern. Dalam kerangka modernisme, akuntansi akan dibentuk dengan pemikiran-pemikiran modern yang selanjutnya menempatkan akuntansi sebagai obyek yang tersusupi ideologi modern (barat). Pada titik ini akuntansi akan muncul dalam realitas modern dengan segala sifat dan ciri khasnya. Sebaliknya, jika akuntansi ini berangkat dari kerangka dan pemikiran yang lain, maka realitas akuntansi akan muncul dengan karakter dan sifat bahkan bentuk yang berbeda pula.

            Akuntansi konvensional yang telah lama digunakan mempunyai potensi mengubah terhadap lingkungan (sebagai subyek). Tanpa disadari harmonisasi sistem akuntansi akan berakibat pada bercampurnya karakter nilai bahkan mungkin akan menghilangkan nilai lokalitas di mana akuntansi konvensional itu tumbuh. Misalnya, sistem perbankan konvensional yang tentu saja dengan sistem akuntansi yang juga konvensional tidak cocok pada lingkungan masyarakat Islam. Belum lagi nilai-nilai inheren yang melekat padanya dapat berpotensi untuk “mengendalikan” individu, artinya ketika seorang individu masuk dalam lingkungan akuntansi (konvensional), maka tanpa disadari dia akan larut di dalamnya dan berperilaku sesuai dengan ciri dan karakter dari sistem tersebut.

            Menurut Triyuwono dalam (Futaqi, 2008) Akuntansi konvensional membawa konsep rasionalisasi dan nilai utilitarianisme (materi) yang muncul dalam konsep laba. Akuntansi konvensional sangat memperhatikan laba karena di sinilah “nilai jual”nya. Maka, orang-orang yang masuk dalam lingkaran sistem akuntansi konvensional sudah barang tentu sangat berorientasi untuk menyajikan laba yang membuatnya berada dalam posisi “aman”, artinya berbagai hal akan ditempuh untuk mencapai posisi “aman” tersebut. Di sinilah salah satu karakter menyimpang yang ditimbulkan oleh akuntansi konvensional pada diri manusia, yang dengan sengaja berpotensi mendorong untuk “mengahalalkan segala cara” demi laba.

 2.3       Dialektika Dalam Akuntansi

            Dialektika adalah Ilmu Pengetahuan tentang hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran. Sedangkan metode dialektis berarti investigasi dan interaksi dengan alam, masyarakat dan pemikiran, (Kuncoro, 2015). Metode dialektika menurut Socrates dalam (Kuncoro, 2015) merupakan metode atau cara memahami suatu dengan melakukan dialog. Dialog berarti komunikasi dua arah, ada seseorang berbicara dan ada seseorang lain yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan probelem yang ada.  Ada proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena mempertemukan ide yang satu dengan ide yang lain antara orang yang berdialog. Tujuannya mengembangkan cara berargumentasi agar posisi yang bersifat dua arah dapat diketahui dan diharapkan satu sama lain.

                  Metode dialektika menurut Hegel dalam (Kuncoro, 2015) adalah suatu metode atau cara memahami dan memecahkan persoalan atau problem berdasarkan tiga elemen yaitu tesa, antitesa dan sintesa. Tesa adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antitesa adalah suatu reaksi, tanggapan, ataupun komentar kritis terhadap tesa (argumen dari tesa). Dari dua elemen tersebut diharapkan akan muncul sintesa, yaitu suatu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berfikir yang dinamis dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang kontradiktif atau berhadapan sehingga dicapai kesepakatan yang rasional.Untuk mendapat pengetahuan yang dikemukakan benar atau logis ada tiga faktor yang diperhatikan yaitu memiliki pengetahuan (menguasai masalah), mengambil keputusan (menyampaikan pikiran dengan lancar), memberi pembuktian (argumentasi atas pendapat). Ketiga faktor diatas merupakan bagian dari filsafat yang disebut logika formal atau berpikir logik. Logika formal disebut juga logika minor atau dialektika.

            Metode dialektika Hegel dalam akuntansiterjadi pada penentuan teori akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori yang dipermasalahkan  adalah teori positif dan teori normative. Teori positif mulai berkembang sekitar tahun 1960-an yang dipelopori oleh Watt &Zimmerman, (Rolianto, 2013) menitik beratkan pada pendekatan ekonomi dan perilaku dengan munculnya hipotesis pasar efisien dan teori agensi. Teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebuah proses, yang menggunakan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan akuntansi serta penggunaan kebijakan akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori akuntansi positif pada prinsipnya beranggapan bahwa tujuan dari teori akuntansi adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktik-praktik akuntansi. Sedangkan teori normatif dianggap merupakan pendapat pribadi yang subjektif, sehingga tidak dapat diterima begitu saja dan harus dapat diuji secara empiris agar memiliki dasar teori yang kuat. Dalam praktik, para profesional dalam bidang akuntansi telah menyadari sepenuhnya bahwa teori akuntansi positif lebih cendrung diterapkan dibanding teori akuntansi normatif.

            Teori akuntansi positif merupakan studi lanjut dari teori akuntansi normatif karena kegagalan normatif dalam menjelaskan fenomena praktik yang terjadi secara nyata. Teori akuntansi positif mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan teori akuntansi. Teori akuntansi positif dapat memberikan pedoman bagi para pembuat kebijakan akuntansi dalam menentukan konsekuensi dari kebijakan tersebut. Teori akuntansi positif berkembang seiring kebutuhan untuk menjelaskan dan memprediksi realitas praktik akuntansi yang ada dalam masyarakat sedangkan akuntansi normatif lebih menjelaskan praktik akuntansi yang seharusnya berlaku.

Perbedaan akuntansi positif dan akuntansi normatif

  1. Perbedaan pendekatan dan dasar antara teori akuntansi menyebabkan dua taksonomi akuntansi. Pendekatan Teori Akuntansi Positif menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai Sains. Sedangkan pendekatan Teori Akuntansi Normatif menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai art. Yang keduanya sama sama diakui sebagai sarana pendekatan teori akuntansi.
  2. Teori Akuntansi Normatif yang berbentuk Praktik Akuntansi Berterima Umum (PABU) merupakan acuan teori dalam memberikan jalan terbaik untuk meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata yang merupakan fungsi pendekatan teori akuntasi positif. Tidak menutup kemungkinan, fakta yang ada di dunia nyata (praktek akuntansi) akan mempengaruhi Teori Akuntansi Normatif. Hubungan ini Sesuai dengan paham Dialektika Hegel. Dimana antitesa dan tesa akan menghasilkan sintesa. Dan sintesa akan menghasilkanantitesa.

            Teori akuntansi positif berkembang seiring kebutuhan untuk menjelaskan dan memprediksi realitas praktek-praktek akuntansi yang ada di dalam masyarakat. Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan fenomena akuntansi yiang diamati berdasarkan pada alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Dengan kata lain, Positive Accounting Theory (PAT) dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. PAT lebih bersifat deskriptif bukan preskiptif. Tidak seperti teori normative yang didasarkan pada premis bahwa manajer akan memaksimumkan laba atau kemakmuran untuk kepentingan perusahaan, teroi positif didasarkan pada premis bahwa individu selalu bertindak atasdasar motivasi pribadi (self seeking motives) dan berusaha memaksimumkan keuntungan pribadi. Dalam beberapa asumsi teori akuntansi positif berusaha menguji tiga hipotesis berikut :

  1. Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis)

Manajer perusahaan dengan bonus tertentu cenderung lebih menyukai metode yang meningkatkan laba periode berjalan. Pilihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai sekarang bonus yang akan diterima seandainya komite kompensasi dari dewan direktur tidak menyesuaikan dengan metode yang dipilih (Watts dan Zimmerman, 1990)

  1. Hipotesis hutang atau ekuitas (Debt/Equity Hypothesis)

Makin tinggi rasio hutang atau ekuitas perusahaan mkin besar kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba. Makin tinggi rasio hutang atau ekuitas makin dekat perusahaan dengan batas perjanjian atau peraturan kredit (Kalay, 1982). Makin tinggi batasan krdit makin besar kemungkinan penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer akan memiliki metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis (Watts dan Zimmerman, 1990).

  1. Hipotesis Cost Politik (Political Cost Hypothesis)

Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodik dibanding perusahaan kecil. Ukuran perusahaan merupakan ukuran variable proksi (proxsy) dan aspek politik. Yang mendasari hipotesi ini adalah asumsi bahwa sangat mahalnya nilai informasi bagi individu untuk menentukan apakah laba akuntansi betul-betul menunjukkan monopoli laba. Di samping itu, sangatlah mahal bagi individu untuk melaksanakan kontrak dengan pihak lain dalam proses politik dalam rangka menegakkan aturan hokum dan regulasi, yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan demikian individu yang rasional cenderuang memiliki untuk tidak mengetahui informasi yang lengkap.

            Teori normative berusaha untuk membenarkan tentang apa yang seharusnya dipraktekkan, misalnya pernyataan yang menyebutkan bahwa laporan keuangan seharusnya didasarkan pada metode pengukuran aktiva tertentu. Menurut Nelson (1973) dalam (Kuncoro, 2015) dalam literature akuntansi teori normative sering dinamakan teori apriori (artinya dari sebab ke akibat atau bersifat deduktif). Alasannya teori normative bukan dihasilkandari penelitian empiris, tetapi dihasilkan dari kegiatan “semi-research”. Teori normative hanya menyebutkan hipotesis tentang bagaimana akuntansi seharusnya dipraktekkan tanpa menguji hipotesis tersebut. Pada awal perkembangannya, teori akuntansi normative belum menggunakan pendekatan investigasi, dan cenderung disusun untuk menghasilkan postulat akuntansi. Perumusan akuntansi normative mencapai masa keemasan pada tahun 1950 dan1960an. Selama periode ini perumus akuntansi lebih tertarik pada rekomendasi kebijakan danapa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang sekarang dipraktekkan. Karena teori normatif dianggap merupakan pendapat pribadi yang subyektif maka tidak bisa diterima begitu saja, harus dapat diuji secara empiris agar memiliki dasar teori yang kuat. Pendukung teori ini biasanya menggambarkan system akuntansi yang dihasilkan sebagai sesuatu yang ideal, merekomendasikan penggantian system akuntansi cost histories dan pemakaian teori normatif oleh semua pihak. Seperti tulah dialektika yang terjadi dalam akuntansi.

2.4       Dimensi Manusia Dalam Rasionalitas Akuntansi

            Manusia adalah makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensi yang baik (EQ plus IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ). Namun, selama ini pendidikan akuntansi diakui atau tidak hanya terpaku untuk mengasah kecerdasan intelektualnya saja (Triyuwono,2010)dalam (Wordpres, 2014).

Kamayanti (2010) juga mengungkapkan hal yang serupa yaitu, “fokus rasionalitas pendidikan akuntansi ini membentuk ciri maskulinitas”. Sehingga tuntutan dari lingkungan sosial ini membentuk manusia, dengan sendirinya membentuk manusia yang hanya memahami ilmu dengan sudut pandang intelektualnya saja. Dampak pendidikan yang hanya berpusat pada kecerdasan akal saja dapat dilihat dari perilaku dan sifat manusia, dalam mengambil keputusan  terlalu mempertimbangkan berapa materi yang akan dikorbankan dan apa benefit yang akan didapat dari keputusan tersebut. Hal inilah yang membentuk calon-calon akuntan bercirikan rasionalis, antroposentris/egois, apatis, tidak peka keadaan sekitar (impersonality), objektif dan keringakan nilai-nilai spiritualitas. Secara umum, sifat yang dihasilkan adalah individualis, materialistis dan terpaku pada pemikiran yang logis.

            Pelajaran yang sangat penting adalah menyatunya dunia fisik dengan dunia psikis dan spiritual. Peradaban dunia  modern  selalu  mengakui  materi  sebagai “yang pusat”  dan  sebaliknya  memandang  remeh,  memarjinalkan, dan bahkan meniadakan sesuatu yang di pinggiran seperti dunia psikis (mental) dan spiritual. Pada umumnya manusia memahami akuntansi adalah suatu cara agar entitas dapat menghimpun kekayaan sebesar-besarnya, beranggapan bahwa yang lebih banyak bekerja berarti yang lebih banyak mendapatkan hasilnya, tanpa memikirkan pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan yang telah dilakukan. Setiawan dan Kamayanti (2012) mengutip dari Powell and Dimaggio (1997:63), Max Weber menyatakan bahwa rasionalisme menjadi penjara (iron cage) yang mengekang unsur kemanusiaan. Terbukti pernyataan Max Weber terjadi dalam pendidikan akuntansi, berdampak pada pemahaman siswa terhadap akuntansi. Segala sesuatu diukur dengan satuan uang, sehingga menghasilkan sifat materialistis. Bahkan ada pula siswa yang memahami bahwa akuntansi merupakan sebuah alat politis yang menjadikan perantara untuk memaksimalisasi kepentingan pihak-pihak tertentu.

            Hal yang menarik telah dipaparkan oleh Irianto mengenai praktik-praktik akuntansi yang berjalan selama ini tidak sedikit menimbulkan permasalahan. Irianto (2003, 2006) dalam La‟lang (2010) dalam (Wordpres. 2014) memaparkan dengan seksama hal ini. Sebut saja skandal kebangkrutan Enron yang turut menjadi skandal terbesar dalam sejarah akuntansi. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dengan trik-trik manipulasi yang tinggi dan tentu saja orang-orang ini merupakan orang bayaran  dari  mulai analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya. Ini disebabkan karena  adanya   unsur   kebohongan   yang  dilakukan   pada   sebuah   system terbuka terjadi pelanggaran terhadap kode etik berbagai profesi seperti akuntan, pengacara, dan lain sebagainya, dimana segelintir professional tersebut serakah dengan memanfaatkan ketidaktauan dan keawaman banyak orang, serta praktek persekongkolan tingkat tinggi. Ini tentu menunjukkan bahwa manusia sebagai pelaku sudah tidak lagi berada dalam koridor akhlak serta moralitas sebagai kehendak Tuhan sehingga hidup berdasarkan “takut akan Tuhan” mulai memudar sejalan dengan masa modernisme yang kian menjulang.

            Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia akuntansi sebagai salah satu aspek pendidikan, seakan terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan hingar bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan dan daya saing bangsa. Pendidikan akuntansi seolah tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan akuntansi lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil.

            Menurut Triyuwono (2009) dalam (Wordpres.com), angka-angka adalah salah satu bentuk logosentrisme dari akuntansi mainstream. Tanpa angka adalah suatu hal yang sangat mustahil bagi  akuntansi,  dan implikasinya adalah tanpa akuntansi kita tidak dapat menggambarkan keadaan perusahaan. Logosentrisme ini terutama dicirikan dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner (dualistik, dikhotomis) yang hierarkis, dan kedua ilmu pengetahuan positivistis yang mekanis, linier dan bebasnilai.   Dengan   demikian   dapat   dimengerti   bahwa   logosentrisme   sebagai produk moderenisme mempunyai ciri “penunggalan” melalui universaltas.  Konsekuensi  dari penunggalan ini adalahbahwa “sang lain” yang berada di luar dirinyaakan selalu dieliminasi, dan jika mungkin harus  dan  jika  mungkin  harus  “dibunuh”.  Dari  gambaran  diatas dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana bahwa akuntansi hanyalah sebuah “alat” bantu untuk mengkalkulasi angka-angka (baca: uang) yang nantinya berakhir pada pengambilan keputusan ekonomi.

            Setiap manusia mempunyai suara hati yang sejatinya menyuarakan kebenaran dalam bertingkah laku, tetapi suara hati tersebut bertentangan dengan mindset yang telah mengakar dan karena tuntutan keadaan. Kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, atau oleh apa pun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata. Bahkan kata ahli sufi Islam Jalaludin Rumi, “Mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indera penglihatan”. Menurut Cooper (1998) dalam Agustian (2005:40) dalam (Wordpres, 2014), “Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak, atau tidak dapat, di ketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.”

BAB III

PENUTUP

 3.1       Kesimpulan

            Rasionalitas, berasal dari kata “ rasio ” yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno, yang berarti kemampuan kognitif untuk memilah antara yang benar dan salah dari Yang Ada dan dalam Kenyataan.Menurut Weber, secara garis besar ada dua jenis rasionalitas manusia, yaitu pertama rasionalitas tujuan (Zwekrationalitaet) dan kedua rasionalitas nilai (Wetrationalitaet).Rasionalitas ini menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, dan religius. Ciri khas rasionalitas nilai ini adalah bersifat substantif, sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalitasnya terhadap nilai yang dihayati secara pribadi.

            Akuntansi sebagai sebuah “produk peradaban” tanpa dipungkiri muncul dalam pemikiran dan kerangka tersebut (arus modernisme barat). Akuntansi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan bisnis yang merupakan “urat nadi” kehidupan modern. Dalam kerangka modernisme, akuntansi akan dibentuk dengan pemikiran-pemikiran modern yang selanjutnya menempatkan akuntansi sebagai obyek yang tersusupi ideologi modern (barat).Pada titik ini akuntansi akan muncul dalam realitas modern dengan segala sifat dan ciri khasnya. Sebaliknya, jika akuntansi ini berangkat dari kerangka dan pemikiran yang lain, maka realitas akuntansi akan muncul dengan karakter dan sifat bahkan bentuk yang berbeda pula.Metode dialektika Hegel dalam akuntansi terjadi pada penentuan teori akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori yang dipermasalahkan  adalah teori positif dan teori normative.

Daftar Pustaka

Abu Bakar , Chaidir. 2013. Teori rasionalisasi habermas vs max weber. Artikel. Diakses pada 28 Oktober 2016. Pada http://andichaidirabubakar. blogspot.co.id/2013/10/teori-rasionalisasi-habermas-vs-max.html

Futaqi, Faruq Ahmad. 2008. Modernisme, akuntansi dan akuntansi syari’ah. Artikel.Diakses pada 28 Oktober 2016. Padahttp://arrahim.blogspot.co.id/2008/01/modernism-akuntansi-dan akuntandi.html

Kuncoro, Galih Yoga Wahyu. 2015. Dialektika. Filsafat Ilmu. Artikel. Diakses pada  30 Oktober 2016. Padahttp://galihyogawahyukuncoro.blogspot.co.id/2015/01/dialektika-filsafat-ilmu.html

Rolianto, Arifin. 2013. Teori Akuntansi Positif Dan Teori Akuntansi Normative. Artikel. Diakses pada 30 Oktober  2016.  Pada https://arifinrolianto. wordpress.com/2013/01/08/teori-akuntansi-positif-dan-normatif/

Sociologi Of Religion.2015 Diakses pada 28 Oktober 2016. Pada http://sociologiagamauin.blogspot.co.id/2015/09/makalah-rasionalitas-max-weber.html

WordPress.com. 2014.akuntansi antara spiritualisme dan pragmatism. Diakses pada 31 Oktober 2016 pada https://hfis.wordpress.com/tag/dimensi-spiritual-akuntansi/.

Creative accounting

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang

Akuntansi merupakan salah satu cabang ilmu yang tidak terlepas dari dunia bisnis. Dengan adanya ilmu akuntansi maka pembukuan keuangan menjadi lebih mudah dan lebih akurat.Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak pembukuan keuangan yang tidak sesuai dengan keuangan yang ada. Hal ini terjadi karena kekeliruan dari pembuatan laporan keuangan atau adanya kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Dalam melakukan penyusunan laporan keuangan perusahaan, seorang akuntan harus mengikuti aturan yang ada dalam pembuatan laporan keuangan, yaitu sesuai dengan aturan PSAK. Akan tetapi, dalam kenyataanya banyak perusahaan yang secara kreatif melakukan manipulasi data keuangan untuk mendapatkan respon yang baik dari beberapa kalangan. Hal ini disebut dengan akuntansi kreatif (Creatif Accounting). Akuntansi kreatif bukan hal yang baru dalam dunia akuntansi, karena banyak perusahaan yang melakukan hal tersebut.

Akuntansi kreatif oleh beberapa kalangan dianggap hal yang tidak etis karena memanipulasi data. Akan tetapi, kreatif akuntansi dalam pandangan teori akuntansi positif, sepanjang kreatif akuntansi tidak bertentangan dengan ptinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum tidak ada masalah yag harus dipersoalkan.

Banyak faktor yang menyebabkan perusahaan menggunakan kreatif akuntansi untuk mempertahankan eksitensi perusahaan ditengah persaingan yang sangat ketat sekarang ini. Oleh karena itu diperlukan cara-cara yang kreatif dalam penghitungan keuangan dalam dunia bisnis, walaupun itu sering dianggap hal yang kurang etis. Berdasarkan hal yang telah dijelaskan di atas maka penulis menyusun makalah dengan judul “Akuntansi Kreatif”.

  1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang di tarik ialah ialah :

  1. Bagaimana Konsep Akuntansi Kreatif?
  2. Apakah Tujuan Akuntansi Kreatif?
  3. Apakah Unsur-Unsur Akuntansi Kreatif?
  4. Apakah Penyebab Dan Pola Akuntansi Kreatif?
  5. Bagaimana Mendeteksi Dan Mencegah Akuntansi Kreatif ?
  6. Bagaimana Akuntansi Kreatif Dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan ?
  7. Bagaimana Pola Dan Teknik Dalam Akuntansi Kreatif ?
  8. Apakah Akuntansi Kreatif Legal Dan Etis ?
  1. Tujuan dan manfaat

Penulisan makalah ini bertujuan yaitu :

  1. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Akuntansi Kreatif
  2. Untuk Mengetahui Apakah Tujuan Akuntansi Kreatif
  3. Untuk Mengetahui Apakah Unsur-Unsur Akuntansi Kreatif
  4. Untuk Mengetahui Apakah Penyebab Dan Pola Akuntansi Kreatif
  5. Untuk Mengetahui Bagaimana Mendeteksi Dan Mencegah Akuntansi Kreatif
  6. Untuk Mengetahui Bagaimana Akuntansi Kreatif Dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan
  7. Untuk Mengetahui Bagaimana Pola Dan Teknik Dalam Akuntansi Kreatif
  8. Untuk Mengetahui Apakah Akuntansi Kreatif Legal Dan Etis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Konsep  Creative accounting

Banyak para pakar yang mengartikan creative accounting sebagai kegitan memanipulasi data keuangan di perusahaan. Tetapi, kata-kata creative accounting terdiri dari 2 kata yaitu ‘creative’ yang artinya kebolehan seseorang menciptakan ide baru yang efektif, dan kata ‘akuntansi’ itu artinya pembukuan tentang financial events yang senantiasa berusaha untuk setia kepada kondisi keuangan yang sebenarnya (faithful representation of financial events). Creative accounting menurut Amat, Blake dan Dowd (1999) adalah sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan. Sedangkan, Stolowy dan Breton (2000) menyebut creative accounting merupakan bagian dari ‘accounting manipulation’ yang terdiri dari ‘earning management’ , ‘income smoothing’ dan creative accounting itu sendiri. Sedangkan menurut Naser (1993) dalam Amat et.al. (1999) medefinisikan creative accounting sebagai berikut :

The process of manipulating accounting figures by taking advantage of loopholes in accounting rules and the choice of measurement and disclosure practices in them to transform financial statements from what they should be, to what prepares would prefer to see reported, …..and The process by which transactions are structured so as to produce the required accounting results rather than reporing transaction in neutral and consistent way.

Sehingga arti dari creative accounting yaitu akar dari sejumlah skandal akuntansi, dan banyak usulan untuk reformasi akuntansi biasanya berpusat pada analisis diperbarui modal dan faktor produksi yang benar akan mencerminkan bagaimana nilai tambah. Akuntansi kreatif dan manajemen laba merupakan eufemisme mengacu pada praktik akuntansi yang mungkin mengikuti surat aturan praktik akuntansi standar, tapi jelas menyimpang dari semangat peraturan tersebut. Stolowy dan Breton (2000) menyebut creative accounting merupakan bagian dari accounting manipulation yang terdiri dari earning management , income smoothing dan creative accounting itu sendiri.  Dalam pemahaman mengenai creative accounting ini bukan berarti akuntan yang memanfaatkan pemahaman akuntansi tersebut, tetapi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kekuatan untuk menggunakan creative accounting tersebut, seperti manajer, akuntan, pemerintah, asosiasi industri dan sebagainya.

2.2       TUJUAN ‘CREATIVE ACCOUNTING

Tujuan-tujuan seseorang melakukan creative accounting bermacam-macam, di antaranya adalah untuk pelarian pajak, menipu bank demi mendapatkan pinjaman baru, atau mempertahankan pinjaman yang sudah diberikan oleh bank dengan syarat-syarat tertentu, mencapai target yang ditentukan oleh analisis pasar, atau mengecoh pemegang saham untuk menciptakan kesan bahwa manajemen berhasil mencapai hasil yang cemerlang.

Motivasi materialisme merupakan suatu dorongan besar manajemen dan akuntan-akuntan melakukan creative accounting. Banyak perusahaan yang terjebak masalah creative accounting mempunyai sistem ‘executive stock option plan’ bagi eksekutif-eksekutif yang mencapai target yang ditetapkan. Secara umum, para eksekutif biasanya lebih mengenal perusahaan tempat mereka bekerja dibandingkan karyawan-karyawan di bawah mereka, sehingga para eksekutif ini dapat dengan mudah memanipulasi data-data dalam laporan keuangan (financial statement) dengan motivasi memperkaya diri mereka sendiri.

Adapun klasifikasi tindakan yang meliputi kecurangan laporan keuangan adalah sebagai berikut :

Pertama, sengaja distorsi laporan keuangan sebagai alat untuk bertindak curang dengan mengecoh pemakai atau kelompoknya tentang hasil usaha perusahaan.Dalam hal ini yang menerima keuntungan langsung adalah pihak perusahaan atau pelaku kecurangan. Adapun tujuan khusus dari tindakan ini adalah :

  1. Mendapatkan kredit, modal jangka panjang, atau tambahan modal investasi berdasarkan informasi keuangan yang didistorsi atau dihapus
  2. Menyembunyikan kinerja tidak baik dari perusahaan.
  3. Menghapus hutang pajak.
  4. Manipulasi harga saham.
  5. Menyembunyikan kinerja tidak baik oleh manajemen.

Kedua, sengaja distorsi laporan keuangan untuk penyamaran tindakan kecurangan.dalam hal ini yang diuntungkan tetap pihak perusahaan atau pelaku kecurangan. Adapun tujuan khusus dari tindakan ini adalah:

  1. Menyembunyikan penjualan fiktif atau harta milik dipalsukan.
  2. Menyembunyikan pembayaran yang tidak benar.
  3. Menyembunyikan tindakan penyelewangan dana atau harta.

2.3       UNSUR-UNSUR creative accounting

Menurut Charles W. Mulford & Eugene E. Comiskey membagi Creative accounting menjadi beberapa unsur, yaitu:

  1. Recognizing Premature or Fictitious Revenue

Mengakui penghasilan prematur atau penghasilan fiktif itu berbeda jika ditinjau dari sudut aggressive accounting.Untuk premature revenue, pengakuannya sudah sesuai dengan GAAP. Sementara itu, untuk fictitious revenue , penghasilan dicatat tanpa adanya penjualan yang terjadi.

Bentuk dari prematur revenue bisa berupa pengakuan penjualan dilakukan pada saat barang sudah dipesan, tapi belum dikirim (goods ordered, but not shipped) atau barang sudah dikirim, tapi belum dipesan (goods shipped, but not ordered). Sementara itu, contoh penjualan fiktif adalah backdated invoice, tanggal pengiriman yang diubah, atau sengaja salah mencatat penjualan. Cara mendeteksi penjualan prematur atau fiktif yaitu:

  1. Pahami kebijakan pengakuan pendapatan, termasuk perubahannya
  2. Cermati piutang usaha
  3. Cermati akun-akun yang mungkin digunakan untuk meng-offset penjualan prematur atau fiktif
  4. Review transaksi hubungan istimewa
  5. Perhatikan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan sesuai laporan
  6. Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies

Dalam kebijakan kapitalisasi yang agresif, perusahaan melaporkan beban atau rugi tahun berjalan sebagai aset.Akibatnya, pengakuan biaya tertunda dan laba naik.Selanjutnya, aset atau beban ditangguhkan tersebut diamortisasi selama beberapa tahun.Cara mendeteksi kebijakan aggressive capitalitation & extended amortization policies yaitu:

  • Pahami kebijakan kapitalisasi aset dan apakah aset yang dikapitalisasi tersebut melebih nilai pasar
  • Proporsikan total biaya pengembangan software yang dikapitalisasi dan tentukan apakah proporsi tersebut wajar
  • Cermati biaya bunga yang dikapitalisasi sehubungan dengan proyek konstruksi yang sudah berakhir
  • Cermati alasan yang mendasari pencatatan normal operating expense ke dalam asset
  1. Misreported Assets & Liailibities

Dalam banyak kasus, nilai aset overvalued dan/atau kewajiban undervalued dengan tujuan agar earning power menjadi lebih tinggi dan posisi keuangan lebih kuat. Dengan laba yang tinggi, otomatis saldo laba dan nilai ekuitas akan naik.Beberapa akun aktiva yang potensial dilaporkan overvalued adalah piutang usaha, inventori, investasi (yang diklasifikasikan dalam trading, held to maturity, atau available for sale). Akun kewajiban yang dicatat undervalued di antaranya adalah accrued expense payable, utang usaha, utang pajak, dan contingent liability.Cara mendeteksi misreported asset & liability yaitu:

  • Tandingkan prosentase perubahan piutang usaha dengan perubahan penghasilan untuk 4-6 triwulan terakhir
  • Pastikan bahwa pembentukan cadangan piutang tak tertagih cukup untuk menutup risiko inkolektibilitas
  • Cermati apakah persediaan yang overvalued tersebut disebabkan persediaan fiktif
  • Cermati apakah kasus overvalued inventory pernah terjadi sebelumnya
  • Cermati penurunan nilai pasar surat berharga yang held to maturity
  • Cermati trend yang terjadi untuk accrued expense payable
  • Hitung umur utang untuk 4-6 bulan terakhir
  • Review total utang pajak yang tercatat di neraca dengan beban pajak yang dicatat di laba rugi
  • Cermati kewajiban kontinjensi yang tidak dicatat di neraca
  1. Getting Creative with the Income Statement

Permainan angka-angka di laporan laba rugi terjadi pada cara mempercepat atau memperlambat pengakuan pendapatan dan biaya. Dalam hal ini laba diatur untuk beberapa periode pelaporan. Selain itu, penyajian laporan yang bisa berbentuk single step maupun step memungkinkan perusahaan memainkan angka-angka subtotal, klasifikasi akun, dan catatan laporan keuangan.Misalnya, unsur pendapatan usaha dilaporkan sebagai pendapatan di luar usaha atau sebaliknya, pengeluaran yang termasuk dalam harga pokok penjualan direklasifikasikan ke dalam kelompok akun beban operasi atau sebaliknya. Reklasifikasi demikian tentu saja akan mempengaruhi angka sub total laba kotor atau laba operasi yang nota bene sering dijadikan sebagai sumber informasi untuk pengambilan keputusan. Contoh lainnya yang termasuk dalam kreativitas akuntansi di laporan laba rugi terjadi dalam:

  1. Kelompok akun other expense/income yang seringkali di-netting. Perusahaan hanya melaporkan total other expense/income tanpa merinci detil dari kelompok akun tersebut.
  2. Penggunaan terminologi di dalam laporan laba rugi, seperti istilah restrukturisasi yang ternyata biaya restrukturisasinya mencakup penghapusan inventori, pembayaran pesangon dan biaya PHK, penghapusan aktiva, biaya relokasi, dan biaya penurunan nilai aktiva.
  3. Penentuan tingkat materialitas suatu transaksi. Dengan konsep materialitas ini, perusahaan dapat mengelompokkan transaksi yang sebetulnya material menjadi tidak material.
  4. Problems with Cash-flow Reporting

Seperti diuraikan sebelumnya dalam Share Price Effect, para investor tertarik dengan perusahaan yang punya earning power yang bagus dan sustainable.Dengan demikian, future cash flow-nya menjadi baik pula.Bagi para kreditur, dengan cash flow yang baik, utang piutang menjadi lancar.

Sudah menjadi hal yang umum bahwa arus kas bersih dari aktivitas operasi merupakan manifestasi operating income yang ada di laporan laba rugi.Arus kas bersih ini menjadi alat ukur utama tentang kemampuan perusahaan dalam mendapatkan sustainable cash flow.

Di dalam pelaporan arus kas menurut GAAP, arus kas terbagi menjadi arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas pembiayaan (financing) dan aktivitas investasi.Bentuk penyajian laporan arus kas sendiri terdiri dari indirect method dan direct method.Dalam indirect method, arus kas dari aktivitas operasi dihitung dari laba bersih yang disesuaikan dengan transaksi-transaksi non kas di laporan laba rugi. Sementara itu, dalam direct method arus kas dari aktivitas operasi ditampilkan berdasarkan transaksi-transaksi kas di laba rugi.

Di dalam praktiknya, arus kas dari aktivitas operasi hanya diketahui oleh segelentir pengguna laporan keuangan, tapi tidak diketahui oleh para investor maupun kreditur.Kedua stakeholder tersebut lebih fokus pada kinerja keuangan.Akibatnya, mereka cenderung menganggap bahwa laporan arus kasnya sudah benar.Pada kenyataannya, laporan arus kas, khususnya arus kas operasi, tidak terlepas juga dari creative accounting. Berikut ini adalah contohnya:

  1. Arus kas operasi memasukan unsur pembayaran pajak penghasilan (PPh), baik PPh Badan maupun PPh final.
  2. Operasi dalam penghentian (discontinued operation) juga dimasukkan dalam aktivitas operasi, padahal di dalam laba rugi discontinued operation tersebut dikeluarkan dari laba operasi.
  3. Biaya operasi yang dikapitalisasi dimasukkan sebagai arus kas dalam aktivitas investasi, padahal jika dibebankan pada tahun berjalan, masuk dalam arus kas operasi.

Untuk mendeteksi adanya creative accounting, laporan arus kas (setelah dikeluarkan unsur non recurring cash flow seperti discontinued operation) bisa menjadi alat yang efektif. Misalnya,

  1. transaksi fiktif seperti prematur revenue atau fictitious revenue tidak akan pernah muncul di laporan arus kas karena tidak melibatkan unsur kas; dan
  2. aggressive accounting dapat meningkatkan laba perusahaan, tapi arus kas dari aktivitas operasi tetap tidak berubah.

2.4       Penyebab Dan Pola creative accounting

Stolowy dan Breton (2000) menyebut creative accounting merupakan bagian dari ‘accounting manipulation’ yang terdiri dari ‘earning management’ , ‘income smoothing’ dan creative accounting itu sendiri. Dalam pemahaman mengenai creative accounting ini bukan berarti akuntan yang memanfaatkan pemahaman akuntansi tersebut, tetapi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kekuatan untuk menggunakan creative accounting tersebut, seperti manajer, akuntan, pemerintah, asosiasi industri dan sebagainya. Hal yang menyebabkan terjadinya creative accounting adalah karena adanya kebijakan dari perusahaan yang menyebabkan banyak pihak manjemen yang melakukan manipulasi data untuk mendapatkan keuntungan yang lebih khususnya manajer perusahaan. Manajer dalam bereaksi terhadap pelaporan keuangan menurut Watt dan Zimmerman (1986) digolongkan menjadi tiga buah hipotesis, yaitu :

  1. Bonus plan hyphotesis

Healy (1985) dalam Scott (1997) menyatakan bahwa manajer seringkali berperilaku seiring dengan bonus yang akan diberikan. Jika bonus yang diberikan tergantung pada laba yang akan dihasilkan, maka manajer akan melakukan creative accounting dengan menaikkan laba atau mengurangi laba yang akan dilaporkan. Pemilik biasanya menetapkan batas bawah laba yang paling minim agar mendapatkan bonus. Dari pola bonus ini manajer akan menaikkan labanya hingga ke atas batas minimal tadi. Tetapi jika pemilik perusahaan membuat batas atas untuk mendapatkan bonus, maka manajer akan berusaha mengurangkan laba sampai batas atas tadi dan mentransfer laba saat ini ke periode yang akan datang. Hal ini dia lakukan karena jika laba melewati batas atas tersebut manajer sudah tidak mendapatkan insentif tambahan atas upayanya memperoleh laba di atas batas yang ditetapkan oleh pemilik perusahaan. Formula bonus yang digunakan Healy didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan terdiri atas manajer yang menghindari resiko (risk averse) sehingga manajer akan memilih discretionary accrual untuk  menurunkan earning ketika earning sebelum keputusan accrual lebih kecil dari bogey (batas bawah) atau melebihi cap (batas atas) menaikkan earning ketika earning sebelum keputusan accrual melebihi bogey tetapi tidak melebihi cap. Implikasi yang dikemukakan oleh Healy adalah bahwa manajer akan berperilaku oportunistik menghadapi intertemporal choice.

  1. Debt-covenant hyphotesis

Penelitian dalam bidang teori akuntansi positif juga menjelaskan praktek akuntansi mengenai bagaimana manajer menyikapi perjanjian hutang. Manajer dalam menyikapi adanya pelanggaran atas perjanjian hutang yang telah jatuh tempo, akan berupaya menghindarinya dengan memilih kebijakan-kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya. Fields, Lys dan Vincent (2001) mengemukakan ada dua kejadian dalam pemilihan kebijakan akuntansi, yaitu pada saat diadakannya perjanjian hutang dan pada saat jatuh temponya hutang.Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk melindungi pemberi pinjaman dari tindakan-tindakan manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti pembagian deviden yang berlebihan, atau membiarkan ekuitas berada di bawah tingkat yang telah ditentukan. Semakin cenderung suatu perusahaan untuk melanggar perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat mentransfer laba periode mendatang ke periode berjalan karena hal tersebut dapat mengurangi resiko ‘default’. Sweeney (1994) dalam Scott (1997) menyatakan perilaku ‘memindahkan’ laba tersebut dilakukan oleh perusahaan bermasalah yang terancam kebangkrutan dan ini merupakan strategi untuk bertahan hidup.

  1. Political-cost hyphotesis.

Dalam pandangan teori agensi (agency theory), perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar melakukannya sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan tersebut.Perusahaan besar menghadapi biaya politis yang lebih besar karena merupakan entitas yang banyak disorot oleh publik secara umum.Para karyawan berkepentingan melihat kenaikan laba sebagai acuan untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui kenaikan gaji. Pemerintah melihat kenaikan laba perusahaan sebagai obyek pajak yang akan ditagihkan. Sehingga pilihan yang dihadapi oleh organisasi adalah dengan cara bagaimana lewat proses akuntansi agar laba dapat ditampilkan lebih rendah. Hal ini yang seringkali disebut dengan political cost hyphoyesis (Watts dan Zimmerman: 1986)

2.5  CARA MENDETEKSI dan MENCEGAH  KECURANGAN AKUNTANSI dalam PRAKTIK CREATIVE ACCOUNTING

creative accounting memiliki dampak yang kurang baik untuk penusahaan baik itu pemilik perusahaan tersebut maupun investor yang ingin menanamkan modalnya ke perusahaan tersebut. Ada beberapa metode dan carayang bisa untuk mengetahui adanya creative accounting dan cara mencegahnya.

Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua pihak yang mendasarkan keputusannya atas informasi dalam laporan keuangan  (financial statement) tersebut. Oleh karena  itu akuntan publik harus bisa menccegah dan mendeteksi lebih dini agar tidak terjadi fraud. Untuk mengetahui adanya fraud, biasanya ditunjukkan oleh timbulnya gejala-gejala (symptoms) berupa red flag (fraud indicators), misalnya perilaku tidak etis manajemen.Red  flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan (fraud) yang terjadi.

Hasil penelitian Wilopo (2006) membuktikan serta mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diturunkan dengan meningkatkan kefektifan pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, moralitas manajemen, serta menghilangkan asimetri informasi. Hasil penelitian Wilopo tersebut juga  menunjukkan bahwa  dalam upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi memerlukan usaha yang menyeluruh, tidak secara partial. Menurut Wilopo, upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi, antara lain:

  • Mengefektifkan pengendalian internal, termasuk penegakan hukum.
  • Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian.
  • Pelaksanaan good governance.
  • Memperbaiki moral dari pengelola perusahaan, yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan, negara dan masyarakat.

The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu:

  • Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).
  • Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent financial reporting.
  • Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.
  • Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.

Mulfrod & Comiskey (2002) menulis buku terkait dengan creative accounting yang berjudul “The Financial Numbers Game: Detecting Creative accounting Practices”. Buku tersebut meskipun lebih difokuskan bagi para investor sebagai pembelajaran untuk mengetahui secara cepat adanya kecurangan akuntansi (fraudulent accounting), namun perlu diketahui juga oleh auditor. Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko terdapat  fraudulent financial reporting di perusahaan, antara lain:

  • Terdapat kelemahan dalam pengendalian intern (internal control).
  • Perusahaan tidak memiliki komite audit.
  • Terdapat hubungan kekeluargaan (family relationship) antara manajemen  (Director) dengan karyawan perusahaan.

Klasifikasi dari  Creative accounting Practices menurut Mulfrod & Comiskey, terdiri dari :

  1. Pengakuan pendapatan fiktif (recognizing Premature or Ficticious Revenue).
  2. Kapitalisasi yang agresif dan Kebijakan amortisasi yang terlalu lebar (Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies).
  3. Pelaporan keliru atas Aktiva & Utang (Misreported Assets and Liabilities).
  4. Perekayasaan Laporan Laba Rugi  (Creative with the Income Statement).
  5. Timbul masalah atas pelaporan Arus Kas (Problems with Cash-flow Reporting).

Menurut laporan dari The National Commission on Fraudulent Financial Reporting, pencegahan (prevention)  dan pendeteksian (detection) awal atas fraudulent financial reporting harus dimulai saat penyiapan laporan keuangan.

Rezaee (2002), dalam bukunya yang berjudul “Financial Statement Fraud: Prevention and Detection”, membahas cukup mendalam tentang teknik untuk mencegah dan mendeteksi adanya fraud dalam laporan keuangan. Dalam buku tersebut dijelaskan kasus kolapsnya enron di Amerika Serikat, yang menghebohkan kalangan dunia usaha secara jelas dan lengkap, termasuk adanya praktek kolusi.

Salah satu cara untuk mencegah timbulnya fraud yang diakibatkan kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik adalah pengaturan rotasi auditor (akuntan publik). Sesuai Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK.06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik tertanggal 21 Agustus 2003, telah diatur tentang pembatasan dan rotasi terhadap akuntan publik. Pasal 6 ayat 4  Kepmenkeu tersebut dinyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama untuk lima tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut-turut.

  • Bagaimana Akuntansi Kreatif Dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan

Berdasarkan makna dari kata ‘creative’ berarti kebolehan seseorang menciptakan ide baru yang efektif, dan kata ‘accounting’ itu artinya pembukuan tentang financial events yang senantiasa berusaha untuk setia kepada kondisi keuangan yang sebenarnya (faithful representation of financial events). Jadi creative accounting‟ sebenarnya adalah euphemism dari sistem pelaporan keuangan yang tidak setia pada kondisi keuangan yang sebenarnya yang dibuat dengan sengaja untuk mencapai suatu tujuan tertentu.  Dalam pandangan orang awam creative accounting dianggap tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi sehingga menyesatkan perhatiannya. Tetapi dalam pandangan teori akuntansi positif, sepanjang creative accounting‟ tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang harus dipersoalkan. Asalkan tidak ada asimetri informasi antara pelaku creative accounting dan pengguna informasi keuangan.

Creative accounting menurut Amat, Blake dan Dowd (1999) adalah sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan.  Creative accounting dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu pengetahuan dalam hal praktek akuntansi yang buruk, karena cenderung mereduksi reliabilitas informasi keuangan. Karena manajer memiliki asimetri informasi, yang bagi pihak di luar perusahaan sangat sulit diketahui, maka memaksimalkan keuntungan dengan creative accounting akan selalu ada. Masalah sebenarnya dalam akuntansi kreatif sebagai sebuah ilmu pengetahuan ialah tidak diberikannya pengungkapan yang transparan secara menyeluruh tentang proses pertimbangan-pertimbangan dalam penentuan kebijakan akuntansi (accounting policy) sehingga menimbulkan tindakan kecurangan yang terjadi. Hal ini bertentangan dengan  hakikat dari ilmu pengetahuan yang memberikan suatu makna akan kebenaran yang hakiki. Akibatnya, output informasi dalam bentuk laporan keuangan dianggap masih memiliki keterbatasan mendasar sehingga belum memadai untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour) para manajer terjadi akibat adanya asimetri informasi dalam penyajian laporan keuangan tidak terlepas dari pertimbangan konsekuensi ekonomi. Perhatian kita mungkin diarahkan bagaimana mendorong keterbukaan informasi secara lebih luas sehingga  informasi bukanlah sesuatu yang baru untuk diumumkan kepada khalayak. Karena dalam kerangka keterbukaan yang menyeluruh sebenarnya creative accounting, tidak akan berpengaruh kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi. Karena semua pihak akan mempunyai informasi yang sama dan tidak ada asimetri informasi yang terjadi.

Merujuk agency theory, output informasi badalm bentuk laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggungjawaban mereka kepada principal. Karena manajemen terlibat secara langsung dalam kegiatan usaha perusahaan maka manajemen memiliki asimetri informasi dengan melaporkan segala sesuatu yang memaksimumkan utilitasnya. Creative accounting sangat mungkin dilakukan oleh manajemen, karena manajemen dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan leluasa untuk memilih alternatif metode akuntansi. Manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan merekayasa laba (earning management), karena laba seringkali menjadi fokus perhatian para pihak eksternal yang berkepentingan.

2.7       Pola Dalam Akuntansi Kreatif

Berbagai macam pola yang dilakukan dalam rangka creative accounting menurut Scott (1997) sebagai berikut:

  1. Taking Bath, atau disebut juga ‘big bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen melakukan pembersihan diri dengan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
  2. Income minimization. Cara ini mirip dengan ‘taking bath’ tetapi kurang ekstrem. Pola ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak yang berkepentingan (aspek political-cost). Kebijakan yang diambil dapat berupa write-off atas barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan biaya iklan, biaya riset dan pengembangan, metode successfull-efforts untuk perusahaan minyak bumi dan sebagainya. Penghapusan tersebut dilakukan bila dengan teknik yang lain masih menunjukkan hasil operasi yang kelihatan masih menarik minat pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan dari penghapusan ini adalah untuk mencapai suatu tingkat return on assets yang dikehendaki.
  3. Income maximization. Maksimalisasi laba dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, dimana laba yang dilaporkan tetap dibawah batas atas yang ditetapkan.
  4. Income smoothing. Perataan laba merupakan cara yang paling populer dan sering dilakukan. Perusahaan-perusahaan melakukannya untuk mengurangi volatilitas laba bersih. Perusahaan mungkin juga meratakan laba bersihnya untuk pelaporan eksternal dengan maksud sebagai penyampaian informasi internal perusahaan kepada pasar dalam meramalkan pertumbuhan laba jangka panjang perusahaan.
  5. Timing revenue and expense recognition. Teknik ini dapat dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu berkenaan dengan saat atau timing suatu transaksi seperti adanya pengakuan yang prematus atas penjualan.

2.7       Legalitas dan Etisitas Creative accounting

Legalitas dan etisitas pada creative accounting merupakan hal yang sangatlah penting. Hal ini penting karena dapat memicu timbulnya tindakan yang tercela atau yang sering dikenal dengan moral hazard. Menurut Velasquez (2002) dalam Sulistiawan (2010, 20), salah satu karakteristik utama dalam standar moral untuk menentukan etis atau tidaknya suatu perbuatan adalah perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain. Praktik creative accounting menurut Sulistiawan (2010, 21) dapat dikatakan etis jika dikomunikasikan kepada pembaca dan pengguna laporan keuangan. Sedangkan dikatakan tidak etis apabila tidak ada pengungkapan yang memadai tentang perubahan metode akuntansi dan dampaknya terhadap laporan keuangan.

Masalah utama dalam creative accounting yang dikemukanan oleh Sulistiawan (2010:25) ada pada kecenderungan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya sendiri. Alasannya, karena manusia cenderung memanfaatkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki guna mendapatkan tujuannya masing-masing. creative accounting mempunyai banyak konsekuensi. Dalam perspektif ekonomi, creative accounting dipengaruhi oleh kerangka ekonomi yang bertujuan untuk self-interset. Hal ini mungkin legal dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum. Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah creative accounting memang sesuatu yang benar untuk dilakukan? Apakah maksud dan tujuan creative accounting sehingga moral judgment-nya tergantung kepada tujuan creative accounting itu sendiri. Persepsi ini harus diluruskan agar tidak menjadikan bahwa creative accounting menjadi hal yang pro dan kontra.

Dalam pandangan orang beberapa pakar creative accounting dianggap tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi sehingga menyesatkan perhatiannya. Tetapi dalam pandangan teori akuntansi positif, sepanjang creative accounting tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang harus dipersoalkan. Asalkan tidak ada asimetri informasi antara pelaku creative accounting dan pengguna informasi keuangan. Perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour) para manajer terjadi akibat adanya asimetri informasi dalam penyajian laporan keuangan tidak terlepas dari pertimbangan konsekuensi ekonomi. Perhatian kita mungkin diarahkan bagaimana mendorong keterbukaan informasi secara lebih luas sehingga inside information bukanlah sesuatu yang berbeda untuk diumumkan kepada masyarakat umum. Karena dalam kerangka keterbukaan yang menyeluruh sebenarnya creative accounting, tidak akan berpengaruh kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi. Karena semua pihak akan mempunyai informasi yang sama dan tidak ada asimetri informasi lagi. Sekali lagi, pentingnya mendorong keterbukaan dalam rangka good governance akan membawa dampak kepada ketersediaannya informasi sehingga akan mengeliminasi dan mengurangi dampak creative accounting.

 

BAB III

KESIMPULAN

Creative accounting merupakan hal yang sering dilakukan oleh pihak internal diperusahaan bukan hanya untuk memanipulasi data yang ada akan tetapi juga untuk menyelamatkan perusahaannya. Akan tetapi, ada faktor yang menyebabkan memanipulasi data dilakukan oleh perusahaaan untuk mendapatkan respon yang positif dari beberapa pihak dan keuntungan baik itu untuk pihak internal perusahaan maupun untuk umum.

Dalam melakukan kecurangan memanipulasi data ada banyak cara untuk mendeteksinya dan mencegahnya. Hal itu, dapat dilakukan dengan mengevaluasi ulang data yang ada dan memeriksa kembali sehingga kecurangan yang ada dapat terdeteksi dan dicegah. Sehingga cara creative accounting tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu hanya untuk keuntungan pribadinya bukan untuk kelangsungan perusahaan dan pemegang saham perusahaan.

Creative accounting memiliki dampak yang kurang baik untuk perusahaan baik itu pemilik perusahaan tersebut maupun investor yang ingin menanamkan modalnya ke perusahaan tersebut. Upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi yaitu mengefektifkan pengendalian internal termasuk penegakan hukum, perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian, pelaksanaan good governance, memperbaiki moral dari pengelola perusahaan, yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan, negara dan masyarakat.

Tujuan-tujuan seseorang melakukan creative accounting bermacam-macam, di antaranya adalah untuk pelarian pajak, menipu bank demi mendapatkan pinjaman baru, atau mempertahankan pinjaman yang sudah diberikan oleh bank dengan syarat-syarat tertentu, mencapai target yang ditentukan oleh analis pasar, atau mengecoh pemegang saham untuk menciptakan kesan bahwa manajemen berhasil mencapai hasil yang cemerlang.

Motivasi materialisme merupakan suatu dorongan besar manajemen dan akuntan-akuntan melakukan creative accounting. Banyak perusahaan yang terjebak masalah creative accounting mempunyai sistem „executive stock option plan‟ bagi eksekutif-eksekutif yang mencapai target yang ditetapkan. Secara umum, para eksekutif biasanya lebih mengenal perusahaan tempat mereka bekerja dibandingkan karyawan-karyawan di bawah mereka, sehingga para eksekutif ini dapat dengan mudah memanipulasi data-data dalam laporan keuangan (financial statement) dengan motivasi memperkaya diri mereka sendiri

DAFTAR PUSTAKA

Amat, Oriol and Black, John and Dowds, Jack, (1999). The Ethiccs of Creative Accounting, Economic Working Paper.

Muh. Arief Efendi. (2006). Fraudulent Financial Reporting : Tanggung Jawab Auditor Independen, Makalah Seminar/Kuliah Umum di Universitas Internasional Batam.

Scott, William R., (2003). Financial Accounting Theory, Toronto, Ontario : Prentice Hall. Inc,3rd edition.

Sulistiawan, Dedhy., Yeni, Januarsi., dan Liza Alvia. 2011. Creative Accounting: Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.

Watt, Ross.L and Zimmerman, Jerold L. 1986. Positive Accounting Theory , Prentice Hall, New Jersey.

Akuntansi Manajemen Di Sektor Publik

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Akuntansi manajemen sektor publik sangat dibutuhkan dalam pengelolaan organisasi sektor publik.Akuntansi manajemen memberikan informasi-informasi tidak hanya informasi keuangan tetapi juga informasi secara keseluruhan. Akuntansi manajemen membantu organisasi sektor publik dalam proses perencanaan dan pengendalian. Pada zaman globalisasi yang semakin kompleks permasalahan yang muncul, maka organisasi sektor publik harus bisa menyesuaikan diri.Dengan adanya akuntansi manajemen maka bisa membantu organisasi dalam pencapaian tujuannya dan membantu organisasi membangun hubungan vauk antar bagian dalam organisasi. Proses perencanaan bisa memberikan gambaran yang jelas tentang target yang akan dicapai organisasi.

Penerapan akuntansi manajemen sektor publik merupakan langkah untuk mengelola semua sumber daya dalam organisasi.Organisasi sektor publik merupakan organisasi yang berusaha memberikan pelayanan kepada publik.Supaya publik tidak kecewa maka pihak intern organisasi harus dikelola dengan baik terlebih dahulu.Dengan akuntansi manajemen membantu pihak intern untuk mendapatkan kejelasan tugas.Selain itu juga membantu organisasi dalam melakukan pengendalia.Pengendalian dibutuhkan untuk menjammin tujuan organisasi yang telah diterapkan bisa tercapai.

Akuntansi manajemen sektor publik berfungsi sebagai penyedia informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik.Pengaruh aspek-aspek tersebut sangat besar pada organisasi sektor publik.Akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik berperan dalam merencanakan strategi, memberikan informasi biaya, penilaian investasi, penganggaran, dan penentuan biaya pelayanan dan tarif pelayanan.Sehingga dengan adanya akuntansi manajemen seluruh kegiatan dalam organisasi sektor publik dapat dikelola dengan baik.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Akuntansi Manajemen

          Akuntansi manajemen merupakan bagian  dari suatu sistem pengendalian managemen yang integral. Institut Of Management Accountants (1981) mendefinisikan Akuntansi manajemen sebagai suatu proses pengidentifikasian, pengukuran, pengakumulasian, penganalisaan, penyiapan, penginterpretasi dan pengkomunikasian informasi finansial yang digunakan oleh manajemen untuk perencanaan, evaluasi, dan pengendalian organisasi serta menjamin bahwa, sumber daya digunakan secara tepat dan akuntabel.

Chartered institute of management accountants mendefinisikan akuntansi manajemen sebagai suatu bagian integral dari manjemen yang terkait dengan pengidentifikasiaan dan pengintepretasian informasi yang digunakan untuk :

  1. Perumusan strategi
  2. Perencanaan dan pengendaliaan aktifitas
  3. Pengambilan keputusan
  4. Pengoptimalan sumber daya
  5. Pengungkapan (disclosure) kepada shareholders dan pihak luar organisasi
  6. Pengungkapan kepada karyawan, dan
  7. Perlindungan asset

Baik Institute Of Manajement Accountants maupun Chartered Intitute  Of  Manajement Accountants sama-sama menyatakan bahwa akuntansi manajemen merupakan bagian yang integral dari sistem pengendalian manajemen. Oleh karena itu akuntansi manajemen merupakan bagian yang integral maka pengembangan akuntansi manjemen tidak dapat dilakukan secara parsial dan terisolasi dari sistem yang lain.

Pada prinsipnya akuntansi manajemen sektor publik tidak banyak berbeda dengan prinsip akuntansi manajemen yang diterapkan pada sektor swasta.Prinsip-prinsip akuntansi manajemen yang biasa digunakan pada organisasi sektor swasta seperti manajemen strategik dan manajemen biaya pada dasarnya dapat diterapkan di sektor publik.Akan tetapi harus diingat bahwa sektor publik memiliki perbedaan sifat dan karakteristik dengan sektor swasta, sehingga penerapan teknik akuntansi Manajemen sektor swasta tidak dapat diadopsi secara langsung tanpa dimodifikasi.Fokus bahasan akuntansi sektor publik adalah mengenai peran akuntansi sebagai penyedia informasi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor publik.
Akuntansi manajemen sektor publik berbeda dengan akuntansi keuangan.Akuntansi manajemen sektor publik terkait dengan pemberian informasi kepada pihak intern organisasi, sedangkan akuntansi keuangan terkait dengan pelaporan dan pengkomunikasian informasi kepada pihak eksternal organisasi. Akuntansi manajemen cenderung memberikan laporan yang sifatnya prospektif yaitu digunakan untuk perencanaan dimasa yang akan datang sedangkan akuntansi keuangan memberikan infomasi yang bersifat laporan yang historis dan retrosprektif yaitu berupa laporan kinerja masa lalu.

  1. Akuntansi Sebagai Alat Perencanaan Organisasi

Dalam hal perencanaan organisasi, akuntansi manajemen berperan dalam pemberian informasi historis dan prospektif untuk memfasilitasi perencanaan. Proses perencanaan juga melibatkan aspek perilaku yaitu partisipasi dalam pengembangan sistem perencanaan, penetapan tujuan dan pemilihan alat yang paling tepat untuk memonitor perkembangan pencapaiaan tujuan.
Perencanaan organisasi sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi keadaan dimasa yang akan datang. Bagi tiap-tiap jenis organisasi, sistem perencanaan berbeda-beda tergantung pada tingkat ketidakpastian dan kestabilan lingkungan yang mempengaruhi.Semakin tinggi tingkat ketidakpastian dan ketidakstabilan lingkungan yang dihadapi organisasi, maka diperlukan sistem perencanaan yang semakin kompleks dan canggih.

Dalam organisasi sektor publik, lingkungan yang mempengaruhi sangat heterogen.Faktor politik dan ekonomi sangat dominan dan mempengaruhi tingkat kestabilan organisasi. Informasi akuntansi diperlakukan untuk membuat prediksi-prediksi dan estimasi mengenai kejadian ekonomi yang akan datang dikaitkan dengan keadaan ekonomi dan politik saat ini.
Sementara itu tingkat ketidakpastian atau turbulensi yang dihadapi sektor publik di masa-masa yang mendatang akan semakin tinggi. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pesatnya teknologi informasi yang merambah ke seluruh sektor, termasuk sektor publik.

Akuntansi sebagai alat perencanaan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :

  1. Informasi sifatnya rutin ataukah ad hoc

Informasi sifatnya rutin diperlukan untuk perencanaan yang regular, misalnya laporan keuangan bulanan, triwulan, semesteran ataukah tahunan.Sementara itu organisasi sektor publik seringkali menghadapi masalah yang sifatnya temporer dan membutuhkan informasi yang segera. Untuk melakukan perencanaan yang temporer diperlukan informasi yang sifatnya ad hoc

  1. Informasi kuantitatif ataukah kualitatif.
  2. Informasi disampaikan melalui saluran formal ataukah informal

Mekanisme formal misalnya melalui rapat-rapat dinas, rapat-rapat komisi dan sebagainya. Pada organisasi sektor publik, saluran informasi lebih banyak bersifat formal, sedangkan mekanisme informal relatif jarang dilakukan.Hal tersebut karena adanya batasan transparasi dan akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh lembaga-lembaga publik, sehingga perencanaan tidak dapat dilakukan secara personal atau hanya melibatkan beberapa orang saja.

  1. Akuntansi Sebagai Alat Pengendalian Organisasi

Pola pengendalian tiap organisasi berbeda-beda tergantung pada jenis dan karakteristik organisasi. Organisasi bisnis karena sifatnya yang berorientasi pada perolehan laba maka alat pengendaliannya lebih banyak bertumpu pada mekanisme negosiasi (negotiated bargain).
Organisasi sektor publik sifatnya tidak mengejar laba serta adanya pengaruh politik yang besar, maka alat pengendaliannya lebih banyak berupa peraturan birokrasi.Terkait dengan pengukuran kinerja, terutama pengukuran ekonomi, efisiensi dan efektivitas (value for money) akuntansi manajemen memiliki peran utama dalam pengendaliaan organisasi yaitu mengkuantifikasikan keseluruhan kinerja terutama dalam ukuran moneter.

Fungsi utama informasi akuntansi pada dasarnya adalah pengendaliaan yang vital bagi organisasi karena akuntansi memberikan informasi yang bersifat kuantitatif.Informasi akuntansi umumnya dinyatakan dalam bentuk ukuran financial, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengintegrasiaan informasi dari tiap-tiap unit organisasi yang pada akhirnya membentuk gambaran kinerja organisasi secara keseluruhan.

Dalam memahami akuntansi sebagai alat pengendalian perlu dibedakan menggunakan informasi akuntansi sebagai alat pengendalian keuangan (finance control) dengan akuntansi sebagai pengendalian organisasi (Organizational Control).Pengendalian keuangan terkait dengan peraturan atau sistem aliran uang dalam organisasi khususnya memastikan bahwa organisasi memiliki likuiditas dan solvabilitas yang cukup baik.

Pengendalian organisasi memerlukan informasi yang lebih luas dibandingkan pengendalian keuangan.Informasi yang dibutuhkan lebih kompleks tidak sekedar informasi keuangan saja.Sebagai contoh dalam sebuah usulan investasi publik, informasi yang dibutuhkan untuk pengendalian keuangan adalah berupa prediksi aliran kas dan profitabilitas dari investasi tersebut.Sementara itu, untuk tujuan pengendalian organisasi dibutuhkan informasi yang lebih luas meliputi aspek ekonomi, sosial, dan politik dari investasi yang diajukan.

  1. Proses Perencanaan dan Pengendaliaan Manajerial Organisasi Sektor Publik

          Perencanaan dan pengendalian sebaiknya dipertimbangkan secara bersama-sama. Tanpa pengendalian, perencanaan tidak akan berarti karena tidak ada tindak lanjut (follow-up) untuk mengidentifikasi apakah rencana organisasi telah tercapai. Sebaliknya tanpa ada perencanaan, maka pengendalian tidak akan berarti karena tidak ada target atau rencana yang digunakan sebagai pembanding. Perencanaan dan pengendalian merupakan suatu proses yang membentuk suatu siklus, sehingga suatu tahap akan terkait dengan tahap yang lain dan terintegrasi dalam satu organisasi. Jones and Pendlebury (1996) membagi proses perencanaan dan pengendalian manajerial pada organisasi sektor publik menjadi 5 tahap, yaitu :

  1. Perencanaan tujuan dan sasaran dasar
  2. Perencanaan operasional
  3. Penganggaran
  4. Pengendaliaan dan pengukuran, dan
  5. Pelaporan, analisis, dan umpan balik
  1. Peran Akuntansi Manajemen Sektor Publik

          Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian organisasi.Inti akuntansi manajemen adalah perencanaan dan pengendalian. Peran akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik meliputi :

  1. Perencanaan strategik

       Pada tahap perencanaan strategik, manajemen organisasi membuat alternatif-alternatif program yang dapat mendukung strategi organisasi.Program-program tersebut diseleksi dan dipilih program yang sesuai dengan skala prioritas dan sumber daya yang dimiliki.Peran akuntansi manajemen adalah memberikan informasi untuk menentukan berapa biaya program (cost of program) dan berapa biaya suatu aktivitas (cost of activity), sehingga berdasarkan informasi akuntansi tersebut manajer dapat menentukan berapa anggaran yang dibutuhkan dikaitkan dengan sumber daya yang dimiliki.

       Untuk memberikan jaminan dialokasikannya sumber daya input secara ekonomis, efisien, dan efektif, maka diperlukan informasi akuntansi manajemen yang akurat, relevan, dan handal untuk menghitung besarnya biaya program, aktivitas, atau proyek. Sistem informasi akuntansi manajemen yang baik dapat mengurangi peluang terjadinya pemborosan, kebocoran dana, dan mendeteksi program-program yang tidak layak secara ekonomi. Keandalan sistem informasi akuntansi manajemen sangat penting dimiliki seiring dengan adanya paradigma baru organisasi pemerintah yang lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat dan kepentingan publik (putting the customer first).Akuntansi manajemen pada sektor publik dihadapkan pada tiga permasalahan utama yaitu efisiensi biaya, kualitas produk, dan pelayanan (cost, quality, and service).
Untuk dapat mendapatkan kualitas pelayanan publik yang tinggi dengan biaya yang murah, pemerintah harus mengadopsi sistem informasi akuntansi manajemen yang modern. Pada dasarnya organisasi publik juga dapat menerapkan teknik akuntansi manajemen yang diterapkan disektor swasta, seperti teknik activity-based costing, job costing, batch costing, standart costing dan sebagainya untuk menetukan biaya produk atau pelayanan. Memang terdapat sedikit perbedaan antara sektor swasta dengan sektor publik dalam hal penentuan biaya produk atau pelayanan (product costing). Hal tersebut disebabkan sebagian besar biaya pada sektor swasta cenderung merupakan engineered costs yang memiliki hubungan secara langsung dengan output yang dihasilkan, sementara biaya pada sektor publik sebagian besar merupakan discretionary costs yang ditetapkan di awal periode anggaran dan sering tidak memiliki hubungan langsung antara aktivitas yang dilakukan dengan output yang dihasilkan. Kebanyakan output yang dihasilkan di sektor publik merupakan intangible output yang diukur.

          Karena sebagian besar biaya yang terjadi disektor publik merupakan discretionary costs, maka peran manajer publik sangat penting dalam mengendalikan biaya. Akuntansi manajemen sektor publik sangat erat dengan proses pemilihan program, penentuan biaya, dan manfaat program serta penganggaran. Akuntansi manajemen sektor publik juga berfungsi untuk memfasilitasi dihasilkannya anggaran sektor publik yang efektif, efisien, dan ekonomis (value for money budget).

  1. Pemberian informasi biaya

       Biaya (cost) dalam konteks organisasi sektor publik dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu :

  1. Biaya input

Biaya input adalah sumber daya yang dikorbankan untuk memberikan pelayanan. Biaya input bisa berupa biaya tenaga kerja dan biaya bahan baku.

  1. Biaya output

Biaya output adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengantarkan produk hingga sampai ke tangan pelanggan. Pada organisasi sektor  publik output diukur dengan berbagai cara tergantung pada pelayanan yang dihasilkan. Sebagai misal untuk perusahaan transportasi massa, biaya mungkin diukur berdasarkan biaya per penumpang.

  1. Biaya proses.

Biaya proses dapat dipisahkan berdasarkan fungsi organisasi. Biaya diukur dengan mempertimbangkan fungsi organisasi, misalnya biaya departemen produksi, departemen personalia, biaya dinas-dinas, dan sebagainya.

    Akuntansi manajemen sektor publik memiliki peran yang strategis dalam perencanaan finansial terkait dengan identifikasi biaya-biaya yang terjadi.Dalam hal ini, akuntansi manajemen sektor publik membutuhkan cost accounting untuk pengambilan keputusan biaya.Akuntansi biaya pada sektor publik berperan untuk memberikan informasi mengenai pengeluaran publik yang dapat digunakan oleh pihak internal (pemerintah) dan pihak eksternal (masyarakat, DPRD, LSM, universitas, dan sebagainya) untuk perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan. Peran akuntansi manajemen dalam pemberian informasi biaya meliputi penentuan klasifikasi biaya, biaya apa saja yang masuk dalam kategori biaya rutin (recurrent expenditure) dan yang masuk kategori biaya modal (capital expenditure), controllable dan uncontrollable, biaya tetap dan variable, dan sebagainya. Informasi akuntansi manajemen diharapkan dapat membantu manajer publik dalam menentukan dan melaporkan biaya.
Proses penentuan biaya meliputi lima aktivitas, yaitu :cost finding, cost recording, cost analyzing, strategic cost reduction, dan cost reporting.

  1. Cost finding

Pada tahap cost finding, pemerintah mengakumulasi data mengenai biaya yang dibutukan untuk menghasilkan produksi atau jasa pelayanan.

  1. Cost Recording

Setelah berhasil dilakukan cost finding, tahap berikutnya adalah melakukan cost recording yang meliputi kegiatan pencatatan data kedalam sistem akuntansi organisasi.

  1. Cost analyzing

Setelah dilakukan pencatatan biaya, tahap berikutnya adalah melakukan analisis biaya, yaitu mengidentifikasi jenis dan perilaku biaya, perubahan biaya, dan volume kegiatan.Manajemen organisasi harus dapat menentukan pemicu biaya (cost driver) agar dapat dilakukan strategi efisiensi biaya.

  1. Strategic cost management

Setelah dilakukan analisis biaya, tahap berikutnya adalah menentukan strategi penghematan biaya agar tercapai value for money.

  1. Cost Reporting

Tahap terakhir adalah memberikan informasi biaya secara lengkap kepada pimpinan dalam bentuk internal report yang kemudian diagresikan ke dalam suatu laporan yang akan disampaikan kepada pihak eksternal.

  1. Penilaian investasi

       Akuntansi Manajemen dibutuhkan pada saat organisasi sektor publik hendak melakukan investasi, yaitu untuk menilai kelayakan investasi secara ekonomi dan finansial.Akuntansi manajemen diperlukan dalam penilaian investasi karena untuk dapat menilai investasi diperlukan identifikasi biaya, risiko, dan manfaat atau keuntungan dari suatu investasi. Faktor yang harus diperhatikan akuntan manajemen adalah tingkat diskonto, tingkat inflasi, tingkat risiko dan ketidakpastian (termasuk country risk dan political risk), dan sumber pendanaan untk investasi yang akan dilakukan.

       Penilaian investasi di sektor publik pada dasanya lebih rumit dibandingkan dengan di sektor swasta. Pada sekor swasta, terdapat beberapa teknik penilaian investasi, misalnya dengan menggunakan Net Present Value (NPV), Internal Rate Of Return(IRR), Accounting Rate Of Return (ARR) , Payback Period (PP), dan sebagainya.

       Teknik-teknik penilaian investasi yang digunakan di sektor swasta berbeda dengan sektor publik, hal ini dikarenakan sektor swasta berorientasi mengejar laba, sementara sektor publik tidak, disamping itu sulit ntuk mengeluarkan output yang dihasilkan, sehingga untuk menentukan keuntungan di masa depan dalam ukuran finansial sulit dilakukan.

       Penilaian investasi dalam organisasi sektor publik dilakukan menggunakan analisis biaya-manfaat (cost benefit).Menentukan biaya sosial dan manfaat sosial dalam satuan moneter sulit dilakukan, oleh karena itu untuk memudahkan, kemudian digunakan analisis efektivitas biaya (cost-effertiveness analysis).Penilaian investasi dengan menggunakan analisis efektivitas biaya menekankan pada seberapa besar dampak (outcome) yang dicapai dari suatu proyek atau investasi dengan biaya tertentu.

  1. Penganggaran

    Akuntansi manajemen berbicara tentang perencanaan dan pengendalian, sedangkan salah satu fungsi anggaran adalah untuk alat perencanaan dan pengendalian.Dengan demikian, akuntansi manajemen sangat erat hubungannya dengan penganggaran.

    Akuntansi manajemen berperan untuk memfasilitasi terciptanya anggaran publik yang efektif. Terkait dengan tiga fungsi anggaran , yaitu sebagai alat alokasi sumber daya publik, alat distribusi, dan stabilisasi, maka akuntansi manajemen merupakan alat yang vital untuk proses mengalokasikan dan mendistribusikan sumber dana public secara ekonomis, efisien, efektif, adil, dan merata.

  1. Penentuan Biaya Pelayanan (Cost of Services) dan Penentuan Tarif Pelayanan (Charging for Services )

    Akuntansi manajemen digunakan untuk menentukan berapa biaya untuk memberikan pelayanan dan tarif yang akan dibebankan pada pemakai pelayanan public, termasuk menghitung subsidi. Masyarakat menghendaki pemerintah memberikan pelayanan yang cepat, berkualitas, dan murah.Pemerintah yang berorientasi pada pelayanan publik harus merespon keluhan, tuntutan, keinginan masyarakat tersebut agar kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat semakin baik.

       Penentuan biaya pelayanan (cost of services) dan penentuan tarif (charging for service) merupakan satu rangkaian yang keduanya sama-sama membutuhkan informasi akuntansi.Sebagai contoh, pemerintah daerah harus dapat menentukan berapa biaya untuk membangun terminal bus atau stasiun kereta api yang tertib, aman dan nyaman serta biaya operasionalnya. Berdasarkan informasi tersebut pemerintah setempat dapat menentukan berapa tarif pelayanan yang akan dibebankan kepada pemakai jasa pelayanan terminal atau stasiun kereta api tersebut.

  1. Penilaian kinerja

       Penilaian kinerja merupakan bagian dari sitem pengendalian.Penilaian kinerja dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas organisasi dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.Dalam tahap penilaian kinerja, akuntansi manajemen berperan dalam pembuatan indikator kinerja kunci (key performance indicator) dan satuan ukur untuk masing-masing aktivitas yang dilakukan.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

       Akuntansi manajemen sektor publik memiliki kaitan yang erat dengan sistem pengendalian manajemen sektor publik. Sistem pengendalian manajemen sektor publik memiliki dua komponen, yaitu :

  1. Proses Pengendalian Manajemen, yang meliputi aktivitas, yaitu :
  2. Perencanaan
  3. Koordinasi
  4. Komunikasi informasi
  5. Pengambilan keputusan
  6. Motivasi
  7. Pengendalian, dan
  8. Penilaian kinerja
  9. Struktur Pengendalian Manajemen terkait dengan desain struktur organisasi yang tercermin dalam bentuk pusat-pusat pertanggungjawaban.Akuntansi manajemen sektor publik berfungsi sebagai penyedia informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta membantu memberi informasi untuk perencanaan dan pengendalian bagi manajer publik.Akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik berperan untuk merencanakan strategi, memberikan informasi biaya, penilaian investasi, penganggaran, dan penentuan biaya pelayanan (cost of service) dan tarif pelayanan (charging for service).

  

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo.2002 .Akuntansi Sektor Publik, Andi Yogyakarta, http://www.academia.edu/15687827/ASP_-_Akuntansi_Manajemen_Sektor_Publik

TEORI KONTINJENSI DI SEKTOR PUBLIK

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Suatu organisasi yang menjalankan sejumlah aktivitas memulai kegiatannya dengan melakukan proses perencanaan. Perencanaan dilakukan melalui aktivitas yang melibatkan individu-individu. Aktivitas inidividu ini diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi. Yang sering dilakukan adalah adanya kesadaran individu sebagai makhluk juga mempunyai keinginan-keinginan atau tujuan pibadi. Tujuan pribadi seseorang bisa selaras dengan tujuan organisasi, bisa juga tidak selaras. Ketidakselarasan tujuan mengakibatkan tujuan organisasi atau tujuan individu tidak tercapai. Untuk itu diperlukan suatu pengendali kerja sehingga tujuan individu bisa selaras dengan tujuan organisasi. Salah satu alat untuk mencapai hal tersebut adalah adanya sistem pengendalian manajemen yang baik.

Salah satu cara yang paling sering digunakan dalam pengendalian kegiatan organisasi adalah dengan merestrukturisasi kegiatan organisasi tersebut dengan memberi otoritas dan  pertanggungjawaban untuk berbagai tugas bagi manajer yang ada dan kelompok pegawai. Tetapi biasanya muncul kesulitan yaitu perhatian manajer hanya terfokus pada bagiannya saja dan berakibat pada pengabaian terhadap tugas-tugas yang memerlukan koordinasi dengan bagian lain yang ada di struktur organisasi.

Pendekatan dalam memandang desain struktur formal organisasi telah diformalisasikan dengan pendekatan teori kontijensi. Teori kontijensi diperlukan dalam merancang sistem pengendalian. Hal ini disebakan karena struktur itu sendiri yang merupakan mekanisme awal dari akuntansi manajemen. Teori kontijensi akuntansi manajemen ini menunjukkan suatu upaya dalam penentuan sistem pengendalian yang paling memungkinkan atas seperangkat keadaan yang ada pada suatu organisasi.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

  1. Apakah yang dimaksud dengan teori kontinjensi dan bagaimana pandangan kontinjensi menurut para ahli?
  2. Apa saja variabel – variabel kontinjensi dalam hubungannya dengan aktivitas pengendalian?
  3. Bagaimana hubungan teori kontinjensi dengan sektor publik?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Teori Kontijensi

Menurut Etzzioni (1985) dalam buku yang berjudul “Modern Organization” menyatakan bahwa teori kontigensi disebut juga teori kepentingan, teori lingkungan atau teori situasi. Teori Kotingensi berlandaskan pada suatu pemikiran bahwa pengelolaan organisasi dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila pemimpin organisasi mampu memperhatikan dan memecahkan situasi tertentu yang sedang dihadapi dan setiap situasi harus dianalisis sendiri. Menurut Stoner et al., (1996:47) pendekatan kontigensi atau pendekatan situasional merupakan suatu “pandangan bahwa teknik manajemen yang paling baik memberikan kontribusi untuk pencapaian sasaran organisasi mungkin bervariasi dalam situasi atau lingkungan yang berbeda.

Teori kontinjensi dapat digunakan untuk menganalisis desain dan sistem akuntansi manajemen untuk memberikan informasi yang dapat digunakan perusahaan untuk berbagai macam tujuan dan untuk menghadapi persaingan. Pendekatan kontinjensi untuk akuntansi manajemen didasari oleh anggapan bahwa tidak ada sistem akuntansi yang tepat secara universal yang dapat digunakan oleh semua organisasi dalam berbagai keadaan. Sistem akuntansi yang tepat tergantung pada keadaan khusus dimana organisasi tersebut berada. Oleh karenanya teori kontinjensi harus mengidentifikasikan aspek khusus dari sistem akuntansi perusahaan dimana keadaan dapat didefinisikan dengan pasti dan sistem dapat dicobakan dengan tepat.

Teori kontijensi akuntansi ini menunjukkan suatu upaya dalam penentuan sistem pengendalian yang paling memungkinkan atas seperangkat keadaan yang ada pada suatu organisasi. Beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan adalah :

  1. Lingkungan.

Satu hal yang mendasar dari sistem pengendalian manajemen ini adalah adanya pengaruh dari lingkungan dimana organisasi tersebut beroperasi.

  1. Teknologi

Sifat dari proses produksi suatu produk atau jasa biasanya ditentukan juga oleh biaya dalam penggunaan teknologi tersebut.

  1. Ukuran Organisasi

Ukuran organisasi merupakan faktor yang mempengaruhi baik struktur maupun kesatuan pengendalian dalam organisasi.

  1. Strategi

Strategi yang dimiliki oleh organisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadapsistem akuntansi manajemen dan sistem pengendalian manajemennya.

Teori kontinjensi membantah bahwa desain dan penggunaan sistem pengendalian adalah kontinjensi, terhadap konteks pengaturan yang organisasi dimana pengendalian di operasikan. Suatu titik temu antara sistem pemgendalian dan variabel kontinjensi kontekstual dihipotesakan untuk meningkatkan kinerja organisasi (individu). Teori kontinjensi muncul sebagai jawaban atas pendekatan yang universalistics yang membantah bahwa desain pengendalian yang optimal dapat diterapkan dalam perusahaan secara keseluruhan. Pendekatan pengendalian yang universalistics adalah perluasan teori manajemen ilmiah yang alami. Prinsip manajemen ilmiah menyiratkan satu cara terbaik untuk mendesain proses operasional dalam rangka memaksimalkan efisiensi. Perkembangan prinsip operasional ini ke sistem pengendalian manajemen menyiratkan bahwa harus ada satu sistem pengendalian terbaik yang memaksimalkan efektivitas manajemen.

  1. Hakikat Teori Kontijensi

Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan. Masuknya pengaruh variabel lingkungan dalam analisis organisasi diawali dengan kemunculan pendekatan sistem (system approach) dalam analisis organisasi dimana kemunculan pendekatan ini sebenarnya karena inspirasi dari ilmu biologi.

Pendekatan sistem dibangun berdasarkan anggapan bahwa organisasi pada hakekatnya mirip dengan organisme (makhluk hidup) yang terbuka terhadap pengaruh lingkungan sekitarnya. Menurut pendekatan ini organisasi adalah sebuah open system besar yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling terkait. Organisme di dalam sistem semacam itu akan mengambil dan sekaligus memberikan sesuatu dari dan kepada lingkungannya. Dengan pola simbiose take and give itulah organisasi mempertahankan hidupnya.

Sama halnya dengan makhluk hidup, menurut Teori Kontijensi tujuan akhir sebuah organisasi dalam beroperasi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa tumbuh (growth) atau disebut juga keberlangsungan (viability). Ada dua hal yang dilakukan organisasi untuk menjalankan penyesuaian hidup terhadap lingkungannya. Pertama, manajemen menata konfigurasi berbagai sub-sistem di dalam organisasi agar kegiatan organisasi menjadi efisien. Kedua, bentuk-bentuk spesies organisasi memiliki efektivitas yang berbeda-beda dalam menghadapi perubahan dalam lingkungan luar. Dengan kata lain mekanisme sistem pengendalian bisa sangat bervariasi sesuai dengan variasi lingkungan yang dihadapi. Dalam rangka mencari cara yang efektif, organisasi seharusnya menghubungkan permintaan lingkungan eksternal dengan fungsi-fungsi internalnya. Seorang manajer harus bisa mengatur harmonisasi fungsi-fungsi organisasinya dengan kebutuhan manusia.

Teori kontijensi memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan. Tidak ada satu aturan atau hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu, tempat, semua orang atau semua situasi. Ada beberapa anggapan dasar dalam teori tersebut, yaitu antara lain:

(a)   Manajemen pada dasarnya bersifat situasional. Konsekuensinya teknik-teknik manajemen sangat bergantung pada situasi yang dihadapi. Jika teknik yang digunakan sesuai dengan permintaan lingkungan, maka teknik tersebut dikatakan efektif dan berhasil. Dengan kata lain diversitas dan kompleksitas situasi eksternal yang dihadapi organisasi harus di pecahkan dengan teknik yang sesuai.

(b)  Manajemen harus mengadopsi pendekatan dan strategi sesuai dengan permintaan setiap situasi yang dihadapi. Kebijakan dan praktik manajemen yang secara spontan dapat merespon setiap perubahan lingkungan bisa dikatakan efektif. Untuk mencapai keefektifan ini organisasi harus mendesain struktur organisasinya, gaya kepemimpinannya, dan sistem pengendalian yang berorientasi terhadap situasi yang dihadapi.

(c)  Ketika keefektifan dan kesuksesan manajemen dihubungkan secara langsung dengan kemampuannya menghadapi lingkungan dan setiap perubahan dapat diatasi, maka harus ditingkatkan keterampilan mendiagnosa yang proaktif untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang komprehensif.

(d)  Manajer yang sukses harus menerima bahwa tidak ada satu cara terbaik dalam mengelola suatu organisasi. Mereka harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik manajemen yang dapat diaplikasikan untuk semua waktu dan semua kebutuhan. Tidak ada solusi yang dapat diaplikasikan secara universal.

  1. Variabel Kontingensi

Mengembangkan suatu model kontingensi memerlukan suatu basis yang membagi setting kompetitif ke dalam kelas terpisah, dan ada pekerjaan kecil untuk mengindetifikasi variabel kontingensi yang relevan. Suatu variabel kontingensi terkait dengan level (dimana binis yang berbeda pada variabel itu juga memperlihatkan perbedaan utama bagaimana atribut pengendalian atau tindakan berhubungan dengan kinerja.  Dalam menentukan strategi, Hofer (1975) memperkenalkan 54 faktor kontingensi mungkin, dimana masing-masing faktor yang diasumsikan hanya mempunyai dua kemungkinan nilai.  Ia menyatakan bahwa hal ini mengakibatkan 18 milyar pengaturan yang mungkin dibuat.  Sebagai jawaban atas masalah ini, ia berspekulasi bahwa beberapa variabel kontingensi mendominasi variabel kontingensi yang lain.  Yang disayangkan hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya dominasi antar variabel kontingensi, dan riset pengendalian akuntansi hanya menguji suatu subset kecil dari 54 variabel kontingesi Hofer (1975).  Kebanyakan variabel kontingensi tercakup dalam studi empiris pengendalian yang telah terpilih dalam suatu basis khusus.

Beberapa variable yang dikemukakan dalam teori kontingensi adalah sebagai berikut :

  1. Kategori variabel yang berhubungan dengan ketidakpastian. Sumber ketidakpastian yang utama meliputi tugas dan ketidakpastian lingkungan eksternal. Ketidakpastian tugas adalah  suatu fungsi dari tindakan seorang manajer untuk mendapatkan hasil yang diharapkan (Hirst, 1981). Ketidakpastian tugas serupa dengan pengetahuan proses perubahan bentuk yang digambarkan oleh Ouchi (1977).   Sebagai tambahan, variabel makro dari ketidakpastian lingkungan mempunyai banyak segi yang mendasari.  Sebagai contoh, hubungan dengan pelanggan, para penyalur, pasar, pekerjaan dan para petugas pemerintah semua mempunyai dampak terhadap ketidakpastian lingkungan.
  2. Kategori variabel kontingensi, berhubungan dengan interdependensi dan tehnologi perusahaan.  Hal ini meliputi definisi tehnologi yang dikembangkan oleh Woodward (1965) dan Perrow (1967) membagi teknologi ke dalam batch kecil, batch besar, memproses tehnologi dan kategori produksi massal.  Menurut Perrow (1967) definisi teknologi didasarkan pada banyaknya pengecualian dalam memproses produk atau jasa memproses dan sifat alami dari proses ketika pengecualian ditemukan.  Sebagai tambahan, Thomson (1967) membantah bahwa salah satu komponen kunci tehnologi perusahaan adalah saling ketergantungan antara subunit perusahaan tersebut.
  3. Kategori variable industri, perusahaan dan variabel unit bisnis seperti ukuran, diversifikasi dan struktur. Studi industri sudah menguji pengendalian pada pabrikasi, jasa keuangan serta riset dan pengembangan perusahaan.  Diversifikasi mengacu pada tingkat keanekaragaman dalam suatu lini produk dan atau struktur perusahaan. Struktrur perusahaan telah dikotomikan antara multi-divisional (M-Form) dan fungsional (U-Form) Perusahaan (Hoskisson et Al, 1990). Seperti dicatat oleh Hofer (1975), ada banyak orang variabel potensial dalam perusahan, industri dan Unit Bisnis Strategis (SBU) kategori.
  4. Kategori variabel kontingensi yang keempat meliputi strategi persaingan dan misi. Kebanyakan riset strategi kontingensi telah memusat pada klarifikasi yang telah diusulkan oleh Porter’s (1980), Miles dan Snow (1978) dan daur hidup produk klarifikasi Porter’s (1980) adalah biaya rendah, pembedaan dan fokus startegi persaingan. Miles dan Snow (1978) mengklarifikasikan unit bisnis kedalam pembela/pelindung, penyelidik dan kategori penganalisis. Kebanyakan riset pengendalian kontingensi terpusat pada perbedaan antara penyelidik dan pembela/pelindung (Simon, 1987). Klarifikasi Daur hidup produk terdiri dari membangun, (memegang/menjaga), memanen dan kategori strategi divest.
  5. Kategori lain yang telah diuji literatur pengendalian adalah faktor observability. Variabel ini mula-mula diusulkan oleh Thomson (1970) dan kemudian oleh Ouchi (1977) dan yang lain (Rockness and Shields, 1984). Seperti dicatat oleh ahli teori organisasi dan agen, dalam evaluasi kinerja, suatu isyarat dari seorang pekerja atau unit bisnis diukur, dievaluasi dan dikompensasi. Isyarat mengukur dapat dari tindakan karyawan dan dari hasil tindakan. Peneliti terdahulu menyiratkan perilaku mengendalikan, yang belakangan menyiratkan pengendalian keluaran. Observabillitas (tentang perilaku atau hasil) menyiratkan pengendalian itu dapat ditempatkan hanya pada variabel yang kelihatan oleh penilai tersebut.
  6. Variabel – Variabel Kontinjensi

Adapun variabel yang merupakan komponen dari kontijensi itu sendiri ialah dapat dibagi sebagai berikut :

  • Variabel Sosial

Perdebatan para ahli dalam kerangka teoretis yang mendasari riset komparatif tentang akuntansi internasional berada dalam perspektif kontinjensi. Pada umumnya, studi ini lebih banyak menggunakan bentuk pengujian atas perbedaan perbedaan dalam praktik pelaporan keuangan tertentu diantara berbagai negara atau atas sistem akuntansi nasional. Dalam kedua kasus tersebut, hasil yang umumnya diperoleh dalam suatu kesimpulan yang menghubungkan perbedaan atau persamaan, baik dalam hal sosial, politik maupun ekonomi. Teori dalam praktik pelaporan disetiap negara dipengaruhi oleh variabel-variabel sosial tertentu. Variabel-variabel sosial terdiri dari beberapa faktor yang terutama terdapat di semua perusahaan dalam suatu negara yang merupakan hal pokok yang bervariasi pada setiap negara.

  • Lingkungan

Lingkungan perusahaan merupakan konsep dalam hubungannya dengan ketidakpastian. Karakteristik tersebut mempunyai sedikitnya dua dimensi yang terdiri atas: a) dimensi stabil-dinamis, dan b) dimensi homogen dan heterogen. Hal ini sesuai dengan struktur organisasi dan aplikasinya adalam akuntansi manajemen. Dimensi stabil dan dinamis ditandai dengan tingkat keputusan faktor perubahan lingkungan internaldan eksternal yang pada dasarnya sama dari waktu ke waktu dalam proses yang berkesinambungan. Adapun dimensi homogen-heterogen daoat digambarkan dalam hubungannya dengan tingkat keputusan di mana faktor lingkungan sebagai alternatif dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar. Faktor-faktor yang ada di dalam lingkungan perusahaan dapat dibedakan dalam suatu rangkaian ketidakpastian dari yang dapat diramalkan sampai yang tidak dapat diramalkan.Hal yang diperlukan dalam suatu riset adalah pertimbangan yang menyatakan bahwa ketidakpastian lingkungan  tertentu memengaruhi struktur organisasi dan desain sistem akuntansi manajemen.

  • Atribut Organisasi

Terdapat beberapa konsep yang membingungkan dalam literatur teori kontinjensi terutama mengenai perbedaan antara variabel lingkungan dan atribut organisasi. Hal ini dapat menimbulkan berbagai kesulitan yang tidak dapat dipisahkan dalam mendefinisikan atau menjelaskan suatu organisasi. Pembahasan ini tidak bertujuan untuk memberikan suatu penyelesaian suatu masalah. Atribut organisasi tetap merupakan konsep yang berkaitan dengan penyediaan dan pengorganisasian sumberdaya perusahaan meliputi ukuran organisasi, teknologi dan lain sebagainya.

Besaran suatu organisasi merupakan konsep dari ukuran yang ada didalamnya, seperti jumlah karyawan, tingkat perputaran penjualan, nilai aset bersih atau modal yang digunakan, dan lain sebagainya yang pada umumnya saling berhubungan. Teknologi telah menjadi konsep penting. Terdapat tiga skala penggunaan teknologi dalam meningkatkan kompleks teknis yaitu unit dan kelompok kecil, kelompok besar dan massa, dan proses produksi.

  • Karakteristik Pengguna

Para pengguna dapart digambarkan sebagai individu yang menggunakan data yang terdapat dalam laporan perusahaan, dan memiliki suatu kepentingan atau sedang dalam pengambilan keputusan keuangan. Suatu bukti riset yang harus dipertimbangkan oleh para pengguna adalah alternatif yang berbeda untuk informasi dan kemampuan proses yang ditimbulkan oleh perbedaan dalam model keputusan, gaya pengambilan keputusan, dan sifat yang diturunkannya.

Pada kenyataannya , dalam literatur mengenai pengolahan informasi manusia dalam rangka pengambilan keputusan menyatakan bahwa setiap individu mempunyai model keputusan yang berbeda. Konsep gaya pengambilan keputusan mempunyai enam dimensi berikut: a) analisis keputusan berbeda dengan pengambilan keputusan intuitif, perbedaan dalam horizon waktu, c) bentuk pengulangan yang mengacu banyak faktor dalam pertimbangan pengambilan keputusan, d) kemampuan untuk beradaptasi dalam keadaan yang berubah-ubah, e) proaktif vs reaktif, dan f) kemampuan strategis dalam hubungannya dengan pertimbangan di antara keputusan yang sesuai dengan tujuan dan strategi perusahaan.

  1. Hubungan Teori Kontijensi Dengan Sektor Publik

Munculnya teori kontijensi dalam akuntansi pemerintahan berawal dari adanya keinginan untuk melakukan suatu reformasi terhadap sistem akuntansi pemerintahan dari sistem akuntansi tradisional menjadi sistem akuntansi yang lebih informatif. Sistem yang lebih informatif akan tertuju pada pasokan informasi yang komprehensif dan dapat diandalkan serta menyediakan dasar untuk kontrol keuangan pada kegiatan pemerintah.

Teori kontijensi dapat digunakan untuk menganalisis desain dan sistem akuntansi manajemen untuk memberikan informasi yangdapat digunakan perusahaan untuk berbagai macam tujuan (Otley, 1978). Teori kontijensi diadopsi untuk mengevaluasi keefektifan partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja aparat pemerintah daerah. Para peneliti telah mengemukakan bahwa keefektifan penggangaran partisipatif tergantung pada faktor-faktor kontekstual organisasional dan sifat psikologi karyawan (Chenhall, 1989 dalam Nazaruddin, 1998). Penggunaan teori kontijensi dalam pengembangan sistem akuntansi manajemen akan tergantung pada lingkungan, organisasi dan gaya pembuat keputusan (Gordon dan Miller, 1976).

Dasar pendekatan kontijensi adalah tidak adanya jawaban terbaik yang berlaku terhadap semua masalah yang muncul. Teori kontijensi menyatakan bahwa tidak ada rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan secara efektif untuk semua kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tentunya hanya efektif untuk situasi atau organisasi/perusahaan/ pemerintahaan tentunya. Pendekatan kontijensi merupakan sebuah cara berfikir komperatif(berdasarkan perbandingan) baru diantara teori-teori  manajemen yang telah dikenal. Manajemen kontijensi berupaya untuk melangkah keluar dari perinsip-perinsip manajemen yang dapat diterapkan dan menuju kondisi situasional. Apabila dirumuskan secara formal, pendekatan kontijensi merpakan suatu upaya untuk menentukan melalui kegiatan riset, peraktik dan teknik manajerial mana yang paling cocok dan tepat dalam situasi-situasi tertentu.. maka menurut pendekatan kontijensi situasi-situasi yang berbeda mengharuskan adanya reaksi manajerial yang berbeda pula. Dalam partisipasi penyusunaan anggaran, penggunaan teori kontijensi telah lama menjadi perhatian para peneliti. Berdasarkan hasil penelitian , maka disimpulkan bahwa teori kontijensi dalam pengaruh anggaran terhadap kinerja aoarat daerah.  Para peneliti di bidang akuntansi menggunakan teori kontijensi saat menghubungkan pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja aparat daerah. Pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja aparat pemerintahan daerah mempunyai faktor-faktor kontijensi seperti : komitmen organisasi, budaya organisasi dan faktor gaya kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut adalah suatu variabel yang dapat memperkuat atau memperlemah partisipasi anggaran dan kinerja aparat pemerintah daerah.

 

BAB III

KESIMPULAN

Pendekatan teori kontijensi mengidentifikasi bentuk-bentuk optimal pengendalian organisasi di bawah kondisi operasi yang berbeda dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana prosedur operasi pengendalian organisasi tersebut. Sistem Akuntansi Sektor publik merupakan suatu pendekatan kontinjensi dari faktor kondisional yang digunakan dalam penelitian sebagai variabel yang memoderasi suatu hubungan. Sesuai dengan pendekatan kontinjensi Otley (1980), pendekatan kontinjensi akuntansi manajemen didasarkan premis bahwa tidak ada sistem akuntansi secara universal selalu tepat digunakan seluruh organisasi, namun sistem akuntansi manajemen hanya sesuai (fit) untuk suatu konteks atau kondisi tertentu saja.

Menurut pertimbangan Otlley, variabel yang berpengaruh dalam menentukan Management Control Systems adalah lingkungan, technologi, ukuran organisasi dan strategi perusahaan.   Teori kontinjensi akuntansi manajemen menunjukkan suatu upaya dalam penentuan sistem pengendalian yang paling memungkinkan atas seperangkat keadaan yang ada pada suatu organisasi. Beberapa variable yang perlu dipertimbangkan adalah :

  • Lingkungan. Satu hal yang mendasar dari sistem pengendalian manajemen adalah adanya pengaruh dari lingkungan dimana organisasi tersebut beroperasi.
  • Teknologi. Sifat dari proses produksi suatu produk atau jasa biasanya ditentukan juga oleh biaya dalam penggunaan teknologi tersebut.
  • Ukuran organisasi. ukuran organisasi merupakan faktor yang mempengaruhi baik struktur maupun kesatuan pengendalian dalam organisasi.
  • Strategi. Strategi yang dimiliki oleh organisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap sistem akuntansi manajemen dan sistem pengendalian

Teori kontijensi dalam metoda penelitian mengargumenkan bahwa efektivitas desain sistem akuntansi manajemen tergantung eksistensi perpaduan antara organisasi dengan lingkungannya. Sistem Akuntansi sering digunakan untuk memotivasi dan mempengaruhi perilaku karyawan dalam berbagai cara yang akan memaksimalkan kesejahteraan organisasi dan karyawan. Sistem Akuntansi sebagai alat kontrol organisasi dan alat yang efektif menyediakan informasi yang bermanfaat guna memprediksi konsekuensi yang mungkin terjadi pada berbagai aktivitas yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, Robert N. dan Govindarajan, Vijay. 2009. Manajemen Control System 12th edition, Penerjemah Drs. F.X. Kurniawan Tjakrawala, Jilid 1. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Arief, Suadi. 1999. Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta : BPFE.

Fisher, G Joseph. 1998. Contingency Theory, Management Control System and Firm Outcomes: Past Results and Future Directions, Behavioural Research in Accunting Vol. 10.

Halim, Abdul dkk. 2003. Sistem Pengendalian Manajemen Edisi Revisi. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Marani, Yohanes. 2003. Motivasi dan Pelimpahan Wewenang sebagai Variabel Moderating dalam Hubungan antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dengan Kinerja Manajerial, Jurnal MAKSI Vol 3 Universitas Diponegoro.

Otley, David. 1980. The Contingency Theory of Management Accounting: Achievement and Prognosis, Accounting and Organization Society 5.

KEPERILAKUAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN INDIVIDU

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah bagi orang – orang untuk berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, materialmesinmetode dan lingkungan), sarana – prasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam berorganisasi setiap individu dapat berinteraksi dengan semua struktur yang terkait baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung. Masing – masing individu di dalam organisasi secara terus – menerus mengembangkan kapasitasnya guna menciptakan hasil yang benar – benar mereka inginkan, pola – pola berpikir baru dan berkembang dipupuk, aspirasi kelompok diberi kebebasan, dan masing – masing individu secara terus – menerus belajar mempelajari (learning to learn) sesuatu secara bersama.

Manusia merupakan salah satu komponen penting dalam organisasi. Perusahaan sebagai salah satu bentuk organisasi keberhasilannya sangat dipengaruhi terhadap kinerja individu yang ada di dalamnya. Karyawan sebagai individu ketika memasuki perusahaan akan membawa karakteristik kepribadiannya masing – masing. Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang. Selanjutnya hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan karyawan dalam melaksanakan tatanan organisasi seperti peraturan dan hirarki, tugas – tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem kompensasi dan sistem pengendalian.

Menurut Schiff dan Lewin (1974) ada lima aspek penting dalam akuntansi keperilakuan, yaitu teori organisasi dan keperilakuan manajerial, penganggaran dan perencanaan, pengambilan keputusan, pengendalian, dan pelaporan keuangan.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

  1. Apakah yang dimaksud dengan perilaku individual?
  2. Apakah yang dimaksud dengan pemgambilan keputusan?
  3. Bagaimanakah pengaruh perilaku individual dalam pengambilan keputusan?

BAB II

PEMBAHASAN

  • Perilaku Individu

Perilaku individu merupakan suatu perilaku  seseorang dalam melakukan sesuatu atau cara ia bertindak terhadap sesuatu kegitan dengan menggunakan keterampilan atau otak mereka. Adanya keterampilan tidak terpisah dari latar belakang atau pengetahuan. Di dalam suatu organisasi, perilaku individu mencerminkan setiap perilaku manajer terhadap bawahannya dimana jika ia memperlakukan bawahannya  dengan baik maka suatu hubungan antara bawahan dan atasan terjalin dengan baik pula sehingga jalinan kerjasama didalam organisasi bisa berjalan dengan baik

Beberapa defenisi perilaku individu menurut para ahli diantaranya sebagai berikut :

  1. Menurut Martheen Luter, individu berasal dari kata individum (latin) yaitu satuan kecil yang tidak dapat dibagi individu menurut konsep sosiologis berarti manusia yang hidup berdiri sendiri.
  2. Menurut Sofyandi dan Garniwa, perilaku individu adalah seesuatu yang dikerjakan seseorang, seperti  berbicara dengan manajer, mendengarkan rekan sekerja, menyusun laporan, mengetik memo, menempatkan unit barang kedalam gudang dan lain sebagainya.
  3. Menurut Viniagustia, individu merupakan sebutan  yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dapat disimpulkan bahwa individu adalalah unit terkecil dimana memeiliki ciri yang berbeda ditiap masing – masing individu.
  4. Gibson CS.  menyatakan perilaku individu adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang seperti berbicara, berjalan, berfikir, atau tindakan dari suatu
  5. Menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya yang berjudul Perilaku Individu menyatakan bahwa suatu pemahaman  tentang perilaku bermula dari kajian mengenai kontribusi utama psikologis terhadap Perilaku Organisasi. Kontribusi ini dibagi dalam 4 konsep berikut :
  • Sikap

Sikap (attitudes) merupakan pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun yang tidak tentang suatu objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu ketika saya berkata “Saya menyukai pekerjaan saya”, saya sedang mengekspresikan sikap saya tentang pekerjaan. Seseorang bisa memiliki ribuan sikap, tetapi perilaku organisasi memfokuskan diri pada sikap yang berkaitan dengan pekerjaan. Hal ini meliputi kepuasan kerja, keterlibatan kerja (tingkat sejauh mana seseorang berkecimpung dalam pekerjaannya dan secara aktif berpartisipasi didalamnya), dan komitmen organisasi (sebuah indikator loyalitas kepada, dan keberpihakan terhadap organisasi). Tidak dapat dipungkiri, kepuasan kerja telah mendapatkan perhatian yang besar.

  • Kepribadian

Beberapa orang bersifat pendiam  dan pasif, sementara yang lainnya ceria dan agresif. Ketika kita menggambarkan orang dari  segi karakteristiknya, bisa pendiam, ceria, agresif, ambisius, setia dan suka bergaul, kita sedang mengkategorikan mereka  dari segi sifat – sifat kepribadian. Karenanya kepribadian (personality) individu seseorang merupakan kombinasi  sifat – sifat psikologis yang kita gunakan untuk mengklasifikasikan orang tersebut. Para ahli psikologis telah mempelajari sifat – sifat kepribadian secara mendalam, dan mengidentifikasi 16 sifat kepribadian utama.

  • Persepsi

Persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan  mereka. Riset tentang persepsi secara konsisten menunjukan bahwa individu yang berbeda dapat melihat yang sama tetapi memahaminya secara berbeda. Kenyataannya adalah bahwa tak seorangpun dari kita melihat realitas. Yang kita lakukan adalah menginterprestasikan apa yang kita lihat dan menyebutnya sebagai realitas.

  • Pembelajaran

Defenisi ahli psikologis tentang belajar benar – benar lebih luas daripada pandangan biarawan bahwa “inilah yang kita lakukan waktu kita disekolah dulu”. Pada  kenyataannya, masing – masing kita secara terus – menerus “ke sekolah”, belajar berlangsung selamanya. Oleh karena itu, defenisi belajar yang lebih akurat adalah segala perubahan perilaku yang relatif permanen dan terjadi sebagai hasil  dari pengalaman.

Perilaku individu dalam organisasi adalah bentuk interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik organisasi. Individu memiliki karakteristik yang berbeda – beda.             Dalam hal ini perbedaan individu muncul karena beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Kemampuan yang tidak sama antar manusia satu dengan manusia lain
  2. Kebutuhan yang berbeda – beda antar manusia
  3. Orang berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan bagaimana bertindak untuk mencapai masa depan
  4. Hubungan dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya
  5. Reaksi – reaksi yang timbul akibat kesenangan atau ketidaksenangan

Pendekatan yang sering dipergunakan untuk memahami perilaku manusia adalah sebagai berikut :

  1. Pendekatan kognitif menekankan mental internal seperti berpikir dan menimbang. Penafsiran individu tentang lingkungan dipertimbangkan lebih penting dari lingkungan itu sendiri.
  2. Pendekatan penguatan (reinforcement) menekankan pada peranan lingkungan dalam perilaku manusia. Lingkungan dipandang sebagai suatu sumber stimulus yang dapat menghasilkan dan memperkuat respon perilaku.
  3. Pendekatan psikoanalitis menekankan peranan sistem personalitas di dalam menentukan sesuatu perilaku.

Faktor – faktor yang mempengaruhi karakteristik individu adalah sebagai berikut :

  1. Faktor keturunan

Faktor pertama yang membentuk karakter individu adalah faktor keturunan, yang merupakan warisan dari orang tua. Akan tetapi kepribadian ini juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan di lingkungan masyarakat tersebut.

  1. Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi atau merubah karakter individu, seseorang yang berada di lingkungan yang baik pasti ia akan cenderung berbuat baik, bila dibandingkan dengan seseorang yang berada di lingkungan yang buruk

  1. Faktor budaya

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang atau organisasi dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Unsur – unsur yang membentuk perilaku individu adalah sebagai berikut :

  1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan suatu unsur yang mengisi akal dan alam jiwa pada seseorang yang masih sehat (tidak mengalami gangguan jiwa atau stress), dan secara nyata yang terkandung di dalam otak manusia.

  1. Perasaan

Perasaan adalah suatu keadaan yang berada dalam kesadaran manusia, karena pengaruh pengetahuannya yang kemudian dinilai sebagai keadaan yang positif atau sebaliknya sebagai keadaan yang negatif.

Perilaku individu membedakannya menjadi 3 macam bentuk perilaku yaitu coqnitive, affective dan psikomotor. Bentuk perilaku dilihat dari sudut pandang respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

  1. Perilaku tertutup. Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain.
  2. Perilaku terbuka. Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice).

Sifat yang menjadi indikator kuat perilaku seseorang di tempat kerja adalah sebagai berkut :

  1. Evaluasi inti diri. Merupakan tingkat di mana individu menyukai atau tidak menyukai dirinya sendiri. Dalam evaluasi inti diri, seorang individu ditentukan atas dua elemen utama yaitu harga diri (anggapan mengenai dirinya berharga atau tidak) dan lokus kendali (keyakinan untuk menjadi penentu nasib).
  2. Machiavellianisme. Sejauh mana seorang individu pragmatis, menjaga jarak emosional, dan yakin bahwa hasil lebih penting daripada proses.
  3. Narsisme, yaitu kecenderungan menjadi arogan, mempunyai rasa kepentingan diri yang berlebihan, membutuhkan pengakuan berlebih, dan mengutamakan diri sendiri.
  4. Pemantauan diri. Merujuk pada kemampuan seorang individu untuk menyesuaikan perilakunya dengan faktor – faktor situasional eksternal.
  5. Pengambil resiko. Kecenderungan untuk mengambil atau menghindari resiko dapat dilihat dari berapa lama waktu yang dibutuhkan manajer dalam mengambil keputusan dan berapa banyak informasi yang mereka butuhkan sebelum membuat pilihan.
  6. Kepribadian proaktif, yaitu sikap yang cenderung oportunis, berinisiatif, berani bertindak, dan tekun hingga berhasil mencapai perubahan.
  • Pengambilan Keputusan

Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Hal itu berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan dan seterusnya mengenai unsur – unsur perencanaan. Dapat juga dikatakan bahwa keputusan itu sesungguhnya merupakan hasil proses pemikiran yang berupa pemilihan satu diantara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengambilan keputusan (desicion making) itu sendiri adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan alternatif.

Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pengambilan keputusan diantaranya, Terry dalam Fendy (2011) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah sebagai pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang mungkin. Goerge dalam Fendy (2011) mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang termasuk pertimbangan, penilaian, dan pemilihan diantara sejumlah alternatif. Fendy (2011) Mereka mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari perencanaan, suatu rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan, suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat. Soetopo (2010:145) memandang bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta dan data, penelitian yang matang atas alternatif dan tindakan. Menurut George R. Terry pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. Sondang P. Siagian pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling cepat. Menurut James A. F. Stoner pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah.

Menurut George R.Terry dan Brinckloe disebutkan dasar – dasar pendekatan dari pengambilan keputusan yang dapat digunakan yaitu :

  1. Intuisi

Pengambilan keputusan yang didasarkan atas intuisi atau perasaan memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi ini mengandung beberapa keuntungan dan kelemahan. Sifat subjektif dari keputusan intuitif ini terdapat beberapa keuntungan, yaitu :

  • Pengambilan keputusan oleh satu pihak sehingga mudah untuk memutuskan.
  • Keputusan intuitif lebih tepat untuk masalah – masalah yang bersifat kemanusiaan.

Pengambilan  keputusan  yang  berdasarkan  intuisi  membutuhkan  waktu  yang singkat untuk masalah – masalah yang dampaknya terbatas, pada umumnya pengambilan keputusan yang bersifat intuitif akan memberikan kepuasan. Akan tetapi, pengambilan keputusan  ini  sulit  diukur  kebenarannya  karena  kesulitan  mencari  pembandingnya dengan kata lain hal ini diakibatkan pengambilan keputusan intuitif hanya diambil oleh satu pihak saja sehingga hal – hal yang lain sering diabaikan.

  1. Pengalaman

Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis, karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat diperhitungkan untung ruginya terhadap keputusan yang akan dihasilkan. Orang yang memiliki banyak pengalaman tentu akan lebih matang dalam membuat keputusan akan tetapi, peristiwa yang lampau tidak sama dengan peristiwa yang terjadi kini. Pengalaman  memang  dapat  dijadikan  pedoman  dalam menyelesaikan masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan untuk memperkirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecahan masalah.

  1. Fakta

Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan yang sehat, solid dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap pengambilan keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan – keputusan yang dibuat itu dengan rela dan lapang dada.

  1. Wewenang

Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Keputusan yang berdasarkan wewenang  memiliki beberapa keuntungan antara lain banyak diterimanya oleh  bawahan, memiliki otentisitas (otentik), dan juga karena didasari wewenang yang resmi maka akan lebih permanen sifatnya. Keputusan yang berdasarkan pada wewenang semata akan menimbulkan sifat  rutin  dan  mengasosiasikan  dengan  praktik  dictatorial.  Keputusan  berdasarkan wewenang kadangkala oleh pembuat keputusan sering melewati permasahan yang seharusnya dipecahkan justru menjadi kabur atau kurang jelas.

  1. Logika atau Rasional

Pengambilan keputusan yang berdasarkan logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semuan unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa keputusan itu diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya telebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif yang ada.

Kegiatan – kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasinya yang dimana diinginkan semua kegiatan itu dapat berjalan lancar dan tujuan dapat dicapai dengan mudah dan efisien. Namun, kerap kali terjadi hambatan – hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang hatus dipecahkan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Strategi Pengambilan Keputusan menurut Irving dibagi atas 6 macam yaitu :

  1. Optimasi dan Resiko Sub-optimasi

Menjelaskan mengenai strategi optimasi sebagai suatu tujuan untuk memilih tindakan yang memberikan hasil paling tinggi. Strategi semacam ini memerlukan nilai, dalam terminologi manfaat dan biaya dari masing – masing alternatif yang dipilih sebagai pembanding. Untuk mengambil suatu keputusan dengan strategi optimasi dibutuhkan waktu dan uang yang besar untuk mengumpulkan dan menguji semua informasi yang sangat banyak. pendekatan ini masih kerapkali dianggap sebagai pendekatan yang cukup ideal.

  1. Kepuasan (Satisficing)

Hipotesis yang paling mempengaruhi para administrator dalam pengambilan keputusan telah dirumuskan oleh Herbert Simon (1976). Para pengambil keputusan, menurut Simon, cenderung memilih kepuasan, daripada memaksimalkan. Ia melihatnya suatu tindakan “cukup baik” telah memenuhi suatu keputusan yang diperlukan. Simon berargumentasi bahwa strategi pendekatan kepuasan telah sesuai dengan sifat keterbatasan manusia dalam memproses informasi. Aturan main yang “Sampaikan permasalahan anda kepada ahlinya dan kerjakan saja apa yang mereka katakan, karena hal tersebut cukup baik”. Maka konsumen akan merasa puas terhadap apa yang anda lakukan.

  1. Kepuasan berpura – pura (Quasi-satisficing)

Beberapa orang menggunakan aturan moral sebagai satu – satunya aturan apabila mereka harus mengambil keputusan untuk menolong seseorang dalam kesulitan atau masalah. Schwartz (1970) menyebut pendekatan ini sebagai “pengambilan keputusan moral”. Sekali seseorang memutuskan bahwa seseorang membutuhkan pertolongan dan melihat ada suatu cara untuk dapat menolongnya, ia biasanya langsung mengambil tindakan tanpa terlebih dahulu melihat bahwa ada cara lain untuk dapat menolongnya. sangat jelas bahwa pilihan yang didasarkan pada strategi quasi, kepuasan sangat berhubungan dengan aturan pengambilan keputusan yang sederhana, yang dapat menghasilkan tindakan yang diinginkan atau tidak diinginkan masyarakat.

  1. Eliminasi dengan Aspek

Pendekatan eliminasi digunakan untuk proses yang optimis dan cepat dalam  memilih sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambil keputusan melakukannya secara eksekusi, dimulai dari persyaratan yang paling penting hingga persyaratan paling kecil. Semua alternatif yang tidak memenuhi persyaratan ini dihilangkan, dan proses eliminasi dilanjutkan hingga tersisa hanya satu pilihan alternatif.

  1. Incrementalism and Muddling Through

Baybrooke dan Lindblom (1963) menganggap strategi incremental muddling-through sebagai suatu tipe proses pengambilan keputusan dari kelompok perkumpulan pluralistic. strategi incremental muddling through adalah teknik yang diharapkan oleh orang yang malas atau lambat berpikir. Tetapi Braybrooke dan Lindblom melihat hal tersebut sebagai metode dengan mana badan pengambil keputusan sosial, bertindak sebagai koalisi dari kelompok yang tertarik dapat secara efektif membuat keputusan secara kumulatif dan akhirnya menjadikan suatu keputusan kompromi yang dapat dikerjakan (workable compromise). Lindblom dan asosiasinya beragumentasi bahwa keputusan incremental sebagian besar didasarkan pada kriteria konsensus, daripada didasarkan pada nilai nyata yang diakibatkan oleh isu – isu, bisa pula mengabaikan kejahatan sosial tidak demokratis, atau pengambilan keputusan terpusat.

  1. Mixed Scanning

Strategi Mixed Scanning terdiri atas dua komponen, yaitu :

  • Beberapa ciri dari strategi optimasi dikombinasikan dengan strategi eliminasi aspek digunakan sebagai dasar kebijakan keputusan dan merupakan arah kebijakan dasar.
  • Proses secara incremental (didasarkan atas bentuk sederhana dari strategi kepuasan) diikuti dengan keputusan minor setelah arah kebijakan dasar ditentukan.

Etzione menggunakan istilah “scanning” berdasarkan referensi penelitian, pengumpulan, prosesing, evaluasi, dan pembobotan informasi dalam proses pembuatan pilihan.

Ketika ia mengumpulkan informasi, seberapa detil ia (pengambil keputusan) akan memerlukan, dan seberapa komplit ia harus mengenali langkah – langkah alternatif. Uraian Etzioni tentang strategi mixed scanning meliputi sejumlah aturan untuk mengalokasikan sumber daya untuk scanning jika seorang pengambil kebijakan menghadapi krisis yang membuat ia merealisasikan bahwa kebijakan yang dibuat sebelumnya harus direview dan diubah.

Tipe pengambilan keputusan terbagi atas :

  1. Keputusan terprogram atau keputusan terstruktur

Keputusan yang berulang ulang dan rutin, sehingga dapt diprogram. Keputusan terstruktur terjadi dan dilakukan terutama pada manajemen tingkat bawah. Pengambilan keputusan terprogram akan berlangsung dengan efektif apabila 4 kriteria dasar dipenuhi yaitu :

  • Tersedia waktu dan dana yang memadai untuk pengumpulan dan analisis data.
  • Tersedia data yang bersifat kuantitatif.
  • Kondisi lingkungan yang relatif stabil, yang didalamnya tidak dapat tekanan yang kuat untuk secara cepat melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap kondisi yang selalu berubah.
  • Tersedia tenaga trampil untuk merumuskan permasalahan secara tepat, termasuk tuntutan operasional yang harus dipenuhi.
  1. Keputusan setengah terprogram atau setengah terstruktur

Keputusan yang sebagian dapat diprogram, sebagian berulang – ulang dan rutin dan sebagian tidak terstruktur. Keputusan ini seringnya bersifat rumit dan membutuhkan perhitungan serta analisis yang terperinci.

  1. Keputusan tidak terprogram atau tidak terstruktur

Keputusan yg  tidak terjadi berulang – ulang dan tidak selalu terjadi. Keputusan ini terjadi di manajemen tingkat atas. Informasi untuk pengambilan keputusan tidak terstruktur tidak mudah untuk didapatkan dan tidak mudah tersedia dan biasanya berasal dari lingkungan luar. Pengalaman manajer merupakan hal yg sangat penting didalam pengambilan keputusan tidak terstruktur

Pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individual atau kelompok, tergantung bagaimana sifat dan corak permasalahannya. Keputusan individu adalah keputusan  dibuat oleh seorang pemimpin sendirian. Kelebihan Keputusan yang dibuat oleh seseorang atau Individu antara lain :

  1. Keputusannya cepat ditentukan atau diambil, karena tidak usah menunggu persetujuan dari rekan lainnya.
  2. Tidak akan terjadi pertentangan pendapat.
  3. Kalau pimpinan yang mengambil keputusan itu  mempunyai kemampuan yang tinggi dan berpengalaman yang luas dalam bidang yang akan diputuskan, keputusannya besar kemungkinan tepat.

Sedangkan kelemahannya Keputusan yang dibuat oleh seseorang atau Individu antara lain :

  1. Bagaimana kepandaian dan kemampuan pimpinan tetapi pasti memiliki keterbatasan.
  2. Keputusan yang terlalu cepat diambil dan tidak meminta pendapat orang lain seringkali kurang tepat.
  3. Jika terjadi kesalahan pengambilan keputusan merupakan beban berat bagi pimpinan seorang diri.

Mengenai pengambilan keputusan, Seotopo (2010:146) menyatakan bahwa ada 3 kekuatan yang selalu mempengaruhui suatu keputusan yang dibuat. 3 kekuatan itu adalah sebagai berikut :

  1. Dinamika individu di dalam organisasi

Pengaruh individu dalam organisasi sangat terasa terutama dalam hal ini adalah pemimpinnya. Seorang pemimpin yang mempunyai kepribadian yang kuat, pendidikan yang tinggi, pengalaman ynag banyak akan memberi kesan dan pengaruh yang besar terhadap bawahannya.

  1. Dinamika kelompok orang – orang di dalam organisasi

Dinamika kelompok mempunyai pengaruh besar, oleh karena itu pemimpin hendaknya mengusahakan agar kelompok lebih cepat menjadi dewasa.

  1. Dinamika lingkungan organisasi

Pengaruh lingkungan juga memegang peranan yang cukup penting untuk diperhatikan. Antara organisasi dan lingkungan itu saling mempemgaruhi.

Hal – hal yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan individu menurut Tampubolon (2004:108-111), ada 5 faktor perilaku yang mempengaruhi pengambilan keputusan yaitu :

  1. Nilai

Pengaruh nilai terhadap proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: dalam menetapkan sasaran, pertimbangan nilai perlu sekali mengenai dalam pemilihan kesempatan dan penetuan probilitas. Dalam mengembangkan, nilai orang yang mengambil keputusan mempengaruhi alternatif mana yang akan  dipilh. Apabila melaksanakan keputusan, nilai sangat perlu dalam memilih cara melaksankan keputusan tersebut dalam fase evaluasi dan pengendalian.pertimbangan nilai tidak dapat dihindari bila terjadi tindakan koreksi.

  1. Kepribadian

Para pengambil keputusan dipengaruhi oleh banyak kekuatan psikologis baik disadari atau tidak. Salah satunya yang terpenting adalah kepribadiannya yang sangat jelas tergambar dalam pilihannya. Hubungan antara kepribadian dan proses pengambilan keputusan mungkin berbeda – beda. Tampubolon (2004:109) mengemukakan ciri khusus yang dapat menggambarkan kepribadian seseorang diataranya :

  1. Pendiam vs Ramah
  2. IQ Rendah vs IQ Tinggi
  3. Perasaan vs Emosi Stabil
  4. Bijaksana vs Sungguh – sungguh
  5. Patuh vs Berpengaruh
  6. Kecenderungan Akan Resiko

Secara umum diketahui bahwa para pengambil keputusan berbeda – beda sekali dalam kecenderung mereka mengambil resiko. Satu segi khusus kepribadian sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Seorang pengambil keputusan yang agak segan mengambil resiko akan menetapkan sasaran yang berbeda dalam mengevalusi alternatif secara berbeda juga, serta memilih alternatif yang juga berbeda dari orang lain dalam pengambilan keputusan walaupun dalam situasi yang sama, tetapi sangat segan mengambil resiko. Orang yang belakangan ini akan berusaha menetapkan pilihan, dimana resiko atau ketidakpastian sangat rendah, atau dimana kepastian akan hasil sangat tinggi.

  1. Kemungkinan Ketidakcocokan

Para ahli perilaku telah memusatkan perhatiannya pada terjadinya kegelisahan kepada orang setelah pengambilan keputusan. Hal tersebut dikatakan sebagai disonansi kogntif atau ketidakcocokan kognitif. Teorinya mengatakan bahwa seringkali terdapat kekurangan konsisten atau harmoni diantara berbagai macam kognisi seseorang, misalnya sikap, kepercayaan dan sebagainya. Sesudah keputusan itu diambil. Pengertiannya, akan terjadi konflik antara apa yang diketahui dan diyakini oleh pengambil keputusan dan apa yang telah dilakukan, yang mengakibatkan  si pengambil keputusan menjadi ragu – ragu dan mempunyai pikiran lain mengenai pikiran yang telah diambilnya.

  1. Bentuk Pengambilan Keputusan

Didalam organisasi, proses pengambilan keputusan sangat tergantung pada individu dan kelompok. Keputusan individu dan kelompok pada saat – saat tertentu dapat saja bertentangan, sehingga efektivitas keputusan yang diambil tidak maksimal. Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi kinerja organisasi yang tidak juga maksimal.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

  1. Kondisi atau

Dalam kerangka pengambilan keputusan, posisi atau kedudukan seseorang dapat dilihat dalam hal berikut :

  • Letak posisi. Dalam hal ini apakah is sebagai pembuat keputusan (decision maker), penentu keputusan (decision taker) ataukah staf (staffer).
  • Tingkatan posisi. Dalam hal ini apakah sebagai strategi, policy, peraturan, organisasional, operasional dan
  1. Masalah

Masalah atau problem adalah apa yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan, yang merupakan penyimpangan daripada apa yang diharapkan, direncanakan atau dikehendaki dan harus diselesaikan.

  1. Situasi

Situasi adalah keseluruhan faktor – faktor dalam keadaan, yang berkaitan satu sama lain, dan yang secara bersama – sama memancarkan pengaruh terhadap kita beserta apa yang hendak kita perbuat.

Faktor – faktor itu dapat dibedakan atas 2, yaitu sebagai berikut :

  • Faktor – faktor yang konstan yaitu faktor – faktor yang sifatnya tidak berubah – ubah atau tetap keadaann
  • Faktor – faktor yang tidak konstan atau variabel yaitu faktor – faktor yang sifatnya selalu berubah – ubah atau tidak tetap keadaannya.
  1. Kondisi

Kondisi adalah keseluruhan dari faktor – faktor yang secara bersama – sama menentukan daya gerak, daya berbuat atau kemampuan kita. Sebagian besar faktor – faktor tersebut merupakan sumber daya.

  1. Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan perorangan, tujuan unit (kesatuan), tujuan organisasi, maupun tujuan usaha, pada umumnya telah ditentukan. Tujuan yang ditentukan dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan antara atau objective.

  • Pengaruh Perilaku Individu Dalam Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan (desicion making) merupakan tindakan untuk melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan dari beberapa alternatif yang ada. G. R. Terry mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah sebagai pemilihan yang didasarkan pada kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang mungkin. Herbert A. Simon, ahli teori keputusan dan organisasi mengonseptualisasikan tiga tahap utama dalam proses pengambilan keputusan, sebagai berikut :

  1. Aktivitas inteligensi, berasal dari pengertian militer “intelligence,” Simon mendeskripsikan tahap awal ini sebagai penelusuran kondisi lingkungan yang memerlukan pengambilan keputusan.
  1. Aktivitas desain, tahap ini terjadi tindakan penemuan, pengembangan dan analisis masalah.
  2. Aktivitas memilih, tahap ini merupakan tindakan untuk memilih tindakan atau alternatif tertentu dari yang

Teori pengambilan keputusan klasik berjalan dalam asumsi rasionalitas dan kepastian, tetapi tidak begitu halnya dengan teori keputusan perilaku. Ahli teori perilaku pengambilan keputusan berpendapat bahwa individu mempunyai keterbatasan kognitif.

Menurut Driscoll, partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan efficacy. Efficacy sendiri didefinisikan sebagai perasaan atau anggapan bahwa seseorang mampu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan dalam organisasi. Partisipasi seorang individu dalam proses pengambilan keputusan yang tinggi apabila ia memiliki efficacy yang tinggi, ia memiliki keyakinan bahwa ia bisa ikut mempengaruhi sistem, proses, dan isi dari keputusan yang dibuat. Begitu pula sebaliknya, apabila seorang individu memiliki efficacy yang rendah ia cenderung akan kurang berpartisipasi. Hal ini disebabkan ia memiliki anggapan bahwa dirinya tidak bisa mempengarui sistem, proses dan isi dari sebuah keputusan.

  • Studi Kasus

Kasus yang menimpa Bibit dan Chandra pada saat itu menjadi sorotan publik. Semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat sipil, kalangan akademis hingga kalangan elit politik membicarakan kasus tersebut. Kasus ini melibatkan pihak – pihak yang berada pada posisi – posisi strategis dalam ranah hukum di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), POLRI, dan Kejaksaan Agung. Semakin hari kasus ini terus berkembang hingga menyebabkan masyarakat memiliki persepsi bahwa kasus tersebut melibatkan institusi bukan pihak – pihak yang terlibat di dalamnya. Kisruh ini dapat diibaratkan seperti benang kusut. Antara Polri dan KPK pun terus saling menjatuhkan dan merasa berada di pihak yang benar. Kasus ini menuai banyak menuai pro dan kontra, banyak orang yang menaruh simpati pada Bibit dan Chandra. Mereka menganggap bahwa kasus ini adalah sebuah konspirasi untuk menjatuhkan atau upaya untuk melemahkan KPK yang selama ini aktif memburu para koruptor di negeri ini.

Karena kasus tersebut tak kunjung selesai dan semakin berlarut – larut, membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala Negara pada saat itu, ikut mencoba menyelesaikan masalah ini dengan menggunaakan wewenangnya untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Keputusan Presiden untuk membentuk tim independen tersebut merupakan hasil pertemuan antara presiden dengan tokoh masyarakat di wisma Negara.

Selain karena wewenang yang dimilikinya, presiden membentuk TPF pun berdasarkan fakta yang ada. Situasi seperti ini tidak baik bagi keberlangsungan KPK sebagai tonggak pemberantasan korupsi dan tidak baik pula untuk kehidupan bangsa dan Negara  karena adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan, bukan hanya terhadap hukum di Indonesia tetapi juga kredibilitas Polri, Jaksa, dan KPK. Kemudian selain dua alasan yang melatarbelakangi presiden membentuk TPF, terdapat alasan lainnya yakni berdasarkan rasional yang ada, dimana presiden berharap dengan dibentuknya TPF dapat segera menyelesaikan kasus ini dengan transparan dan publik dapat mengetahui fakta yang sesungguhnya.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan teori – teori yang telah dikemukan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Perilaku individu dipengaruhi oleh bebarapa faktor yaitu keturunan, lingkungan dan budaya.
  2. Individu memiliki karakteristik yang berbeda – bedaantara satu dengan yang lainnya, yang dipengaruhi faktor Kemampuan, Kebutuhan, pemikiran tentang masa depan, pengalaman masa lalu. Perilaku individu yang dimiliki oleh masing – masing karyawan pada perusahaan tentunya berbeda – Hal ini mempengaruhi kemampuan masing – masing individu baik dalam hal pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, kemampuan mematuhi peraturan perusahaan, kemampuan menjalin hubungan baik secara horizontal maupun vertikal.
  3. Pengambilan keputusan di perusahaan pada umumnya dilakukan oleh manager. Pengambilan keputusan dilakukan melalui beberapa tahapan dimulai dari pengumpulan data dan informasi, analisa hingga pada tahapan decision making guna mencapai keputusan yang optimal sesuai dengan tujuan perusahaan.
  4. Kemampuan individu dalam melaksanakan decision making sangat dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki masing – masing individu. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas inteligensi, aktivitas desain, dan aktivitas memilih,

DAFTAR PUSTAKA

Ayu Pertiwi dkk. Pengambilan Keputusan Dalam Kondisi Ketidakpastian Untuk Menentukan Bidang Yang akan Dikembangkan Dengan Menggunakan Analisis Bayes. Universitas Negeri Malang

Imam Wahjono, Sentot. 2010. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Graha Ilmu

Indriani, Rakhmawati. 2013. Teknik Pengambilan Keputusan Individual Model Optimasi. https://indrycanthiq84.wordpress.com/2013/04/16/teknik-pengambilan-keputusan-individual-model-optimasi/. (Diakses Tanggal 16 April 2013).

Misnen Ardiansyah. 2009. Perkembangan Penelitian Akuntansi Keperilakuan. SOSIO -RELIGIA, Vol. 8, No. 3.

Mustafa, Arif. 2013. Prinsip – Prinsip Dasar Etika Pengambilan Keputusan. https://www.scribd.com/document/127442622/Prinsip-Dasar-Etika-Pengambilan-Keputusan. (Diakses Tanggal 26 Feberuari 2013).

Rachman dkk. 2015. Aspek Keperilakuan Pada Pengambilan Keputusan dan Para Pengambil Keputusan. Tanjungpinang Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Santoso, Andrea Budi. 2012. Peranan Locus Control, Self-Set Dan Organizational-Set Hurdle Rates Terhadap Eskalasi Komitmen Pada Level Pengambilan Keputusan Penganggaran Modal. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi Unika Wodya Mandala Surabaya. Vol. 1. No. 3.

Thoha, Miftah. 2011. Perilaku Organisasi (Konsep Dasar dan Aplikasinya). Jakarta : Rajawali Pers.

Dariyadi, Moch. Wahid. http://tulisanterkini.com/artikel/artikel-ilmiah/9097-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-pengambilan-keputusan.html#top

ISU LEGAL DAN ETIS UNTUK AUDITOR IT

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Kode etis adalah penting bagi kesehatan masyarakat profesional, karena anggota yang diminta untuk menyesuaikan diri terhadap aturan masih mendapatkan banyak keuntungan dari keseragaman dengan lainnya. Penting bagi auditor IT untuk memahami kewajiban etis mereka terhadap perusahaan dan klien, sebagaimana halnya terhadap masyarakat dan komunitas audit IT lebih luas. Dalam hal ini, kami mengkaji kode etika profesional yang ditujukan pada auditor. Auditor IT juga perlu menyadari tanggung jawab mereka dengan melihat kepada investigasi pelaporan irregular dan tindakan ilegal. Apakah auditor IT bertanggung jawab terhadap mendeteksi, mencegah, dan melaporkan tindakan tersebut? Jika ya, bagaimanakah mereka mencari dan mencegah aksi ilegal dan irregular, dan kepada siapa seharusnya mereka melaporkan kecurigaan dan temuan tersebut? Jika auditor tidak bertanggung jawab dalam hal ini, siapa yang bertanggung jawab? Jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan ini akan dikaji dalam bab ini. Terakhir, auditor IT harus mempunyai pengetahuan tentang bermacam – macam regulasi dan hukum yang dapat diaplikasikan kepada penugasan IT. Pedoman tersebut dapat ditemukan secara singkat dengan mengkaji isu audit relevan, seperti hukum kontrak, kekayaan intelektual, kejahatan komputer, dan hak privasi. Kami memulai bab ini dengan mengkaji kewajiban etis dari auditor IT.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

  1. Apakah yang dimaksud dengan kode etika professional?
  2. Bagaimanakah kode etika professional auditor IT?
  3. Apakah auditor IT bertanggung jawab terhadap mendeteksi, mencegah, dan melaporkan tindakan illegal dan irreguler? Jika auditor IT tidak bertanggung jawab dalam hal ini, siapakah yang bertanggung jawab?
  4. Apakah Tidakan Ilegal dan Ireguler yang sering di hadapi oleh auditor IT?

BAB II

PEMBAHASAN

  • Kode Etika Professional

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang bearti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Etika juga dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai yang benar dan salah dianut masyarakat. Profesi adalah suatu pekerjaan yang melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik – teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya.

Berdasarkan arti kata tersebut, maka etika profesi dapat diartikan sebagai suatu sikap menegakkan aturan – aturan yang disepakati demi kebaikan manusia, sesuai dengan batasan – batasan dalam melakukan pekerjaan berdasarkan skill atau keterampilan khusus.
Etika profesi dapat diterapkan di segala profesi yang ada dalam kehidupan manusia, oleh sebab itu cakupan etika profesi sangat luas. Segala jenis pekerjaan memiliki “aturan main” tersendiri. Pada dasarnya etika profesi mencakup beberapa hal pokok yang berlaku umum untuk setiap profesi, hal – hal pokok tersebut yaitu :

  1. Tanggung Jawab. Baik terhadap pekerjaan, hasil, serta dampak pekerjaan tersebut.
  2. Berkaitan dengan hak – hak orang lain yang wajib dipenuhi oleh kita dalam    melakukan suatu profesi.
  3. Hal ini bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada setiap orang sesuai dengan  tuntutannya dalam menjalani suatu profesi.

Kode etik profesi adalah sistem norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional. Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum. Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik – baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak professional.

Kode etik profesi itu merupakan sarana  untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :

  1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
  2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial).
  3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.

Mengapa Organisasi Mengembangkan Kode Etika? Apakah orang – orang tahu bagaimana untuk bertindak secara etis di bawah lingkungan tanpa pedoman tertulis. Jawaban terhadap pertanyaan pertama ini dapat disampaikan dalam bagian ini. Jawaban terhadap pertanyaan kedua seharusnya jelas, khususnya dengan melihat atmosfir bisnis terbaru, di mana penuh dengan contoh kesalahan (malfeasance) corporate. Tidak semua orang akan bertindak secara etis di bawah seluruh lingkungan, seluruh sosial, ekonomi, politik dan tekanan lainnya yang dapat membuat orang – orang baik menjadi melakukan hal buruk. Dengan demikian, kode perilaku etika formal mengirimkan pesan kepada semua pihak yang terpengaruh bahwa organisasi tidak akan mentoleransi aksi tidak etis yang merupakan konsekuensi terhadap perilaku secara tidak dapat diterima. Tipe komunikasi ini sesuai dengan kerangka kerja kontrol ditentukan dari Committee of Sponsoring Organization of Treadway Commission (COSO), di mana menekankan pada pentingnya menetapkan sebuah ‘nada di puncak’ yang jelas terkait dengan perilaku yang dapat diterima. Sementara pedoman etis tertulis tidak akan mencegah beberapa orang melakukan perilaku tidak etis, ini menjelaskan pendirian organisasi terhadap masalah tersebut. Sama seperti kunci pada pintu, kode etis akan membantu membuat orang – orang jujur menjadi jujur.

Setidaknya ada alasan bagus bagi organisasi untuk mengembangkan kode perilaku etis. Kode perilaku etis berfungsi untuk :

  • Mendefinisikan perilaku yang dapat diterima oleh pihak yang relevan.
  • Mendorong standar praktek tinggi pada organisasi.
  • Memberikan benchmark terhadap anggota organisasi untuk menggunakan evaluasi diri.
  • Membangun kerangka kerja untuk perilaku profesional, kewajiban, dan tanggung jawab.
  • Menawarkan kendaraan untuk identitas pekerjaan, dan
  • Mencerminkan patokan kematangan pekerjaan.

Sangat penting dalam pengembangan kode perilaku etis adalah pencerahan dan penyegaran, ini memaksa organisasi dan anggotanya berpikir tentang nilai, hak dan kewajiban mereka satu sama lain dan masyarakat pada umumnya.

  • Kode Etik Professional Auditor IT

Audit IT adalah bentuk pengawasan dan pengendalian dari infrastruktur teknologi informasi secara menyeluruh. Audit IT ini dapat berjalan bersama – sama dengan audit financial dan audit internal, atau dengan kegiatan pengawasan dan evaluasi lain yang sejenis. Pada mulanya istilah ini dikenal dengan audit pemrosesan data elektronik, dan sekarang audit IT secara umum merupakan proses pengumpulan dan evaluasi dari semua kegiatan sistem informasi dalam perusahaan itu. Istilah lain dari audit IT adalah audit komputer yang banyak dipakai untuk menentukan apakah aset sistem informasi perusahaan itu telah bekerja secara efektif, dan integrative dalam mencapai target organisasinya.

ISACA atau Information Systems Audit and Control Association merupakan perkumpulan atau asosiasi yang anggota – anggotanya terdiri dari Auditors, Indonesia System Auditor dan mereka yang mempunyai minat terhadap control, audit dan security system informasi. Audit sistem informasi dan asosiasi kontrol (ISACA) telah mengundangkan kode etika profesional yang dapat diaplikasikan kepada anggota ISACA dan mereka yang memegang Certified Information System Auditor (CISA). Sepuluh standar etis yang ditentukan oleh ISACA disampaikan di bawah ini. Anggota ISACA dan auditor bersertifikat CISA harus :

  • Mendukung implementasi, mendorong kepatuhan, standar tepat, prosedur, dan kontrol terhadap sistem informasi.
  • Melayani kepentingan pihak yang relevan secara pintar, setia, jujur dan tidak boleh menjadi pihak yang terlibat dalam aktivitas ilegal, atau tidak tepat.
  • Mempertahankan privasi dan kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam tugas mereka kecuali pengungkapan tersebut dibutuhkan oleh otoritas legal. Informasi tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau diberikan kepada pihak yang tidak tepat.
  • Melaksanakan tugas mereka secara obyektif dan independen dan menghindari aktivitas – aktivitas yang merusak, atau mungkin tampak merusak independensi atau obyektivitas mereka.
  • Mempertahankan kompetensi dengan melihat pada bidang auditing dan kontrol sistem informasi.
  • Setuju untuk melakukan hanya aktivitas – aktivitas yang mereka dapat diselesaikan dengan kompetensi profesional.
  • Melakukan tugas dengan due profesional care.
  • Menginformasikan pada pihak yang tepat hasil dari audit sistem informasi dan kerja kontrol yang dilakukan, menunjukkan seluruh fakta material yang diketahui kepada mereka, di mana jika tidak ditunjukkan, dapat mengganggu laporan operasi atau menyembunyikan praktek yang melanggar hukum.
  • Mendukung pendidikan klien, kolega, publik umum, manajemen dan dewan direktur dalam meningkatkan pemahaman mereka tentang kontrol dan auditing sistem informasi.
  • Mempertahankan standar perilaku dan karakter dan tidak melakukan tindakan yang tidak baik terhadap profesi.

Kode etika selanjutnya menetapkan bahwa kegagalan untuk memenuhi dapat menghasilkan investigasi, dan akhirnya tindakan disipliner. Dengan demikian, pedoman tersebut agak komprehensif dan organisasi ISACA memperhatikan secara serius dan seharusnya auditor IT juga demikian.

Sementara masing – masing dari sepuluh standar tersebut secara vital penting, Kami sélanjutnya akan berfokus kepada standar ke tujuh dan delapan, di mana sebagian, menuntut auditor IT untuk melakukan audit secara due profesional care dan melaporkan aksi irregular dan ilegal yang menjadi perhatian mereka kepada pihak yang tepat.

Tindakan irregular merujuk kepada pelanggaran kebijakan corporate atau ketentuan perundang-undangan secara sengaja atau pelanggaran hukum tidak disengaja. Sebuah aksi ilegal menunjukkan pelanggaran hukum. Apakah tipe perilaku yang membentuk aksi ilegal dan irregular? Aksi paling jelas di sini adalah kecurangan, di mana mencerminkan penggunaan penipuan secara sengaja untuk mencapai keuntungan pribadi yang tidak wajar atau melanggar hukum dengan mengorbankan pihak lain. Kejahatan komputer juga akan dikualifikasi sebagai aksi ilegal dan irregular. Aksi lainnya dalam realisme tersebut ketidaksesuaian dengan persetujuan dan kontrak antara organisasi dengan pihak ketiga. Pelanggaran hak kekayaan intelektual juga mencerminkan tindakan irregular dan ilegal, seperti pada ketidakpatuhan terhadap hukum dan regulasi lain. Sebelum membahas isu ini, penting mengetahui kewajiban dan tanggung jawab auditor IT dengan melihat kepada pencegahan, pendeteksian, dan pelaporan tindakan irregular dan ilegal. Cara terbaik untuk memulai investigasi banyak isu seputar tindakan irregular dan ilegal adalah meringkas pedoman auditing ISACA terkait dengan Irregularity and Ilegal Act (dokumen ISACA #30.01.01).

  • Tanggung Jawab Auditor IT Terhadap Tindakan Ireguler dan Ilegal

Pedoman ISACA terhadap auditor IT tentang tindakan irregular dan ilegal secara jelas menunjukkan bahwa auditor tidak memenuhi syarat untuk menentukan apakah tindakan irregular dan ilegal, atau kesalahan telah terjadi. Sebaliknya, karakterisasi dari sebuah aksi sebagai irregular, ilegal atau salah harus dilakukan oleh ahli yang tepat, seperti pengacara atau hakim. Selain itu, seberapa besar aksi tidak biasa yang diamati adalah material terhadap pernyataan keuangan secara keseluruhan di luar lingkup auditor IT; tetapi akuntan publik independen yang berhak untuk membuat keputusan materialitas tersebut. Namun demikian selama audit IT, auditor mungkin menemukan transaksi atau situasi yang tampaknya tidak biasa dan dicurigai bahwa tindakan irregular dan ilegal telah terjadi.

Penting untuk menunjukkan bahwa manajer bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pendeteksian tindakan irregular dan ilegal, bukannya auditor IT. Di luar melaksanakan tanggung jawab mereka terhadap hal ini, manajer harus membangun kebijakan dan prosedur yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku pegawai; membentuk kontrol internal yang tepat, seperti pemisahan otorisasi dan pelaksanaan transaksi yang tepat; dan memastikan kepatuhan terhadap kebijakan, prosedur dan kontrol. Terlepas niat terbaik manajemen dan aksi dalam rangka mencegah dan mendeteksi tindakan irregular dan ilegal, beberapa dapat tergelincir dalam sistem.

Sebuah gambaran umum tentang tanggung jawab auditor IT dengan melihat kepada tindakan irregular dan ilegal adalah sebagai berikut:

  • Merencanakan penugasan audit IT didasarkan pada penilaian level resiko bahwa tindakan irregular dan ilegal mungkin terjadi dan bahwa tindakan tersebut mungkin material untuk menjadi subyek masalah pada laporan auditor IT.
  • Mendesain prosedur audit yang menilai level resiko terhadap tindakan irregular dan ilegal.
  • Mereview hasil prosedur audit untuk indikasi tindakan irregular dan ilegal.
  • Melaporkan kecurigaan tindakan irregular dan ilegal terhadap satu atau lebih pihak berikut
  1. atasan langsung auditor IT dan kemungkinan badan corporate governance, seperti dewan direktur dan komite audit.
  2. Personil yang tepat dalam organisasi, seperti manajer yang setidaknya satu level di atas mereka yang dicurigai melakukan tindakan tersebut;
  3. Jika yang dicurigai manajemen puncak, maka perhatikan badan corporate governance saja
  4. Konsul legal atau ahli eksternal lainnya yang tepat
  • Mengasumsikan bahwa aksi tersebut tidak terisolasi
  • Menentukan bagaimana aksi tergelincir melalui sistem kontrol internal.
  • Memperluas prosedur audit dengan memperhatikan kemungkinan lebih banyak aksi seperti ini.
  • Melakukan prosedur audit tambahan
  • Mengevaluasi hasil dari pengembangan prosedur audit
  • Mengkonsultasikan pada konsul legal dan kemudian badan corporate governance untuk mengestimasi dampak potensial dari tindakan irregular dan ilegal, digunakan secara keseluruhan, pada masalah subyek manajemen, laporan audit, dan organisasi.
  • Melaporkan seluruh fakta dan lingkungan tentang tindakan irregular dan ilegal (apakah dicurigai atau dipertegas) jika aksi tersebut mempunyai efek material terhadap masalah subyek penugasan dan/atau organisasi.
  • Mendistribusikan laporan pada pihak internal yang tepat, seperti manajer yang setidaknya satu level di atas mereka yang dicurigai atau menegaskan untuk menggunakan komite aksi, dan/atau badan corporate governance
  • Merencanakan penugasan audit IT didasarkan pada penilaian level resiko bahwa tindakan irregular dan ilegal mungkin terjadi dan bahwa tindakan tersebut mungkin material untuk menjadi subyek masalah pada laporan auditor IT.
  • Mendesain prosedur audit yang menilai level resiko terhadap tindakan irregular dan ilegal.
  • Mereview hasil prosedur audit untuk indikasi tindakan irregular dan ilegal.
  • Melaporkan kecurigaan tindakan irregular dan ilegal terhadap sat atau lebih pihak berikut
  1. atasan langsung auditor IT dan kemungkinan badan corporate governance, seperti dewan direktur dan komite audit.
  2. Personil yang tepat dalam organisasi, seperti manajer yang setidaknya satu level di atas mereka yang dicurigai melakukan tindakan tersebut;
  3. Jika yang dicurigai manajemen puncak, maka perhatikan badan corporate governance saja
  4. Konsul legal atau ahli eksternal lainnya yang tepat
  • Mengasumsikan bahwa aksi tersebut tidak terisolasi
  • Menentukan bagaimana aksi tergelincir melalui sistem kontrol internal.
  • Memperluas prosedur audit dengan memperhatikan kemungkinan lebih banyak aksi seperti ini.
  • Melakukan prosedur audit tambahan
  • Mengevaluasi hasil dari pengembangan prosedur audit
  • Mengkonsutasikan pada konsul legal dan kemudian badan corporate governance untuk mengestimasi dampak potensial dari tindakan irregular dan ilegal, digunakan secara keseluruhan, pada masalah subyek manajemen, laporan audit, dan organisasi.
  • Melaporkan seluruh fakta dan lingkungan tentang tindakan irregular dan ilegal (apakah dicurigai atau dipertegas) jika aksi tersebut mempunyai efek material terhadap masalah subyek penugasan dan/atau organisasi.
  • Mendistribusikan laporan pada pihak internal yang tepat, seperti manajer yang setidaknya satu level di atas mereka yang dicurigai atau menegaskan untuk menggunakan komite aksi, dan/atau badan corporate governance.

Auditor IT diwajibkan untuk memperhatikan masalah kerahasiaan dengan memperhatikan pihak eksternal. Namun demikian di bawah lingkungan tertentu, auditor IT dapat diwajibkan oleh badan perundang-undangan, atau entitas legal atau legislatif untuk mengungkap tindakan tersebut. Dalam situasi ini, auditor IT seharusnya pertama kali berkonsultasi dengan konsul legal sebelum membuat pengungkapan terhadap pihak eksternal.

Sebelumnya, dijelaskan bahwa auditor IT biasanya tidak memenuhi syarat untuk menentukan status legal dari aksi tidak biasa yang mungkin menjadi perhatian mereka selama audit IT (kecuali auditor IT juga seorang pengacara). Namun demikian, auditor IT seharusnya mempunyai pengetahuan umum, walaupun hanya pemahaman dasar, berkaitan apakah tindakan ‘tidak biasa’ yang diperhatikan di mana mungkin melanggar hukum, karena mereka perlu memutuskan apakah mereka harus merujuk masalah tersebut kepada konsul legal atau investigasi lebih lanjut. Dengan demikian auditor IT perlu mempunyai penetapan terhadap regulasi dan hukum yang relevan dapat mempengaruhi audit IT. Dalam bagian selanjutnya kami secara singkat membahas beberapa ide  tentang masalah tersebut.

2.4 Isu yang dihadapi auditor IT

Isu legal dan Ireguler yang sering dihadapi auditor selama audit luas dan berbeda -beda. Beberapa isu ilegal dan ireguler yang sering di hadapi oleh auditor IT yaitu kontrak legal, kejahatan komputer, hak atas kekayaan intelektual, dan isu privasi.

Kontrak Legal

Apakah kontrak legal itu dan apakah elemen-elemen esensial yang harus diperhatikan dalam sebuah kontrak? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah penting, karena auditor IT kemungkinan menghadapi bermacam-macam kontrak yang dilakukan organisasi dengan pihak eksternal, dan kadang-kadang pihak internal.

Sebuah kontrak adalah sebuah perjanjian antara dua atau lebih orang atau entitas (bisnis, organisasi atau agensi pemerintah) untuk melakukan, atau tidak melakukan, sesuatu dengan imbalan yang diharapkan. Dengan demikian, kontrak adalah janji penting yang dapat ditegakkan oleh hukum. Jika bentuk kontrak dilanggar, hukum dapat memberikan penanganan, di mana meliputi ganti rugi terhadap kerugian atau kinerja spesifik dari bentuk kontraktual.

Untuk sebagian besar, kontrak dibentuk oleh masing-masing negara, pedoman berkaitan dengan legalitas tersebut jatuh ke dalam dua kategori umum: hukum perundang-undangan dan hukum umum. Dan Auditor IT secara khusus mengkaji kontrak tertulis berkaitan dengan pembelian dan penjualan barang (perlengkapan komputer dan aplikasi software) dan jasa (misalnya perjanjian outsourcing dan perjanjian pemeliharaan.). Dengan demikian, setidaknya, auditor harus memastikan bahwa ketiga elemen tersebut ada dalam kontrak: penawaran, pertimbangan, dan penerimaan.

Penawaran harus mengidentifikasi, atau masalah subyek, dari perjanjian secara jelas, bahasa yang tidak kabur. Contoh, jika kontrak adalah untuk kinerja jasa, jasa tersebut harus dijelaskan secara lengkap (misalnya, tempat, kualitas dan sebagainya). Jika kontrak untuk penjualan barang, maka barang harus diidentifikasi dengan benar termasuk kuantitas, di mana adalah bentuk material dari kontrak di bawah UCC). Kontrak harus menjelaskan apakah janji yang berhubungan dengan penjualan barang atau jasa, karena ini akan memastikan bahwa bodi hukum yang benar dapat diaplikasikan bila ada pelanggaran. Juga, orang atau entitas yang menyampaikan penawaran harus diidentifikasi dengan benar. Dengan melihat pada pertimbangan tersebut, kontrak harus menyatakan siapa pemberi penawaran (offeror) yang diharapkan dengan imbalan dari pihak lain (offeree). Contoh, penawaran mungkin untuk membeli hard drive komputer tertentu (dijelaskan secara penuh) dan pertimbangan akan dinyatakan sebagai jumlah uang. berkaitan dengan penerimaan, offeror dan offeree harus menandatangani tanggal kontrak.

Penyederhanaan kontrak ke dalam tulisan dan memasukkan tiga elemen penting yang baru disebutkan hanya berfungsi sebagai bukti dokumenter bahwa pada tanggal tertentu nama pihak yang melakukan kontrak harus ‘mempertemukan pikiran’ dengan melihat pada janji dan pertimbangan yang berhubungan, sebagaimana halnya aturan lainnya yang ada dalam kontrak. Selanjutnya kami akan membahas pada tipe kontrak yang mungkin ditemui auditor IT terkait dengan pegawai dan partner perdagangan.

KONTRAK PARTNER PERDAGANGAN

Kontrak partner perdagangan adalah praktek bisnis umum untuk mengesahkan perjanjian antara perusahaan dengan partner perdagangan (misalnya konsumen dan vendor) melalui kontrak tertulis. Auditor IT akan menangani kontrak partner perdagangan terkait dengan penjualan (konsumen) dan pembelian (vendor) barang dan jasa.

Seperti dibahas sebelumnya, kontrak harus berisi tiga elemen berikut jika ingin ditegakkan secara legal: penawaran (misalnya perusahaan menawarkan untuk menjual atau membeli barang atau jasa), penerimaan (misalnya konsumen setuju untuk membeli atau vendor setuju untuk menjual barang atau jasa dengan harga tertentu), dan pertimbangan (misalnya perusahaan atau konsumen setuju untuk menukar uang dengan barang atau jasa). Sebagai tambahan terhadap elemen-elemen dasar ini, bentuk tambahan dapat dan seharusnya ditulis ke dalam kontrak untuk klarifikasi lebih lanjut terhadap sifat dan pengembangan perjanjian tersebut; namun demikian bentuk ini sepertinya tidak dapat dianggap ‘tidak masuk akal’ dalam mata hukum. Undang-Undang yang menangani bentuk kontraktual tambahan dicakup oleh Unfair contract term act 1977 dan Unfair term in consumer contract regulation 1994. hukum ini dirancang untuk menghentikan pedagang dari memasukkan bentuk tidak wajar dalam kontrak.

Sementara perundang-undangan dan hukum umum berbeda terkait dengan pembelian dan penjualan barang versus jasa, namun demikian ada bentuk kontraktual umum yang dapat diaplikasikan kepada kedua situasi tersebut. sementara kita dapat mengkaji ratusan variasi dari kontrak tersebut,

KEJAHATAN KOMPUTER DAN KEKAYAAN INTELEKTUAL

Kejahatan komputer dan kekayaan intelektual Sebagai sebuah urutan tidak teratur dari korporasi, individual, pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi lain yang setuju pada prinsip-prinsip penggunaan standar protokol komunikasi, internet terbuka luas untuk dieksploitasi. Tidak ada polisi pada Superhighway Informasi yang menunggui dengan penuh kecurigaan. Pada hampir seluruh akun, kurangnya ‘penegakan hukum’ ini membuat user net mengatur sendiri satu sama lain didasarkan pada norma pemerintah. Standar komunitas pada cyberspace tampaknya berbeda-beda secara luas dari standar yang ditemukan pada pojok Main street dan Elm in Any City, Amerika Serikat. sayangnya, cyberspace juga jebakan turis virtual di mana tanpa wajah, tanpa nama sehingga dapat digunakan untuk menimbulkan kekacauan.

KEJAHATAN KOMPUTER

Apakah kejahatan komputer itu? Istilah kejahatan komputer atau cyber crime merujuk kepada penggunaan teknologi komunikasi dan komputer secara langsung atau tidak langsung untuk masuk kepada tindakan kejahatan. Tindakan kejahatan yang dicakup dalam payung luas ini meliputi perilaku yang dianggap oleh negara atau negara bagian ilegal, seperti membajak entitas jaringan, mencuri kekayaan intelektual, mensabotase database perusahaan, menolak melayani orang lain yang menggunakan web site, mempermalukan atau mengirim surat kaleng kepada seseorang, melanggar hak privasi, melakukan mata-mata industrial, membajak software komputer, melakukan kecurangan, dan seterusnya. Bahkan sebuah penyelundup narkotik yang menggunakan internet untuk mengkoordinasi penjualan dan logistik telah melakukan cyber crime, karena penggunaan komputer dan internet adalah insidental, instrumental terhadap kejahatan.

KEKAYAAN INTELEKTUAL

Kekayaan Intelektual terkemas dalam domain cybercrime, sebagai kejahatan komputer besar yang melibatkan pencurian atau penyalahgunaan property tersebut. Property intelektual merujuk kepada penciptaan informasi berharga pada pikiran manusia, seperti penemuan, karya sastra atau artistik, simbol, image, dan desain. Kekayaan Intelektual dibagi lagi ke dalam dua kategori umum: property industrial (misalnya paten dan merek dagang) dan property individual (misalnya hak cipta terhadap karya sastra atau artistik, seperti novel, puisi, film, musik, lukisan, gambar, foto, pahatan, dan desain arsitektural.) Penggunaan teknologi komputer dan komunikasi untuk melakukan pelanggaran hak Kekayaan Intelektual adalah cyberspace.

Paten memberi penemu hak untuk menghalangi pihak lain dari menghasilkan atau menggunakan penemuan atau ciptaan penemu untuk periode waktu tertentu. Bodi hukum utama yang berkaitan dengan paten ditemukan dalam Judul 35 kode Amerika Serikat (USC). Untuk dapat dipatenkan, sebuah penemuan harus baru, bermanfaat dan bersifat nyata. Empat tipe umum dari penemuan intelektual yang dicakup di bawah hukum paten adalah : mesin, produk buatan manusia, komposisi masalah, dan metode pemrosesan. Perlindungan yang ditawarkan oleh paten berakhir untuk perulangan yang tidak dapat diperbaharui dua puluh tahun dari tanggal permohonan.

Merek dagang mencerminkan image berbeda (simbol atau gambar) atau kata-kata yang ditambahkan penjual untuk membedakan dan menjadi identitas asli dari produk mereka. Status merek dagang dapat juga diberikan kepada kemasan unik dan berbeda, kombinasi warna, desain bangunan, gaya produk, presentasi keseluruhan. Juga memungkinkan menerima status merek dagang untuk identifikasi yang bukan pada wajah unik atau berbeda tetapi telah mengembangkan makna sekunder seiring waktu yang diidentifikasi pada produk atau penjual. Pemilik dari merek dagang mempunyai hak eksklusif untuk menggunakannya pada produk yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi produk yang berhubungan. Tanda jasa menerima perlindungan legal sama seperti merek dagang tetapi merupakan alat untuk membedakan jasa bukannya produk. Perlindungan merek dagang ditawarkan di bawah judul 15 dari USC.

Sebuah hak cipta melindungi karya kreatif dari direproduksi, dikerjakan, atau disebarkan oleh orang lain tanpa ijin. Pemilik dari hak cipta mempunyai hak eksklusif untuk mereproduksi karya yang dilindungi, mempersiapkan karya turunan yang hanya mempunyai perubahan kecil terhadap karya yang dilindungi; menjual atau meminjamkan salinan dari karya yang dilindungi kepada publik; menggunakan karya yang dilindungi kepada publik untuk mendapatkan keuntungan; dan menampilkan karya yang mendapatkan hak cipta kepada publik. pengecualian terbatas terhadap eksklusivitas ini muncul untuk tipe ‘penggunaan wajar’ seperti review buku. Kehidupan dari hak cipta dimulai pada saat pekerjaan diciptakan dan berakhir setelah pengarang meninggal plus lima puluh tahun tambahan.

USAHA UNTUK MENGHALANGI CYBERCRIME

Pemerintah federal serius dalam memerangi kejahatan komputer. Contoh, pada 1991 Departemen Pengadilan membentuk Bagian kejahatan komputer dan Kekayaan Intelektual (CCIPS). Seperti dinyatakan pada web site Departemen Keadilan :

Staf pengacara Bagian kejahatan komputer dan Kekayaan Intelektual (CCIPS) terdiri dari selusin pengacara yang berfokus khusus kepada isu yang ditimbulkan oleh kejahatan komputer dan Kekayaan Intelektual. Pengacara memberi nasehat kepada penuntut federal dan agen penegakan hukum; berkomentar terhadap Undang-Undang yang diajukan, mengkoordinasi usaha internasional untuk memerangi kejahatan komputer; kasus litigasi dan melatih seluruh kelompok penegakan hukum. Area keahlian lain yang dimiliki oleh pengacara CCIPS adalah enkripsi, hukum privasi elektronik, pencarian dan penyitaan komputer, E-commerce, investigasi hacker, dan kejahatan kekayaan intelektual.

Selanjutnya, Departemen keadilan mensponsori sebuah program yang disebut dengan Computer Hacking dan Kekayaan Intelektual (CHIP). Ada tiga tujuan dari program ini yaitu memberikan sumberdaya legal kepada penuntut lokal, menawarkan pencegahan regional, dan memberikan pelatihan regional dalam area cybercriming. Komunitas internasional juga secara mendalam memperhatikan tentang cybercrime, dan melakukan usaha bersama untuk membangun hukum dan pedoman internasional dalam hal ini secara berkesinambungan, sebagaimana ditunjukkan oleh usaha dewan Eropa untuk mengundangkan pakta cybercrime global dan baru-baru ini kelompok 8 rapat tentang kejahatan Kekayaan Intelektual transbonder.

Sebuah aksi legislatif kongresional kunci memandu penyelidik dan penuntut federal terhadap pelanggaran kejahatan yang dituduhkan. Contoh, Computer fraud and abuse act (1986) mengklarifikasi definisi dari kecurangan komputer dan penyalahgunaan untuk kejahatan komputer federal dan membuang ambisi legal dan rintangan terhadap penuntutan kejahatan ini. Undang-Undang privasi komunikasi elektronik (ECPA 1986 diundangkan untuk mengalamatkan isu privasi legal seputar penggunaan komputer (Undang-Undang privasi lainnya akan dialamatkan dalam bagian berikut). National information infrastructure protection Act (1996) mengamandemenkan Computer Fraud and Abuse Act 196. Digital Millennium Copyright (1998) dirancang untuk melindungi hak kekayaan intelektual elektronik. Pedoman legal terpenting dari pemerintah federal ditemukan dalam Judul 18 dari USC ‘Kejahatan dan prosedur kriminal’. Bagian berikut dari Judul 18 adalah paling melekat dengan cybercrime :

Kecurangan dan Aktivitas Yang Terkait Dalam Hubungannya Dengan komputer.

Bagian ini diaplikasikan kepada beberapa orang yang secara tahu mengakses komputer tanpa otorisasi atau melebihi akses yang diotorisasi dan dengan demikian mendapatkan informasi yang ada dalam catatan keuangan dari lembaga keuangan, informasi dari departemen atau agensi Amerika Serikat, atau informasi dari komputer yang dilindungi jika perilaku tersebut melibatkan komunikasi antar negara bagian atau asing. Selain itu, bagian ini mencakup beberapa orang yang mempunyai akses terhadap komputer dilindungi tanpa otorisasi atau melebihi akses yang diotorisasi, melakukan perilaku curang, dan mendapatkan segala sesuatu yang berharga. Aksi lainnya yang dicakup dalam bagian ini berhubungan dengan orang yang :

  • Mengetahui penyebab transmisi program, informasi, kode, atau perintah, dan sebagai hasil dari perilaku tersebut, secara sengaja menyebabkan kerusakan tanpa otoritas atau melindungi komputer; atau
  • Secara sengaja mengakses kepada komputer yang dilindungi tanpa otorisasi, dan sebagai hasil dari perilaku tersebut menimbulkan kerusakan

2511- Pencegatan Dan Pengungkapan Komunikasi Elektronik, Kabel Atau Lisan.

Tindakan yang jatuh dalam bagian ini meliputi mereka yang berniat untuk

  1. Secara sengaja mencegat, berusaha mencegat, atau menyuruh orang lain mencegat atau berusaha mencegat, komunikasi elektronik, lisan atau kabel, atau
  2. Secara sengaja menggunakan, berusaha menggunakan, atau menyuruh orang lain menggunakan atau berusaha menggunakan beberapa alat elektronik, mekanis, atau peralatan lainnya untuk mencegat komunikasi oral ketika
  1. Alat tersebut ditambahkan, atau, mentransmisikan sinyal melalui sebuah kabel atau koneksi lainnya yang digunakan dalam komunikasi kabel.
  2. Peralatan tersebut mentransmisikan komunikasi dengan radio atau interferensi dengan transmisi terhadap komunikasi tersebut.

2807-Akses Yang Melanggar Hukum Terhadap Komunikasi Tersimpan.

Aksi terlarang yang jatuh ke dalam bagian ini berhubungan dengan seseorang yang :

  1. Secara sengaja mengakses tanpa otoritas terhadap fasilitas di mana pelayanan komunikasi elektronik digunakan; atau
  2. Secara sengaja melebihi otoritas untuk mengakses fasilitas tersebut; sehingga mendapatkan, mengubah, atau mencegah yang berhak mengakses kepada komunikasi kabel atau elektronik yang disimpan di dalam sistem tersebut.

2702 – Pengungkapan Isi. Bagian ini menentukan sebagai berikut:

  1. Orang atau entitas yang menyediakan pelayanan komunikasi elektronik kepada publik seharusnya tidak dengan terang-terangan menyampaikan kepada orang lain atau entitas isi dari sebuah komunikasi yang disimpan secara elektronik oleh pelayanan tersebut, atau
  2. seseorang atau entitas yang memberikan pelayanan komputer dari jauh kepada publik seharusnya tidak secara terang-terangan mengungkap kepada orang lain atau entitas isi dari beberapa komunikasi yang dilakukan atau disimpan dalam pelayanan tersebut.

KEJAHATAN INFORMASI CYBER

Ketika informasi elektronik dikompromi, percabangan kejahatan tersebut jatuh ke dalam tiga kategori luas.

  • Sebuah pelanggaran kerahasiaan terjadi ketika orang dengan terang-terangan mengakses komputer tanpa otorisasi ketika orang melebihi akses yang diotorisasi. Kerahasiaan juga dilanggar ketika hacker melihat atau menyalin informasi pribadi atau kekayaan, seperti nomor keamanan sosial, nomor kartu kredit, dan file medis.
  • Sebuah pelanggaran integritas terjadi ketika sebuah sistem atau data dimodifikasi, diubah atau dirusak secara sengaja atau secara salah, tanpa adanya otorisasi. Contoh, virus mengubah sumber kode untuk memungkinkan hacker mendapatkan akses tidak sah terhadap komputer.
  • Sebuah pelanggaran ketersediaan terjadi ketika user dicegah sc tepat waktu mengakses data atau sistem terpercaya, seperti penolakan terhadap pelayanan.

CYBERCRIME DAN AUDITOR IT

Apakah tipe aktivitas cybercrime atau isu yang mungkin dihadapi oleh auditor ? Sementara jawaban terhadap pertanyaan ini dapat mengisi seluruh buku, ilustrasi yang disampaikan dalam figure 2-4 menawarkan pemahaman tentang bagaimana dan mengapa auditor IT perlu mempunyai pengetahuan umum tentang hukum cybercrime, karena mereka kemungkinan menghadapi aktivitas-aktivitas mencurigakan tentang masalah ini atau mereka mungkin mampu membantu perusahaan/klien mereka mengatasi aksi potensial dari cybercrime. Beberapa dari isu ini disoroti dalam figure 2-4, seperti virus, hacking, dan penolakan serangan, akan dibahas secara lebih mendalam pada bagian selanjutnya dari buku ini.

Digitisasi informasi pribadi secara dramatis meningkat di masa lalu, dengan demikian menjadi semakin mudah bagi orang dan organisasi untuk secara ilegal mendapatkan informasi pribadi tentang individual. Dalam bagian selanjutnya, kami akan mengkaji usaha yang dirancang untuk melindungi privasi individual dan menjelaskan bagaimana dan mengapa auditor IT harus memperhatikan hak privasi.

ISU PRIVASI

Menariknya, kata privasi tidak digunakan dalam teks konstitusi Amerika Serikat. namun demikian, Pengadilan Tertinggi telah menemukan konsep privasi dilindungi oleh sejumlah amandemen. Dengan demikian privasi dikenal sebagai ‘hak penumbra’. Privasi adalah esensi dari Bill of Right, dan dengan demikian menjamin haknya kepada seluruh warga negara Amerika Serikat. Hukum federal utama dan regulasi yang menangani tentang hak privasi ditunjukkan dalam figure 2.5. Ada plethora dari hukum dan regulasi negara terkait dengan hak privasi, juga ratusan usaha legislatif pada level negara bagian dan federal yang dimaksudkan untuk melindungi informasi pribadi lebih lanjut. Hukum dan regulasi yang ada masih mempunyai lingkup yang agak sempit, karena hukum tersebut secara khusus dibuat dalam merespon terhadap masalah yang dianggap spesifik, dengan demikian mereka biasanya menawarkan perlindungan sempit dalam contoh khusus. Namun demikian, bodi hukum yang berhubungan dengan privasi berkembang secara cepat, karena privasi tersebut menjadi masalah serius dalam dunia digital. Namun demikian Uni Eropa, berusaha menetapkan kerangka kerja komprehensif terkait dengan hak privasi.

Komunitas internasional juga bekerja keras untuk melindungi hak privasi individual, seperti tercermin dalam pendekatan berbasis luas dari Uni Eropa untuk melindungi informasi pribadi rahasia. Departemen Pengadilan Amerika Serikat menjelaskan usaha Uni Eropa tersebut sebagai berikut :

Pengarahan Perlindungan Data dari Komisi Eropa berpengaruh sejak Oktober 1998, dan akan melarang transfer data pribadi kepada negara-negara non uni Eropa yang tidak memenuhi kecukupan standar perlindungan privasi. Sementara Amerika Serikat dan uni Eropa mempunyai tujuan sama untuk meningkatkan perlindungan privasi terhadap warga negara, Amerika Serikat menggunakan pendekatan berbeda terhadap privasi. Amerika Serikat menggunakan pendekatan sektoral yang mengandalkan pada campuran Undang-Undang, regulasi, dan regulasi diri. Namun demikian uni Eropa mengandalkan kepada Undang-Undang komprehensif, contoh menuntut penciptaan agensi perlindungan data pemerintah, registrasi database dengan agensi tersebut, dan dalam beberapa contoh, persetujuan awal terhadap pemrosesan data pribadi. Sebagai hasil dari pendekatan privasi berbeda ini, Directive dapat secara signifikan menghalangi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk melakukan banyak transaksi trans-atlantik.

Untuk menjembatani pendekatan privasi berbeda ini dan memberikan alat-alat untuk merampingkan organisasi Amerika Serikat dalam memenuhi Directive, Departemen perdagangan Amerika Serikat, dengan berkonsultasi kepada komisi Eropa, mengembangkan kerangka kerja ‘safe harbor’. Save harbor ini disetujui oleh EU tahun ini – adalah sebuah cara penting bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk menghindari pengalaman interupsi dalam bisnis mereka terkait dengan EU atau menghadapi penuntutan oleh otoritas Eropa di bawah hukum privasi Eropa. Sertifikasi terhadap safe harbor akan memastikan bahwa organisasi EU mengetahui bahwa perusahaan mereka memberikan perlindungan privasi yang memadai, seperti didefinisikan dalam Directive.

Seperti yang terlihat, menjadi semakin sulit untuk mengkoordinasi regulasi dan Undang-Undang privasi di seluruh dunia. Amerika Serikat merespon terhadap kriteria privasi Eropa dengan membangun ketentuan ‘safe harbor’ untuk perusahaan Amerika Serikat, di mana disetujui oleh uni Eropa pada 2000. Aplikasi sertifikasi safe harbor bersifat sukarela pada perusahaan Amerika Serikat. perusahaan-perusahaan yang diberi sertifikat harus setuju untuk tetap patuh terhadap tujuh aturan safe harbor yang ditunjukkan dalam figure 2-6.

AICPA telah mulai melakukan inisiatif yang dimaksudkan untuk menentukan peranan profesi yang semakin rumit, yang terpenting, dunia tentang hak privasi individual. Dalam hal ini, AICPA membentuk sebuah komite, disebut Angkatan Tugas Privasi AICPA, untuk melihat isu yang berhubungan dengan privasi. Angkatan tugas mendefinisikan privasi sebagai berikut:

Hak dan kewajiban individual dan organisasi dengan melihat kepada pengumpulan, penggunaan, pengungkapan, dan penahanan informasi yang dapat diidentifikasi secara pribadi

Hubungan antara hak privasi individual dan organisasi (nirlaba, for profit, dan pemerintah) adalah bahwa manajer yang bertanggung jawab terhadap informasi tersebut diwajibkan untuk membentuk kontrol internal yang memadai yang dimaksudkan untuk melindungi kerahasiaan informasi pribadi yang dikumpulkan selama urusan bisnis normal. Hubungan antara organisasi dengan profesi akuntansi adalah bahwa AICPA percaya bahwa akuntan independen berhak melakukan tugas privasi yang dirancang untuk memastikan bahwa kontrol yang berhubungan dengan privasi dibangun dan dioperasikan secara efektif.

Apakah tipe informasi privasi yang dilindungi ? Beberapa informasi yang dapat diidentifikasi secara pribadi, faktual atau subyektif, yang dikumpulkan oleh organisasi (nirlaba, for profit, pemerintah) jatuh ke dalam realisme informasi pribadi. Sementara spesifikasi informasi yang dapat diidentifikasi secara pribadi yang dicakup dalam hukum privasi dan regulasi berbeda-beda tergantung kepada lingkungannya, sebuah daftar contoh dari informasi yang dilindungi adalah sebagai berikut:

  1. Faktual: usia, nama, penghasilan, etnisitas, golongan darah, image biometric, DNA, nomor kartu kredit, informasi pinjaman, dan catatan medis
  2. Subyektif: opini, evaluasi, komentar, aksi disipliner dan perselisihan

Kuncinya adalah bahwa informasi tersebut dianggap pribadi jika dapat secara khusus dikaitkan dengan atau diidentifikasi oleh individual.

Peranan auditor dalam privasi adalah memastikan bahwa manajemen membuat, mengimplementasikan, dan mengoperasikan kontrol internal yang kuat di mana dimaksudkan untuk melindungi informasi pribadi yang dikumpulkan dan disimpan selama bisnis normal. Khususnya sejak ledakan perhatian dan regulasi tentang hak privasi pada informasi digital, auditor IT sangat memenuhi syarat untuk menilai kekuatan dan efektivitas kontrol yang dirancang untuk melindungi informasi yang dapat diidentifikasi dalam organisasi.

 

BAB III

PENUTUP

Istilah audit IT digunakan secara umum untuk menggambarkan dua jenis aktivitas yang berbeda yang terkait dengan komputer. Salah satu penggunaan istilah ini adalah untuk menggambarkan proses pengkajian ulang dan pengevaluasian pengendalian internal dalam sistem informasi. Jenis kegiatan ini digambarkan sebagai auditing melalui komputer. Penggunaan umum lainnya adalah untuk menggambarkan penggunaan komputer oleh seorang auditor untuk melakukan beberapa pekerjaan audit yang biasanya akan dikerjakan secara manual. Jenis aktivitas ini digambarkan sebagai auditing dengan komputer.

Teknologi audit sistem informasi telah berkembang seiring perkembangan sistem komputer. Namun demikian, tidak terdapat teknologi auditing secara keseluruhan. Sebaliknya, terdapat beberapa teknologi yang dapat digunakan dengan cukup baik untuk mencapai tujuan audit. Teknologi-teknologi audit sistem informasi berbada satu sama lain, demikian juga keahlian teknis yang diperlukan untuk menggunakan teknologi-teknologi tersebut. Beberapa teknologi terkait erat dengan biaya yang cukup signifikan untuk diimplementasikan.

  

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Kemal. 2010. Etika Profesi dalam Dunia Bisnis dan Teknologi Informasi. Jakarta Pebelajar Presindo.

ISACA 2013. COBIT Proces Assessment Model (PAM) : Using COBIT 5, Rolling Meadows, United State of America.

Subakti, Herison. 2012 Managing Control Object for IT (COBIT) Sebagai Standar Framework Pada Proses Pengolahan IT-governance dan Audit Sistem Informasi.Jurnal Teknologi informasi, Vol. 7, 1-14.

Wahyono, Teguh. 2006 Etika Komputer dan Tanggung Jawab Profesional di Bidang Teknologi Informas. Yogyakarta :Andi Offset

http://www.academia.edu/9685140/Pengertian_Kode_Etik_Profesi

 

Pengungkapan dan Transparansi Laporan Keuangan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

Laporan keuangan untuk tujuan umum adalah laporan keuangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna laporan tersebut.Laporan keuangan untuk tujuan umum termasuk laporan keuangan yang disajikan terpisah atau yang disajikan dalam dokumen publik lainnya seperti laporan tahunan atau prospectus.Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan biasanya menyajikan informasi mengenai perusahaan yang meliputi aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian serta arus kas. Informasi tersebut beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas pada masa depan khusunya dalam hal waktu dan kepastian yang diperoleh kas dan setara kas.

Agar hal tersebut dapat dicapai maka diperlukan suatu pengungkapan yang jelas mengenai data akuntansi dan informasi lainnya yang relevan. Misalnya kepada siapa informasi keuangan disajikan, apa yang perlu diungkapkan, tujuan pengungkapan dan bagaimana informasi tersebut diungkapkan merupakan bagian penting dalam pelaporan keuangan.

Dalam kerangka dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) disebutkan bahwa pemakai laporan keuangan meliputi investor, karyawan, pemerintah serta lembaga keuangan, dan masyarakat. Kemudian dalam pengambilan keputusan ekonomi dipengaruhi banyak faktor, misalnya keadaan perekonomian, politik dan prospek industri.

Adapun kualitas dalam pengambilan keputusan itu dipengaruhi oleh kualitas pengungkapan perusahaan yang diberikan melalui laporan tahunan (Annual Report) agar informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat dipahami dan tidak menimbulkan salah interpretasi, maka penyajian laporan keuangan harus disertai dengan pengungkapan yang cukup (Adequate disclosure).

Catatan atas laporan keuangan merupakan media untuk pengungkapan yang diharuskan dalam standar akuntansi dan yang tidak dapat disajikan dalam neraca, laporan laba rugi atau laporan arus kas.Sehingga keberadaan dari disclosure atau pengungkapan dalam perusahaan sangat penting karena pada kondisi ketidakpastian pasar, nilai informasi yang relevan dan realiable tercermin di dalamnya.

Sedangkan dalam mekanisme pasar modal, pengungkapan badan usaha merupakan suatu cara untuk menyalurkan pertanggung jawaban perusahaan kepada para investor untuk memudahkan alokasi sumber daya yang menunjukkan laporan tahunan (Annual Report) berupa media yang sangat penting untuk menyampaikan Corporate Disclosure (pengungkapan pada laporan tahunan).

1.2     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa yang dimaksud dengan pengungkapan?
  2. Bagaimana pengungkapan dalam laporan keuangan ?
  3. Apa yang dimaksud dengan transparansi?
  4. Bagaimana transparansi pada laporan keuangan?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1     Pengungkapan

  • Pengertian Pengungkapan

Pengungkapan laporan keuangan dalam arti luas berarti penyampaian (release) informasi.Sedangkan menurut para akuntansi memberi pengertian secara terbatas yaitu penyampaian informasi keunagan tentang suatu perusahaan di dalam laporan keuangan biasanya laporan tahunan.

Laporan tahunan (Annual Report) media utama penyampaian informasi oleh manajemen kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Laporan tahunan mengkomunikasikan kondisi keuangan dan informasi lainnya kepada pemegang saham, kreditor, dan stakeholders llainnya.Laporan tahunan merupakan mencakup hal-hal seperti pembahasan dan analisis manajemen, catatan kaki dan laporan pelengkap.

Pengungkapan adalah informasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai keadaan perusahaan.Pengungkapan semua informasi didalamnya harus diungkapkan termasuk informasi kuantitatif (seperti komponen persediaan dalam nilai mata uang), dan komponen kualitatif (seperti tuntutan hukum). Menurut Securities and Exchange Commission (SEC), setiap kejadian yang terjadi dengan tiba-tiba yang dapat mempengaruhi posisi keuangan harus diungkapkan secara khusus (GAAP,1998:42) untuk membantu para pengguna laporan tahunan.

Definisi pengungkapan (disclosure) menurut Siegel dan Shim (1994:147) adalah pengungkapan atas informasi yang diberikan sebagai lampiran pada laporan keuangan sebagai catatan kaki atau tambahan.Informasi ini menyediakan penjelasan yang lebih lengkap mengenai posisi keuangan, hasil operasi, dan kebijakan perusahaan.Informasi penjelasan mengenai kesehatan keuangan dapat juga diberikan dalam laporan pemeriksaan.Semua materi harus disingkapkan termasuk informasi kuantitatif maupun kualitatif yang sangat membantu pengguna laporan.

Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure principle) atau prinsip keterbukaan adalah menyajikan semua informasi dalam laporan keuangan yang dapat memengaruhi pemahaman pembaca.Penafsiran atas prinsip ini sangat subyektif dan berpotensi menyebabkan terlalu banyak informasi yang disajikan.Oleh karena itu, prinsip materialitas digunakan agar hanya mengungkapkan informasi tentang peristiwa yang mungkin berdampak material terhadap posisi atau hasil keuangan entitas.

Kata disclosure memiliki arti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan (Ghozali dan Chariri, 2007).Bila dikaitkan dengan pengungkapan informasi, disclosure mengandung pengertian bahwa pengungkapan informasi tersebut harus memberikan penjelasan yang cukup dan bisa mewakili keadaan yang sebenarnya dalam perusahaan. Dengan demikian, informasi harus lengkap, jelas, akurat, dan dapat dipercaya dengan mencitrakan kondisi yang sedang dialami perusahaan, baik informasi keuangan maupun non-keuangan, sehingga tidak ada pihak yang akan dirugikan.

Pengungkapan dapat mencakup hal-hal yang belum dapat dihitung secara tepat, seperti sengketa pajak dengan Pemerintah atau litigasi dengan pihak lain. Pengungkapan penuh juga berarti bahwa kita harus selalu melaporkan kebijakan akuntansi yang ada, serta perubahan atas kebijakan tersebut (misalnya, perubahan metode penilaian aset atau metode depresiasi), transaksi non-moneter yang terjadi, hubungan dengan pihak afiliasi bisnis yang memiliki volume transaksi signifikan, jumlah aset diagunkan, jumlah kerugian material yang disebabkan oleh biaya yang lebih rendah dari nilai pasar, uraian tentang kewajiban penghentian pengoperasian aset, fakta dan keadaan yang menyebabkan penurunan goodwill, dll.

  • Ruang Lingkup Pengungkapan

Berdasarkan PP Nomor 71 tahun 2010, pengungkapan laporan keuangan yang disusun pemerintah di Indonesia menggunakan prinsip pengungkapan lengkap, dimana laporan keuangan harus menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan tersebut dapat ditempatkan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan atau pada Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).

Ada dua jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan oleh standar dan regulasi, yaitu :

  1. Pengungkapan wajib (mandatory disclosure)

Menurut Murni (2004:193), pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah pengungkapan yang diharuskan dalam laporan tahunan menurut peraturan Bapepam. Pengungkapan Wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku.Peraturan tentang standar pengungkapan informasi bagi perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik yaitu Peraturan No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan dan Peraturan No.VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan.Peraturan tersebut diperkuat dengan Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-17/PM/1995, yang selanjutnya diubah melalui Keputusan Ketua Bapepem No.Kep-38/PM/1996 yang berlaku bagi semua perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik.Peraturan tersebut diperbaharui dengan Surat Edaran Ketua Bapepam No.SE-02/PM/2002 yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik untuk setiap jenis industri.

  1. Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)

Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang tidak diwajibkan oleh Bapepam, dengan kata lain pengungkapan yang melebihi dari yang diwajibkan.Menurut Alan Levinsohn (2001), pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) dibagi mejadi 5 kategori, yaitu :

  1. Data bisnis

Meliputi operasi operasi dan pengukuran kinerja level atas.

  1. Analisis manajemen mengenai data bisnis

Meliputi alasan -alasan perubahan pada operasi perubahan serta mencantumkan data yang terkait serta dampak trend bisnis pada perusahaan.

  1. Forward looking information

Meliputi peluang, resiko dan termasuk rencana-rencana manajemen.

  1. Informasi mengenai manajemen dan shareholders

Meliputi informasi mengenai direktur, manajemen, dan pemegang saham.

  1. Latar belakang perusahaan

Meliputi tujuan perusahaan dan ruang lingkup perusahaan.

Salah satu cara meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah melalui pengungkapan sukarela secara lebih luas untuk membantu investor dalam memahami strategi bisnis manajemen. Pengungkapan Sukarela merupakan pengungkapan butir-butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan yang berlaku.Sedangkan dari sumber PSAK dapat disimpulkan bahwa informasi lain atau informasi tambahan (telaahan keuangan yang menjelaskan karakteristik utama yang mempengaruhi kinerja perusahaan, posisi keuangan perusahaan, kondisi ketidakpastian, laporan mengenai lingkungan hidup, laporan nilai tambah) adalah merupakan pengungkapan yang dianjurkan (tidak diharuskan) dan diperlukan dalam rangka memberikan penyajian yang wajar dan relevan dengan kebutuhan pemakai.

Luas pengungkapan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, sosial budaya suatu negara, teknologi informasi, kepemilikan perusahaan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Ada tiga konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu:

  1. Adequate disclosure (pengungkapan cukup)

Yaitu pengungkapan yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku, dimana angka – angka yang disajikan dapat diinterpretasikan dengan benar oleh investor.

  1. Fair disclosure (pengungkapan wajar)

Pengungkapan wajar secara tidak langsung merupakan tujuan etisagar memberikan perlakuan yang sama kepada semua pemakai laporandengan menyediakan informasi yang layak terhadap pembaca potensial.

  1. Full disclosure (pengungkapan penuh)

Pengungkapan penuh menyangkut kelengkapan penyajian informasiyang digunakan secara relevan.Pengungkapan penuh memiliki kesanpenyajian informasi secara melimpah sehingga beberapa pihakmenganggapnya tidak baik.

Purnomosidhi (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan suatu framework untuk kepentingan pengungkapan sukarela berdasarkan informasi yang dibutuhkan investor yang didasari oleh Laporan Jenkin (AICPA 1994), yaitu :

  1. Data keuangan dan non keuangan
  2. Analisis data keuangan dan non keuangan
  3. Informasi yang berorientasi pada masa depan
  4. Informasi tentang manajer dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan
  5. Latar belakang perusahaan
  6. Dimensi modal intelektual

Menurut PSAK nomor 1 Ayat 74, informasi mengenai manajemen dan shareholders yang meliputi susunan nama anggota direksi dan komisaris merupakan mandatory disclosure (pengungakapan wajib). Begitu pula halnya dengan latar belakang perusahaan yang meliputi tujuan perusahaan dan bidang usaha utama perusahaan (ruang lingkup) merupakan mandatory disclosure (pengungkapan wajib).

Apabila sebuah perusahaan memberikan pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) secara sekaligus, berarti perusahaan tersebut memberikan pengungkapan secara penuh (full disclosure). Pengungkapan penuh (full disclosure) harus mengungkapkan :

  1. Prinsip pengungkapan penuh, yaitu peningkatan persyaratan pelaporan dan pengungkapan diferensial.
  2. Catatan atas laporan keuangan, mengenai kebijakan akuntansi dan catatan- catatan umum.
  3. Masalah pengungkapan, yang terdiri dari pengungkapan transaksi atau peristiwa khusus, peristiwa selain tanggal neraca, perusahaan yang terdiversifikasi, dan laporan intern.
  4. Laporan auditor dan manajemen.
  5. Masalah pelaporan masa berjalan, yaitu pelaporan tentang penjualan dan proyeksi, pelaporan keuangan melalui internet untuk pilihan akuntansi dan pelaporan.

Full disclosure principle mengharuskan pengungkapan semua keadaan dan kejadian yang membuat suatu perbedaan pada pengguna laporan (Weygandt, Kieso &Kimmel, 199, p.526).Pada kenyataannnya banyak perusahaan berusaha membatasi tingkat pengungkapan dari laporan tahunan. Hal ini disebabkan oleh ketakutan manajeman akan adanya free riding, dimana adanya pihak tertentu yang memanfaatkan informasi yang potensial untuk tujuan kurang baik bagi perusahaan yang bersangkutan lagi pula bila dilihat dari sisi biaya, penyediaan informasi tambahan memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan biasanya keuntungan dari adanya informasi itu sendiri lebih rendah dari biaya yang dibutuhkan, sebaliknya pembatasan tingkat pengungkapan dapat menyebabakan asimetri informasi, dimana salah satu pihak dalam hal ini manajemen perusahaan memiliki informasi lebih banyak dari pihak  lain.  Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan batasan-batasan tingkat pengungkapan suatu perusahaan tidaklah mudah.

Special commite on financial reporting (AICPA), mengindikasikan bahwa para pemakai mempunyai kebutuhan informasi yang berbeda, dan tidak semua perusahaan harus melaporkan seluruh unsur informasi. Untuk itu untuk memenuhi kebutuhan pemakai yang berubah-ubah, pelaporan harus :

  1. Meyediakan informasi yang lebih mengacu kemasa depan tentang perencanaan, peluang atau kesempatan, resiko dan ketidakpastian.
  2. Memusatkan perhatian pada factor -faktor yang menciptakan nilai yang bersifat jangka panjang, termasuk ukuran nonkeuangan yang menunjukkan bagaimana proses bisnis kunci berjalan.
  3. Menyesuaikan dengan lebih baik antara informasi yang dilaporkan untuk pihak eksternal dengan informasi yang dilaporkan secara internal.

Tujuan dan Manfaat dari pengungkapan laporan keuangan

  1. Tujuan

Perusahaan besar umumnya menjadi sorotan banyak pihak, baik dari masyarakat secara umum maupun pemerintah, perusahaan dengan ukuran yang lebih besar relatif lebih diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sehingga mereka berupaya menyajikan pengungkapan yang lebih baik untuk dapat meminimalisasi tekanan-tekanan pemerintah.Oleh karena itu, perusahaan besar tersebut dituntut untuk mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan kecil.

Informasi itu sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada pihak eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap.Perusahaan besar berkemungkinan memperoleh keuntungan-keuntungan dengan mengungkapkan informasi yang memadai dalam laporan tahunan, misalnya kemudahan untuk memasarkan saham dan kemudahan memperoleh dana dari pasar modal. Sedangkan perusahaan kecil umumnya sulit untuk mendapatkan dana dari pasar modal, mengingat pembatasan ukuran aset bila terjun ke bursa, sehingga perusahaan kecil tidak dapat menikmati keuntungan dari pengungkapan informasi yang memadai.

Adapun yang menjadi tujuan dari pengungkapan dinyatakan sebagai berikut :

  1. Untuk menguraikan hal-hal yang diakui dan memberikan pengukuran yang relevan atas hal-hal tersebut di luar pengukuran yang digunakan dalam laporan keuangan.
  2. Untuk menguraikan hal-hal yang diakui dan untuk memberikan pengukuran yang bermanfaat.
  3. Untuk memberikan informasi yang akan membantu investor dan kreditor menilai resiko dan potensial dari hal-hal yang diakui dan tidak diakui.
  4. Untuk memberikan informasi penting yang memungkinkan para pengguna laporan keuangan untuk melakukan perbandingan dalam satu tahun dan diantara beberapa tahun.
  5. Untuk memberikan informasi mengenai arus kas atau keluar dari masa depan.
  6. Untuk membantu para investor menilai pengembalian dari investasi mereka.
  7. Manfaat

Tujuan dari pengungkapan oleh perusahaan bermanfaat untuk beberapa kepentingan yaitu oleh perusahaan pencari laba (profit making interpreise) berdasarkan pada tiga kategori kepentingan yaitu kepentingan perusahaan, kepentingan investor, dan kepentingan nasional.

Adapun penjelasannya sebagai berikut :

  1. Manfaat bagi kepentingan perusahaan adalah dapat diperoleh biaya modal yang lebih rendah yang berkaitan dengan berkurangnya resiko informasi bagi investor dan kreditur. Dengan demikian investor dan kreditor bersedia membeli sekuritas dengan harga tinggi, akibat dari harga sekuritas yang tinggi tersebut biaya modal perusahaan menjadi rendah.
  2. Bagi investor pengungkapan bermanfaat untuk mengurangi resiko informasi berupa pengurangan kesalahan pembuatan keputusan investasi. Sehingga investor menjadi lebih percaya kepada perusahaan yang memberikan pengungkapan secara lengkap, akibatnya sekuritas perusahaan menjadi lebih menarik bagi banyak investor dan harganya akan naik.
  3. Bagi kepentingan Nasional, yaitu berupa adanya biaya modal perusahaan yang rendah dan berkurangnya risiko informasi yang dihadapi investor. Dengan diperolehnya biaya modal yang lebih rendah oleh perusahaan, pertumbuhan ekonomi dapat meningkat, kesempatan kerja meluas, dan pada akhirnya standar kehidupan secara nasional akan meningkat pula. Dengan berkurangnya resiko informasi yang dihadapi investor, pasar modal menjadi likuid. Likuiditas pasar modal ini diperlukan oleh perekonomian nasional karena dapat membantu alokasi modal secara efektif.
    • Pengungkapan (disclosure) dalam Laporan Keuangan

Tujuan yang positif dari Disclosure adalah untuk memberikan informasi yang penting dan relevan kepada para pemakai laporan keuangan, sehingga dapat membantu mereka dalam membuat keputusan dengan cara yang terbaik. Ini berarti bahwa informasi yang tidak material atau relevan harus diabaikan apabila kita mengaharapkan bahwa informasi yang disajikan itu mempunyai makna dan dapat dimengerti.

Sejalan dengan tujuan dasar akuntansi, salah satu tujuan yang dicapainya adalah penyajian informasi yang cukup sehingga perbandingan dari hasil yang diharapkan dapat dilakukan. Kemungkinan membandingkan (comparability) dapat dicapai dengan dua cara, yaitu :

  1. Penyajian disclosure yang cukup mengenai bagaimana angka-angka akuntansi diukur dan dihitung.
  2. Memberikan kemungkinan kepada investor untuk melakukan rangkai dari berbagai masukan kedalam decision

Laporan keuangan perusahaan ditujukan kepada pemegang saham, investor, dan kreditur.Disamping ketiga pihak tersebut, pengungkapan juga diberikan kepada pegawai, konsumen, pemerintah dan masyarakat umum, tetapi pihak-pihak ini dipandang sebagai penerima kedua dari laporan keuangan dan bentuk-bentuk lain pengungkapan.

Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) Nomor 1, menyatakan bahwa laporan keuangan harus menyajikan informasi yang berguna untuk investor dan calon investor, kreditur, dan pemakai lain dalam pengambilan keputusan investasi, kredit dan keputusan lain yang sejenis yang rasional. Informasi tersebut harus dapat dipahami oleh mereka yang mempunyai wawasan bisnis dan ekonomi.Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan agar dapat dipahami dan tidak menjadikan salah intepretasi, maka penyajian laporan keuangan harus disertai dengan disclosure yang cukup (adequate disclosure), artinya informasi yang disajikan tidak berlebihan namun juga tidak kurang sehingga tidak menyesatkan orang yang membacanya.

Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengungkapan wajib (Mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (Voluntary disclosure).Keputusan investasi sangat tergantung dari mutu dan luas pengungkapan yang disajikan dalam laporan tahunan.Mutu dan luaspengungkapan laporan tahunan masing-masing berbeda.Perbedaan ini terjadi karena karakteristik dan filosofi manajemen masing-masing perusahaan juga berbeda.Selain digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan disclosure dalam laporan tahunan juga digunakan sebagai sarana pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

Salah satu cara untuk mengukur kualitas pengungkapan yang digunakan dalam penelitian-penelitian yang sudah dilakukan adalah berdasarkan daftar item pengungkapan yang terdapat dalam laporan tahunan. Pengukuran kualitas pengungkapan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu memberi bobot kepada setiap item dan tanpa memberi bobot pada item pengungkapan tersebut. Pengukuran kualitas pengungkapan tanpa pembobotan telah dilakukan oleh beberapa peneliti misalnya Subiyantoro (1997), dan Suripto (1998).

Suatu studi empiris membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan sebenarnya enggan untuk memperluas pengungkapan laporan keuangan tanpa tekanan dari profesi akuntansi atau pemerintah.Akan tetapi, pengungkapan merupakan hal yang vital bagi pengambilan keputusan optimal para investor dan untuk pasar modal yang stabil. Pengungkapan informasi yang relevan cenderung untuk mencegah kejutan yang mungkin dapat mengubah secara total masa depan perusahaan. Hal itu juga cenderung memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada para investor terhadap informasi keuangan yang disediakan bagi mereka (Hendriksen, 1997).

Disclosure meliputi seluruh proses pelaporan keuangan. Ada beberapametode untuk melakukan disclosure. Pemilihan metode yang terbaiktergantung pada sifat informasi yang akan disampaikan dan penting ataukurang pentingnya informasi tersebut. Beberapa metode yang lazim digunakan menurut Hendriksen (2002) :

  1. Bentuk dan cara pengaturan ikhtisar-ikhtisar keuangan.
  2. Istilah-istilah yang digunakan adalah penyajian secara terperinci.
  3. Info yang disajikan dalam ikhtisar keuangan yang bersangkutandalam bentuk tanda kurung (parenthefical information).
  4. Catatan kaki (foot notes) atas ikhtisar dan perincian atau daftartambahan.
  5. Supplementary statement (informasi tambahan yang disajikan dalambentuk yang agak berbeda diikhtisar keuangan dasar, misalnya namadan ikhtisar laba rugi dengan indeks harga konsumen).
  • Transparansi
    • Pengertian Transparansi

Krina (2003:13) mendefinisikan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan.Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik.

Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu komunikasi publik oleh pemerintah, dan hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusan – keputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan tersebut.

Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi yang relevan juga sebagai “watchdog” atas berbagai aksi pemerintah dan perilaku menyimpang dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh kepentingan bisnis.

Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.

Menurut Mardiasmo (2004:30), transparansi berarti keterbukaan (opennsess) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan seumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Menurut Hari Sabarno (2007:38) transparansi merupakan salah satu aspek mendasar bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Perwujudan tata pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintah. Keterbukaan dan kemudahan informasi penyelenggaran pemerintahan memberikan pengaruh untuk mewujudkan berbagai indikator lainnya.

Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu Salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan  Upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Agus Dwiyanto (2006:80) mendefinisikan transparansi sebagai penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi-informasi yang akurat dan memadai.Dari pengertian tersebut dijelaskan bahwa transparansi tidak hanya sekedar menyediakan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, namun harus disertai dengan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut.

Agus Dwiyanto mengungkapkan tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Pertama, mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Persyaratan, biaya, waktu dan prosedur yang ditempuh harus dipublikasikan secara terbuka dan mudah diketahui oleh yang membutuhkan serta berusaha menjelaskan alasannya. Indikator kedua merujuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholders yang lain. Aturan dan prosedur tersebut bersifat simple, straightforwardand easy to apply (sederhana, langsung dan mudah diterapkan) untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi.Indikator ketiga merupakan kemudahan memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.Informasi tersebut bebas didapat dan siap tersedia (freely dan readily available).

Dengan melihat uraian di atas, prinsip transparansi pada pemerintahan paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator sebagai berikut:

  1. Adanya sistem keterbukaan dan standarisasi yang jelas dan mudah dipahami dari semua proses-proses penyelenggaraan pemerintahan.
  2. Adanya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang proses-proses dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  3. Adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sektor publik.

Salah satu yang menjadi persoalan bangsa pada akhir masa orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa rezim kekuasaannya.Korupsi sebagai tindakan baik dilakukan individu maupun lembaga yang secara langsung merugikan Negara, merupakan salah satu yang harus dihindari dalam upaya menuju cita good governance. Selain merugikan Negara, korupsi bisa menghambat efektivitas dalam efisiensi proses birokrasi dan pembangunan sebagai ciri utama good governance.

Salah satu sebab daripada terjadinya transparansi antara lain adalah kurangnya transparansi dari tiap kegiatan yang dilakukan baik oleh individu maupun organisasi di dalam pemerintahan.

Sebuah pemerintahan dikatakan terbuka (transparan) apabila memenui empat unsur utama seperti di bawah ini :

  1. Pemerintahan menyediakan berbagai informasi mengenai kebijakan yang ditempuhnya. Berbagai informasi itu antara lain, kebijakan pemerintah dan pertimbangan yang medasari kebijakan tersebut, peraturan dan proses pelaksanaan kebijakan itu serta biaya dan dampak yang mungkin terjadi.
  2. Masyarakat dan media massa memiliki kesempatan luas untuk mengetahui isi berbagai dokumen pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui parlemen).
  3. Terbukanya sidang pemerintah bagi masyarakat dan media massa. Keterbukaan itu menyangkut sidang eksekutif dan komisi-komisi, maupun notulen hasil rapat.
  4. Adanya konsultasi publik yang dilakukan pemerintah secara berencana.

  

BAB III

KESIMPULAN

Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan   pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan   kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau.   Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama    ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai   komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di  kalangan para pejabat publik dengan terlihatnya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Vita. 2007. Pengaruh Tingkat Disclosure dan Nilai Pasar Ekuitas Terhadap Biaya Ekuitas. Skripsi. Universitas  Kristen  Petra. Surabaya.

Kieso, Donald. E., Weygant, J.2005. Akuntansi IntermediateEdisi SebelasJilid III. Jakarta : Erlangga.

Murni, Siti Aisah. 2004. Pengaruh Luas Pengungkapan Sukarela Dan Asimetri Informasi terhadap cost of capital pada perusahaan publik di indonesia. Jurnal Riset Akuntansi di indonesia, 7 (2).

Parnomosidi, Bambang. 2006. Praktik Pengungkapan Modal Intelektual Pada Perusahaan Publik Di BEJ. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 9 (1).

Suwardjono, 2005.Teori Akuntansi: Pengungkapan Pelaporan Keuangan Edisi III. Yogyakarta: BPFE.

Good Governance of publik sector and Bureaucratic performance and its measurment

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah, penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja aparatur negara. Hal ini disebabkan karena pemerintah merancang konsep prinsip-prinsip good governance untuk meningkatkan potensi perubahan dalam birokrasi agar mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, disamping itu juga masyarakat masih menganggap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pasti cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal.

Gambaran buruknya birokrasi antara lain organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antar lembaga yang tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Pendapat tentang buruknya semua pelayanan yang dilaksanakan birokrasi menurut Pandji Santosa merupakan pengaburan makna birokrasi yang berkembang di masyarakat dan terus berlangsung oleh sikap diam masyarakat. Berbagai kondisi tersebut mencerminkan bad governance dalam birokrasi di Indonesia

Paradigma tata kelola pemerintahan telah bergeser dari government ke arah governance yang menekankan pada kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani. Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan pengukuran kinerja pemerintah melalui birokrasi.

Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.

Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah, warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik

Untuk mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik tentunya diperlukan adanya sistem pengukuran kinerja yang baik. Sistem pengukuran kinerja ini akan mengintegrasikan proses peningkatan kinerja melalui tahap mulai perencanaan sampai dengan evaluasi capaiannya. Sistem pengukuran kinerja yang baik akan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya dapat digunakan untuk menerapkan sistem reward and punishment, mengevaluasi efisiensi, efektivitas, dan ekonomis program dan kegiatan, meningkatkan kinerja, dan lain-lain.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

  1. Bagaimana penerapan pelayanan sektor publik dalam menciptakan pengelolaan pemerintahan yang baik?
  2. Bagaiaman pengukuran kinerja birokrasi?
  • Tujuan

Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pelayanan sektor publik dalam menciptakan pengelolaan pemerintahan yang baik.
  2. Untuk mengetahui bagaimana pengukuran kinerja birokrasi.

 

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1  Good Governance         

            Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dankelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

            Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangatdominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yangberbeda

Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:

  1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
  2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
  3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
  4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
  5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung
  6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
  7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
  • Pelayanan Publik

            Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayana sebagai hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).

            Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.

Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat.

Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Lijan Poltak Sinambela mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.

Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 62 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :

  1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan
  2. Kejelasan yang mencakup :

a.Rincian biaya atau tarif pelayanan publik.

b.Prosedur/tata cara umum, baik teknis maupun administratif.

  1. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
  2. Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
  3. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
  4. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika
  • Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik

Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.

Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.

Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi.

Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.

  • Konsep Kebijakan Pengukuran Kinerja Birokrasi

Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja yang sebenarnya.

Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memiliki inisiatif untuk menunjukkan kinerja sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerja birokasinya. Misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali tidak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan output. Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.

Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik karena anggaran sering menjadi driving force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang diterirna oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kinerja yang baik. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih mudah dilakukan.

Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan ialah selalu memperoleh keuntungan, sedangkan kepentingan utama konsuuen biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau.

Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik. Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis.

Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan.

Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional.

Kenyataan bahwa birokrasi publik mernilild stakeholders yang banyak dan meinilild kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbedabeda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut:

  1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

  1. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah.Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

  1. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.

  • Pengukuran Kinerja Sektor Publik Di Indonesia–Pemberian Penghargaan Wahana Tata Nugraha Bagi Pelaksanaan Tertib Lalu Lintas

            Pemberian penghargaan Wahana Tata Nugraha merupakan sarana pemerintah dalam mewujudkan tertib lalu lintas dan angkutan jalan. Setiap pemerintah daerah mendambakan untuk mendapatkan prestasi lalu lintas, karena keberhasilan dalam mendapatkan penghargaan ini merupakan kebanggaan suatu kota/kabupaten.

            Lomba ini berat. Jika kriteria penilaian dilakukan secara jujur, maka akan memunculkan daerah yang baik dari segi biaya maupun moral untuk mematuhi kriteria persyratan yang kompleks.

            Persiapan dan upaya-upaya yang mendesak untuk segera dilakukan adalah:

  1. Penataan/pengaturan arus lalu lintas
  2. Pembenaan prasarana jalan yang meliputi rambu-rambu lalu lintas, papan petunjuk arah, papan nama jalan, lampu pengatur lalu lintas, marka jalan, dan tempat penyebrangan.
  3. Pembinaan terhadap petugas parkir
  4. Penataan terminal
  5. Pembinaan angkutan kota.

Aspek  yang  dinilai berkenaan dengan kriteria penilaian Wahana Tata Nugraha adalah :

  1. Aspek Sarana

       Penilaian terhadap ketersediaan angkutan umum meliputi jumlah angkutan umum dan ketersediaan jaringan trayek. Keberhasilan kendaraan dengan penyediaan tempat sampah dan perlengkapan kendaraan, papan trayek dan tanda pengenal kendaraan umum, serta fasilitas pengujian SIM dan pelayanan STNK harus memadai.

  1. Aspek Prasarana

       Penilaian terhadap pembenahan dilingkungan seperti penerangan jalan, pavingisasi trotoar dan pengecetan batas trotoar. Keikutsertaan warga masyarakat dalam pembangunan ini wajar, karena masyarakat butuh kelancaran dan kemudahan pelayanan untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan.

  1. Aspek Sumber Daya

Penilaian terhadap pencatatan/pendataan pengemudi, data kecelakaan lalu lintas, data pelanggaran lalu lintas, dan data asuransi kecelakaan, mempermudah aparat dan masyarakat dalam mengidentifikasi pelaku pada saat kecelakaan lalu lintas. Jumlah dan kualifikasi petugas dalam melayani SIM dan STNK berpengaruh terhadap kecepatan dan kepuasaan masyarakat.

  1. Aspek Manajemen
  • Penilaian terhadap penskemaan

Penilaian terhadap Skema Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang mendukung dibidang perhubungan. Penskemaan pembangunan gedung baru dan pertokoan disertai analisis dampak lalu lintas untuk menjaga kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat.

  • Organisasi

Penilaian terhadap lembaga yang mengurusi masalah ketertiban lalu lintas, seperti DLLAJR.

  • Pelaksanaan

Penilaian terhadap pelaksanaan yang meliputi pelaksanaan peraturan lalu lintas

  • Pengawasan dan pengendalian

Penilaian terhadap penyelewengan prosedur, KKN dan pelanggaran peraturan lalu lintas.

  1. Aspek Penilaian Lapangan

Tujuan dari penilaian lapangan ini adalah untuk melihat pelaksanaan tertib lalu lintas disuatu daerah , dan mencocokkan jawaban dari daftar isian dengan keadaan yang sesungguhnya.

BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan

          Berdasarkan uraian diatas, bahwa Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.

          Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap instansi pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat.

  • Saran

          Untuk melakukan perbaikan di sektor pelayanan publik patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.

          Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Artikel Hindri Asmoko, Evaluasi Sistem Pengukuran Kinerja, BDPim, Magelang, 2014.

Indra Bastian, Akuntansi Sektor Publik, Jakarta, Erlangga, 2006.

Jurnal I Made Sumadana, mewujudkan good governance dalam system pelayanan publik, Widyatana vol 2 2007 FISIP UNR.

L.P. Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta, Bumi Aksara, 2010.

Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung: PT. Reflika Aditama, 2008.